Jumat, 22 November 2024
spot_img

Feri Sebut Penggelembungan Suara PSI untuk Alihkan Isu Hak Angket

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut, dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengalihkan perhatian dari rencana pembentukan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, motif penggelembungan suara PSI tidak hanya sekadar meloloskan parpol yang dipimpin anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ke DPR, juga untuk mengalihkan isu dari kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI.

“Bagi saya kecurangan terang benderang ini motifnya tidak sekadar meloloskan PSI, tetapi isunya juga beralih dari isu kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI,” kata Feri dalam kanal Youtube @bambangwidjojanto, Rabu (6/3).

Presentator film dokumenter Dirty Vote itu juga menyebut, penggelembungan suara PSI terlalu terang benderang, hampir tidak mungkin dalam batas penalaran yang wajar terjadi penggelembungan suara sangat besar di saat terakhir dari 2,5 persen menjadi 3,7 persen terjadi kenaikan 1,2 persen.

“Kalau dilihat rutenya akan tembus 4 persen. Trennya cepat dibanding pollster PSI dengan Prabowo-Gibran saat Jokowi menyatakan cawe-cawe langsung naik perolehan suara Prabowo-Gibran. Disesuaikan dengan kebutuhan Jokowi, dan kebutuhan parpol anak Jokowi,” ujarnya.

Lebih lanjut, mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menyentil pollster dan analisis politik yang tidak angkat bicara perihal kenaikan perolehan suara PSI yang tidak masuk akal dan curang.

Baca Juga:  Fraksi DKPS Apresiasi dan Evaluasi LKPj Bupati

“Ini bagian dari mendukung kecurangan. Kebetulan publik tidak nyaman dengan partai anak presiden lolos parlemen,” tegasnya. Feri pun menyoroti perihal kenaikan suara PSI dengan fenomena jual beli suara. Dia menyebut, fenomena ini tidak hanya terjadi pada Pemilu 2024. Parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen (PT) akan betransaksi dengan parpol yang ingin memaksakan diri lolos ke DPR.

Hanya saja, kasus kenaikan suara PSI memiliki fenomena sendiri, karena umumnya jual beli suara itu berlangsung antara parpol yang perolehan suaranya berkisar 3,7 persen atau 3,9 persen dengan parpol yang nyaris tidak ada harapan masuk ke parlemen.

“Ada permakluman antar parpol, ini membuat demokrasi tidak sehat dan suara rakyat dikhianati,” cetus Feri.

Feri membandingkan perolehan suara antara PSI dengan Partai Perindo. Menurutnya, Partai Perindo memiliki dana signifikan dan jaringan media massa lebih luas serta lebih awal berdiri dibanding PSI, namun perolehan suaranya jauh dari ambang batas parlemen.

Baca Juga:  Daerah Sedikit Perkara Diputus Duluan

“Kemudian ada perubahan suara malah tidak menyampaikan lebih berani dan lebih terbuka. Bagi saya penting Perindo untuk menyampaikan hal-hal yang terjadi, angka cenderung turun sedangkan angka PSI cenderung naik,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie mengingatkan semua pihak agar tidak menyampaikan pernyataan tendensius, menyikapi rekapitulasi suara KPU yang hingga kini masih berlangsung. Ia mengakui, suara PSI ada di angka 3,13 persen, dengan jumlah suara terhitung 65,73 persen.

“Penambahan termasuk pengurangan suara selama proses rekapitulasi adalah hal wajar. Yang tidak wajar adalah apabila ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini dengan mempertanyakan hal tersebut,” tegas Grace.

“Apalagi hingga saat ini masih lebih dari 70 juta suara belum dihitung dan sebagian besar berada di basis-basis pendukung Jokowi di mana PSI mempunyai potensi dukungan yang kuat,” sambungnya.

Grace mengingatkan perbedaan antara hasil quick count dengan rekapitulasi KPU juga terjadi pada partai-partai lain. Ia pun mencontohkan, hitung cepat versi lembaga survei Indikator Indonesia atas PKB yang hasilnya 10,65 persen tetapi berdasarkan rekapitulasi KPU mencapai 11,56 persen atau ada penambahan 0,91 persen.(jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut, dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengalihkan perhatian dari rencana pembentukan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, motif penggelembungan suara PSI tidak hanya sekadar meloloskan parpol yang dipimpin anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ke DPR, juga untuk mengalihkan isu dari kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI.

