JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tidak adanya kewajiban melaporkan hasil pemungutan suara ulang (PSU) dan penghitungan suara ulang diduga sebagai penyebab banyaknya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sistem itu dinilai kurang efektif dan bisa menimbulkan ketidakpastian hasil pilkada satu daerah.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi menyatakan, munculnya gugatan jilid II sudah diprediksi. Sebab, dalam menangani perselisihan hasil pilkada (PHP) tahun 2020, semua putusan tidak disertai perintah untuk melaporkan.
Dalam sengketa pilkada sebelumnya, lanjut Veri, MK meminta laporan. Meski ada sebagian kecil yang tidak melapor. "Yang melaporkan hasil PSU, maka MK akan menetapkan hasil akhir. Yang merupakan keputusan terakhir," ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (2/5).
Namun, di sengketa tahun ini, semua putusan tidak dilaporkan. Maka, semua daerah yang menggelar PSU punya kans melakukan gugatan jilid II. Sebab, belum ada putusan final dan mengikat yang dikeluarkan MK. "Sementara putusan KPU masih dimungkinkan (gugatan)," imbuhnya.
Veri menambahkan, yang menjadi potensi perdebatan saat sidang nanti adalah ruang lingkup. Apakah PHP jilid II hanya berkaitan dengan proses PSU atau bisa mengoreksi perkara dari awal pilkada secara menyeluruh. Dia memprediksi, bisa jadi dalil yang diajukan jauh lebih luas dari PSU. Sebab, secara hukum, SK KPU bersifat umum. "Menggabungkan hasil sebelumnya dengan PSU," katanya.
Apalagi, dari enam gugatan yang masuk sejauh ini, pemohonnya berubah. Ada paslon yang dulu berstatus pihak terkait atau pernah dinyatakan pemenang pilkada, tapi berubah jadi pemohon setelah PSU membalikkan hasil. Seperti di Labuhanbatu dan Mandailing Natal. Ada juga gugatan yang diajukan paslon lain yang tidak menjadi pemohon atau pihak terkait sejak sengketa awal. Seperti dalam gugatan Rokan Hulu.
Veri menilai mekanisme yang ada saat ini tidak efektif. Dia mengusulkan, ke depan MK perlu menggunakan aturan lama. Di mana hasil PSU dilaporkan ke MK untuk diputuskan sah atau tidak. "Sehingga melokalisasi perkara di PSU saja," tuturnya.
Sementara itu, Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, pihaknya dalam posisi menunggu. Sejauh ini enam gugatan yang masuk belum mendapatkan jadwal persidangan. "Posisi KPU mempersiapkan diri," ujarnya.
Terkait mekanisme yang ada saat ini, Raka sepakat dengan Veri. Dia menilai ke depan perlu dirumuskan model PHP yang lebih berkepastian hukum. "Perlu dirumuskan model seperti apa yang bisa lebih efektif dengan tetap mengedepankan keadilan hukum," imbuhnya. Dalam situasi sekarang, daerah yang terdapat gugatan jilid II belum bisa dipastikan kapan selesai.
Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar mengatakan, pihaknya menyerahkan keputusan sengketa kepada MK. Di beberapa putusan terakhir, dia melihat MK telah mencoba keluar dari pakem. Sejumlah permohonan dikabulkan meski melampaui ambang batas dan waktu permohonan. "Apabila menemukan sesuatu, mahkamah dapat menggunakan diskresi," ujarnya.
Fritz menambahkan, MK sebagai lembaga penyelesaian sengketa sepertinya tengah membangun yurisprudensi sendiri. Secara kelembagaan, Bawaslu siap jika diminta memberikan keterangan. "Kami akan melaporkan yang terjadi selama PSU," pungkasnya. (far/c9/bay)
Laporan : JPG (Jakarta)