(RIAUPOS.CO) – Momen pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah (Kada) tinggal menghitung hari. Namun, belum terlihat tanda-tanda dari pemerintah untuk menerbitkan peraturan teknis atau peraturan pemerintah (PP). Padahal, PP tersebut merupakan salah satu saran Mahkamah Konstitusi terkait konstitusionalitas Pj Kada.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyayangkan sikap pasif yang ditunjukkan pemerintah. Indikasi pengingkaran dan pengabaian pada putusan MK itu akan menjadi contoh negatif. ’’Padahal mestinya pemerintah menjadi teladan yang baik dalam menunjukkan kepatuhan terhadap pelaksanaan putusan MK,’’ ujarnya saat dihubungi kemarin (5/5).
Perintah penyusunan PP memang tidak disebutkan dalam putusan MK. Namun, hal itu secara jelas disampaikan dalam pertimbangan hukum MK. Dari kacamata hukum, pertimbangan hukum MK tidak bisa dikecilkan maknanya karena menjadi satu kesatuan dalam putusan.
Apalagi, yang ditekankan oleh MK merupakan hal yang positif. ’’Soal pentingnya proses pengisian (Pj Kada) yang terbuka, transparan, dan akuntabel,’’ imbuhnya. Berbagai variabel itu perlu diatur dalam sebuah PP.
Putusan MK membuat pemerintah harus mengubah pakem. Di mana, penentuan Pj adalah kewenangan absolut presiden dan Mendagri. Titi menduga, pemerintah tidak mau meninggalkan mekanisme yang sudah berjalan itu. ’’Putusan MK secara langsung akan mendistorsi pola yang selama ini berlaku di lingkungan pemerintah,’’ tegasnya.
Titi menambahkan, perlu ada opsi yang bisa dimaksimalkan untuk memperkuat pengawasan. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) perlu membentuk tim atau kelompok kerja khusus untuk mengawasi pengisian Pj Kada. KPK, PPATK, dan aparat penegak hukum juga perlu mengantisipasi potensi praktik transaksionalnya. Sebagai informasi, pelantikan Pj Kada dimulai pada 15 Mei nanti.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana menambahkan, sistem pemilihan Pj yang tertutup menyulitkan akses publik. Padahal, jabatan para Pj kali ini sangat strategis. Karena bertugas di momen politik dan durasinya lebih dari 2,5 tahun. ’’Seharusnya masyarakat juga dapat memberikan masukan terhadap nama-nama penjabat,’’ ujarnya.
Tak hanya dari masyarakat sipil, desakan penerbitan PP juga datang dari dewan. Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 harus dipertimbangkan.
Petunjuk yang disampaikan MK, lanjut Awiek, cukup positif. Di antaranya, meminta pemerintah memetakan kondisi riil masing-masing daerah. Kemudian memperhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala. ’’Dengan demikian akan menghasilkan para penjabat daerah yang berkualitas,’’ ujarnya.
Selain itu, ada norma baru yang ditegaskan. Seperti larangan anggota TNI/Polri aktif ditunjuk sebagai Pj Kada tanpa bermutasi lebih dulu menjadi ASN. Pj juga wajib netral, objektif, dan tidak menjadi mesin kepentingan politik pihak tertentu. ’’Maka wajib bagi pemerintah untuk membuat peraturan teknis menindaklanjuti putusan MK tersebut,’’ imbuhnya.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan enggan berkomentar terkait desakan tersebut. ’’Untuk itu bisa langsung ditanyakan ke Dirjen Otda,’’ ujarnya.(far/c17/bay)
Laporan JPG, Jakarta