“Bagi saya kecurangan terang benderang ini motifnya tidak sekadar meloloskan PSI, tetapi isunya juga beralih dari isu kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI,” kata Feri dalam kanal Youtube @bambangwidjojanto, Rabu (6/3).

- Advertisement -

Presentator film dokumenter Dirty Vote itu juga menyebut, penggelembungan suara PSI terlalu terang benderang, hampir tidak mungkin dalam batas penalaran yang wajar terjadi penggelembungan suara sangat besar di saat terakhir dari 2,5 persen menjadi 3,7 persen terjadi kenaikan 1,2 persen.

“Kalau dilihat rutenya akan tembus 4 persen. Trennya cepat dibanding pollster PSI dengan Prabowo-Gibran saat Jokowi menyatakan cawe-cawe langsung naik perolehan suara Prabowo-Gibran. Disesuaikan dengan kebutuhan Jokowi, dan kebutuhan parpol anak Jokowi,” ujarnya.

- Advertisement -

Lebih lanjut, mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menyentil pollster dan analisis politik yang tidak angkat bicara perihal kenaikan perolehan suara PSI yang tidak masuk akal dan curang.

Baca Juga:  Menanti Keikhlasan Megawati

“Ini bagian dari mendukung kecurangan. Kebetulan publik tidak nyaman dengan partai anak presiden lolos parlemen,” tegasnya. Feri pun menyoroti perihal kenaikan suara PSI dengan fenomena jual beli suara. Dia menyebut, fenomena ini tidak hanya terjadi pada Pemilu 2024. Parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen (PT) akan betransaksi dengan parpol yang ingin memaksakan diri lolos ke DPR.

Hanya saja, kasus kenaikan suara PSI memiliki fenomena sendiri, karena umumnya jual beli suara itu berlangsung antara parpol yang perolehan suaranya berkisar 3,7 persen atau 3,9 persen dengan parpol yang nyaris tidak ada harapan masuk ke parlemen.

“Ada permakluman antar parpol, ini membuat demokrasi tidak sehat dan suara rakyat dikhianati,” cetus Feri.

Feri membandingkan perolehan suara antara PSI dengan Partai Perindo. Menurutnya, Partai Perindo memiliki dana signifikan dan jaringan media massa lebih luas serta lebih awal berdiri dibanding PSI, namun perolehan suaranya jauh dari ambang batas parlemen.

Baca Juga:  KPU Riau Terbaik Dua Nasional

“Kemudian ada perubahan suara malah tidak menyampaikan lebih berani dan lebih terbuka. Bagi saya penting Perindo untuk menyampaikan hal-hal yang terjadi, angka cenderung turun sedangkan angka PSI cenderung naik,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie mengingatkan semua pihak agar tidak menyampaikan pernyataan tendensius, menyikapi rekapitulasi suara KPU yang hingga kini masih berlangsung. Ia mengakui, suara PSI ada di angka 3,13 persen, dengan jumlah suara terhitung 65,73 persen.

“Penambahan termasuk pengurangan suara selama proses rekapitulasi adalah hal wajar. Yang tidak wajar adalah apabila ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini dengan mempertanyakan hal tersebut,” tegas Grace.

“Apalagi hingga saat ini masih lebih dari 70 juta suara belum dihitung dan sebagian besar berada di basis-basis pendukung Jokowi di mana PSI mempunyai potensi dukungan yang kuat,” sambungnya.

Grace mengingatkan perbedaan antara hasil quick count dengan rekapitulasi KPU juga terjadi pada partai-partai lain. Ia pun mencontohkan, hitung cepat versi lembaga survei Indikator Indonesia atas PKB yang hasilnya 10,65 persen tetapi berdasarkan rekapitulasi KPU mencapai 11,56 persen atau ada penambahan 0,91 persen.(jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari