(RIAUPOS.CO) — WACANA yang diusulkan Mendagri Tito Karnavian tentang pilkada belakangan menuai polemik. Sejumlah pihak, khususnya masyarakat sipil menentang keras wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Meskipun perubahan itu tidak untuk semua daerah. Wacana tersebut dinilai bukan menjadi solusi, melainkan problem bagi demokrasi.
Keluarnya perppu yang mengatur pilkada serentak langsung adalah buah dari perjuangan publik untuk berpartisipasi dalam demokrasi. ’’Usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD jelas logika yang melompat, dan langkah mundur demokratisasi di Indonesia,’’ terang peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil kepada JPG, kemarin.
Menurutnya, bila alasannya adalah politik berbiaya tinggi, maka bukan sistemnya yang salah. Pembentuk UU harus menemukan penyebab biaya politik yang tinggi itu terlebih dahulu. Bukan secara tiba-tiba mengusulkan pemilihan oleh DPRD. Apalagi, belum tentu pemilihan oleh DPRD otomatis membuat biaya politik turun.
Ia mengusulkan pembuat UU untuk membedah semua komponen biaya politik yang harus dikeluarkan kepala daerah. Selama ini, penyelenggara tidak membebankan biaya kepada para calon kepala daerah. Biaya kampanye misalnya, sebagian besar sudah ditanggung negara. Mereka juga tidak dibebani biaya untuk mencalonkan diri oleh pihak penyelenggara.
Maka sekarang tinggal membedah, di sektor mana calon kepala daerah mengeluarkan biaya besar sehingga disebut sebagai politik biaya tinggi. ’’Jangan-jangan pengeluaran terbesar justru terhadap kegiatan yang dilarang dalam pilkada,’’ sindirnya. Misalnya mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi pencalonan.
Dugaan tingginya mahar politik, lanjut Fadli, sampai saat ini memang belum terselesaikan. Sebab, sistem penegakan hukum untuk praktik haram itu masih lemah. ’’Bakal calon kepala daerah kebanyakan mengungkap praktik mahar ini setelah dia gagal menjadi calon kepala daerah,’’ tuturnya.
Bila memang itu problemnya, ujar Fadli, maka tidak seharusnya hak konstitusional warga negara dikorbankan. Harus ada solusi di kalangan elite sendiri untuk mengatasi hal tersebut. Bukan memberangus demokrasi.
Pihaknya mengusulkan beberapa hal untuk mengatasi problem mahar politik. Pertama, sumbangan siapapun kepada partai harus dibuat transparan, khususnya bila terkait pilkada. Laporannya harus terbuka. Nominalnya juga mengikuti batasan yang diatur UU Pilkada.
’’Bakal calon tidak boleh memberikan uang begitu besar tanpa tercatat dan dilaporkan,’’ ucap pria yang juga berprofesi sebagai advokat tersebut. Kemudian, bila uang yang diberikan adalah untuk keperluan kampanye, harus ada catatan berupa laporan awal dana kampanye. Bila tidak, maka Bawaslu bisa bertindak.
Terakhir, adalah mempertegas aturan larangan mahar politik. ’’Klausul memberikan imbalan dari bakal calon kepada partai bisa diganti dengan menjanjikan,’’ tambahnya. Fadli juga mengusulkan pembatasan belanja kampanye oleh cakada. Dengan sebagian besar kebutuhan kampanye difasilitasi negara, seharusnya biaya yang dikeluarkan calon menjadi lebih kecil. Cara-cara tersebut lebih efektif menekan biaya politik ketimbang mengembalikan pemilihan kepada DPRD. (byu/jpg/egp)
Laporan JPG, Jakarta