Selasa, 2 Juli 2024

Peluang Pilkada Dimajukan Tertutup, MK Putuskan Tetap Sesuai Jadwal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Di tengah rencana dimajukannya pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan untuk menjalankan agenda politik tersebut sesuai jadwal. Dalam pertimbangan putusannya, MK mengingatkan potensi tumpang tindih dengan tahapan Pemilu 2024 jika pilkada dimajukan September.

”Oleh karena itu, pilkada harus dijalankan sesuai jadwal yang dimaksud,’’ kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic saat membacakan putusan pada sidang di MK, Kamis (29/2) lalu.

- Advertisement -

Perintah itu tertuang dalam pertimbangan putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut diajukan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia bernama Ahmad Alafizy dan Nur Fauzi Ramadhan.

Keduanya sejatinya tidak mempersoalkan jadwal pilkada. Norma yang diuji adalah kewajiban mengundurkan diri bagi calon anggota legislatif (caleg) terpilih di Pemilu 2024 dan akan maju dalam Pilkada 2024. Sebab, dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Pilkada, yang diwajibkan mundur hanya anggota legislatif yang sudah menjabat.

Terhadap perkara itu, MK memutuskan calon yang baru terpilih tidak harus mundur. Karena belum punya jabatan, MK menilai belum ada potensi penyalahgunaan. MK hanya meminta KPU mengatur syarat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota legislatif dan tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

- Advertisement -

Namun, dalam pertimbangan hukum butir 1.13.3, MK juga mengingatkan konsistensi penetapan jadwal pilkada. MK menegaskan, mengubah jadwal yang berpotensi mengganggu tahapan justru mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan sikap MK. Dia melihat, belakangan MK kerap mengejutkan dengan putusan atau pertimbangan yang sering mendadak.

’’Terhadap perubahan-perubahan itu, dapat juga menimbulkan kesan seolah MK berlaku seperti pembuat UU juga,’’ ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (1/3). Padahal, lanjut dia, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pembuat UU itu adalah DPR dan pemerintah. Bukan lembaga peradilan.

Dia juga mempertanyakan konsistensi MK. Sebab pada hari yang sama, Doli menilai ada dua putusan yang kontradiktif. Dalam putusan ambang batas parlemen, MK menekankan perubahan itu melalui pembuat UU. ”Sementara untuk pelaksanaan pilkada langsung imperatif tidak boleh ada perubahan,’’ ujarnya.

Terkait nasib revisi UU Pilkada pascaputusan itu, Doli menyebutkan usai masa reses akan dibicarakan kembali. ”Akan kita teruskan apa tidak pada masa sidang minggu depan, yang salah satu materi perubahannya adalah soal jadwal pelaksanaan pemilu yang kami usulkan dimajukan ke bulan September,’’ terangnya.

Politikus Golkar itu menjelaskan, ide dimajukannya pilkada ke September bertujuan agar keserentakan pelaksanaan agenda pemilu dan pilkada ditata untuk kepentingan kesamaan satu periode yang sama. Sehingga akan memudahkan dalam melakukan manajemen pemerintah, pembangunan, dan kebijakan politik dari pusat hingga daerah.

Kemudian secara teknis, dengan dimajukan ke September, pihaknya menginginkan agar pelaksanaan seluruh kegiatan politik elektoral bisa selesai pada akhir 2024. Jika digelar November, berpotensi harus mengangkat ratusan penjabat (Pj) kepala daerah lagi di awal 2025. Mengingat residu sengketa diperkirakan berlangsung hingga Maret 2025.

Baca Juga:  Kebersamaan Warnai Penyembelihan Hewan Kurban RPG

Terpisah, anggota Komisi II DPR RI dari Faksi PKS Mardani Ali Sera belum mengetahui apakah revisi UU Pilkada yang berjalan akan dihentikan atau tidak. Sejauh ini, belum ada keputusan mengingat DPR masih reses. ”Belum saya cek,’’ ujarnya.

Namun, secara pribadi, Mardani menilai, dengan adanya perintah dari MK, rencana pemajuan pilkada berhenti. ”Otomatis batal. Kecuali pemerintah dan DPR buat norma baru,’’ jelasnya.

Berbeda dengan Komisi II, pemerintah berpendapat putusan MK telah menutup peluang dimajukannya pilkada. ”Wacana, gagasan, atau rencana pilkada dipercepat otomatis gugur sesuai putusan MK Nomor 12/PPU-XXI/2024 tersebut di atas,’’ ujar Staf Khusus Mendagri Bidang Politik, Kastorius Sinaga.

Pasalnya, dari aspek hukum, sifat dari putusan MK final dan mengikat. Sehingga tidak ada upaya hukum untuk banding dan sejenisnya.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, dengan putusan itu, upaya pemerintah dan DPR untuk mengutak-atik jadwal pilkada harus dihentikan. Yakni, pilkada tetap harus terselenggara pada November 2024. ”Dengan demikian, pilkada adalah inkonstitusional bila diadakan di bulan September,’’ ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah dan DPR tengah berupaya mengajukan jadwal melalui revisi UU Pilkada. Revisi UU Pilkada telah disetujui dalam paripurna sebagai RUU usulan DPR. Dalam draf, pilkada yang sedianya dilaksanakan pada November dimajukan menjadi September 2024.

Titi mengingatkan, putusan itu wajib dilaksanakan. Pihaknya berharap, preseden buruk saat putusan MK 80/PUU-XX/2022 terkait penataan dapil diabaikan demi kepentingan politik jangka pendek tidak lagi terulang.

Tarik-ulur jadwal pilkada memang sarat kepentingan politik. Dengan memajukan ke September, Titi menengarai akan menguntungkan Jokowi. Sebab, Jokowi punya kesempatan untuk mengendalikan pilkada di bawah masa jabatannya yang berakhir Oktober.

Namun, dia berharap, putusan MK harus dihormati. Pengajar kepemiluan Universitas Indonesia itu mengingatkan potensi kontroversi yang besar jika putusan diabaikan. ”Efeknya bisa memicu konflik akibat ketidakpuasan massa yang sudah tereskalasi sebagai ekses pilpres. Buruk sekali bagi DPR dan pemerintah,’’ tuturnya.

Bagi Presiden sendiri, jika tetap memaksa September, publik akan menganggap adanya cawe-cawe dalam Pilkada 2024. ”Dan tidak mau memberikan ruang bagi kepemimpinan Presiden yang baru untuk mengelola pilkada sebagai agenda politik pertamanya,’’ jelasnya.

Ambang Batas
Sementara itu, putusan MK terkait ambang batas parlemen atau parliamentary threshold mendapat respons sejumlah pihak. Anggota DPR Fraksi Demokrat Herman Khoeron menilai, putusan MK bisa menjadi momentum untuk menata ulang sistem kepemiluan.

Bahkan, tak hanya itu, dia juga mengusulkan agar presidential threshold perlu dikaji untuk dihapuskan. ”Sehingga memberi hak yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih dan memilih tanpa ambang batas,’’ ujarnya.

Baca Juga:  Sortir dan Lipat Surat Suara, KPU Libatkan 300 Petugas

Namun, untuk lebih detailnya, Herman berpendapat hal-hal itu harus dibahas secara komprehensif ke depannya. ”Terbuka kemungkinan dibahas di DPR,’’ ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus juga sependapat untuk merumuskan ulang berbagai isu mengenai ambang batas. Apalagi itu diperintahkan MK yang sifatnya mengikat. ”In sya Allah, ini akan menjadi kajian bagi kami untuk merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017,’’ ujarnya.

Perumusan ulang ambang batas parlemen, lanjut dia, memiliki banyak opsi. Mulai sistemnya hingga cara penetapan angkanya. ”Saya kira nanti kawan-kawan akan mencari solusi berapa kira-kira angka yang lebih pas, apakah 3 atau 2 dan sebagainya. Tentu ini juga kita akan menampung aspirasi dari berbagai elemen masyarakat,’’ ujar pria berdarah Minang itu.

Terpisah, Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih memberikan klarifikasi terhadap sejumlah narasi yang menyebutkan MK menghapus ambang batas parlemen 4 persen. Dia menegaskan, putusan MK tidak meniadakan threshold.

Sebagaimana tertuang dalam putusan, threshold dan penetapan angka merupakan kewenangan pembentuk UU. Yang diperintahkan MK adalah penetapan itu harus punya argumentasi yang ilmiah dan rasional.

”Dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang,’’ jelasnya.

Dalam menentukan 4 persen yang berlaku sekarang, MK menilai baik DPR maupun pemerintah tidak punya dasar yang dapat dijelaskan alasannya.

Sementara itu, di sela kunjungan kerja di Auckland, Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan tanggapan soal pelaksanaan Pilkada 2024 yang berlangsung serentak. Rencananya, pilkada tersebut digelar pada November tahun ini. Ma’ruf mengatakan, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu 2024 itu harus bisa menjaga nilai-nilai demokrasi.

Ma’ruf mengatakan, seluruh pihak yang meliputi penyelenggara, petugas keamanan, dan masyarakat secara umum harus bisa mewujudkan Pilkada 2024 yang demokratis. ’’Saya kira supaya (pilkada) dilaksanakan dengan baik, demokratis, serta jurdil,’’ tuturnya seusai menghadiri Business Forum with Halal Industry di Auckland, Jumat (1/3).

Dia menjelaskan, Pilkada 2024 harus dijalankan sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Kemudian, juga menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Sehingga hasil dari proses politik tersebut bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat. ’’Kalau (pilkada jurdil) itu bisa terjadi, saya kira akan berjalan aman. Mudah-mudahan,’’ jelasnya.

Ma’ruf menegaskan, bangsa Indonesia sudah berkali-kali menggelar agenda politik. Mulai pilkada, pileg, sampai pilpres. Jadi, bukan sebuah hal baru yang harus direspons secara berlebihan.

Dengan adanya bekal pengalaman itu, Ma’ruf berharap penyelenggara pemilu dapat berperan aktif menjaga situasi. Sehingga seluruh rangkaian pemilu maupun pilkada nanti berjalan dengan aman. Ma’ruf tidak ingin pilkada serentak nanti diwarnai kejadian-kejadian yang tidak baik. Serta berseberangan dengan semangat demokrasi.(far/wan/c6/ttg/das)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Di tengah rencana dimajukannya pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan untuk menjalankan agenda politik tersebut sesuai jadwal. Dalam pertimbangan putusannya, MK mengingatkan potensi tumpang tindih dengan tahapan Pemilu 2024 jika pilkada dimajukan September.

”Oleh karena itu, pilkada harus dijalankan sesuai jadwal yang dimaksud,’’ kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic saat membacakan putusan pada sidang di MK, Kamis (29/2) lalu.

Perintah itu tertuang dalam pertimbangan putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut diajukan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia bernama Ahmad Alafizy dan Nur Fauzi Ramadhan.

Keduanya sejatinya tidak mempersoalkan jadwal pilkada. Norma yang diuji adalah kewajiban mengundurkan diri bagi calon anggota legislatif (caleg) terpilih di Pemilu 2024 dan akan maju dalam Pilkada 2024. Sebab, dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Pilkada, yang diwajibkan mundur hanya anggota legislatif yang sudah menjabat.

Terhadap perkara itu, MK memutuskan calon yang baru terpilih tidak harus mundur. Karena belum punya jabatan, MK menilai belum ada potensi penyalahgunaan. MK hanya meminta KPU mengatur syarat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota legislatif dan tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Namun, dalam pertimbangan hukum butir 1.13.3, MK juga mengingatkan konsistensi penetapan jadwal pilkada. MK menegaskan, mengubah jadwal yang berpotensi mengganggu tahapan justru mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan sikap MK. Dia melihat, belakangan MK kerap mengejutkan dengan putusan atau pertimbangan yang sering mendadak.

’’Terhadap perubahan-perubahan itu, dapat juga menimbulkan kesan seolah MK berlaku seperti pembuat UU juga,’’ ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (1/3). Padahal, lanjut dia, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pembuat UU itu adalah DPR dan pemerintah. Bukan lembaga peradilan.

Dia juga mempertanyakan konsistensi MK. Sebab pada hari yang sama, Doli menilai ada dua putusan yang kontradiktif. Dalam putusan ambang batas parlemen, MK menekankan perubahan itu melalui pembuat UU. ”Sementara untuk pelaksanaan pilkada langsung imperatif tidak boleh ada perubahan,’’ ujarnya.

Terkait nasib revisi UU Pilkada pascaputusan itu, Doli menyebutkan usai masa reses akan dibicarakan kembali. ”Akan kita teruskan apa tidak pada masa sidang minggu depan, yang salah satu materi perubahannya adalah soal jadwal pelaksanaan pemilu yang kami usulkan dimajukan ke bulan September,’’ terangnya.

Politikus Golkar itu menjelaskan, ide dimajukannya pilkada ke September bertujuan agar keserentakan pelaksanaan agenda pemilu dan pilkada ditata untuk kepentingan kesamaan satu periode yang sama. Sehingga akan memudahkan dalam melakukan manajemen pemerintah, pembangunan, dan kebijakan politik dari pusat hingga daerah.

Kemudian secara teknis, dengan dimajukan ke September, pihaknya menginginkan agar pelaksanaan seluruh kegiatan politik elektoral bisa selesai pada akhir 2024. Jika digelar November, berpotensi harus mengangkat ratusan penjabat (Pj) kepala daerah lagi di awal 2025. Mengingat residu sengketa diperkirakan berlangsung hingga Maret 2025.

Baca Juga:  Jadi Ketum PSI, Vokalis eks Nidji Giring Resmi Gantikan Grace Natalie

Terpisah, anggota Komisi II DPR RI dari Faksi PKS Mardani Ali Sera belum mengetahui apakah revisi UU Pilkada yang berjalan akan dihentikan atau tidak. Sejauh ini, belum ada keputusan mengingat DPR masih reses. ”Belum saya cek,’’ ujarnya.

Namun, secara pribadi, Mardani menilai, dengan adanya perintah dari MK, rencana pemajuan pilkada berhenti. ”Otomatis batal. Kecuali pemerintah dan DPR buat norma baru,’’ jelasnya.

Berbeda dengan Komisi II, pemerintah berpendapat putusan MK telah menutup peluang dimajukannya pilkada. ”Wacana, gagasan, atau rencana pilkada dipercepat otomatis gugur sesuai putusan MK Nomor 12/PPU-XXI/2024 tersebut di atas,’’ ujar Staf Khusus Mendagri Bidang Politik, Kastorius Sinaga.

Pasalnya, dari aspek hukum, sifat dari putusan MK final dan mengikat. Sehingga tidak ada upaya hukum untuk banding dan sejenisnya.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, dengan putusan itu, upaya pemerintah dan DPR untuk mengutak-atik jadwal pilkada harus dihentikan. Yakni, pilkada tetap harus terselenggara pada November 2024. ”Dengan demikian, pilkada adalah inkonstitusional bila diadakan di bulan September,’’ ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah dan DPR tengah berupaya mengajukan jadwal melalui revisi UU Pilkada. Revisi UU Pilkada telah disetujui dalam paripurna sebagai RUU usulan DPR. Dalam draf, pilkada yang sedianya dilaksanakan pada November dimajukan menjadi September 2024.

Titi mengingatkan, putusan itu wajib dilaksanakan. Pihaknya berharap, preseden buruk saat putusan MK 80/PUU-XX/2022 terkait penataan dapil diabaikan demi kepentingan politik jangka pendek tidak lagi terulang.

Tarik-ulur jadwal pilkada memang sarat kepentingan politik. Dengan memajukan ke September, Titi menengarai akan menguntungkan Jokowi. Sebab, Jokowi punya kesempatan untuk mengendalikan pilkada di bawah masa jabatannya yang berakhir Oktober.

Namun, dia berharap, putusan MK harus dihormati. Pengajar kepemiluan Universitas Indonesia itu mengingatkan potensi kontroversi yang besar jika putusan diabaikan. ”Efeknya bisa memicu konflik akibat ketidakpuasan massa yang sudah tereskalasi sebagai ekses pilpres. Buruk sekali bagi DPR dan pemerintah,’’ tuturnya.

Bagi Presiden sendiri, jika tetap memaksa September, publik akan menganggap adanya cawe-cawe dalam Pilkada 2024. ”Dan tidak mau memberikan ruang bagi kepemimpinan Presiden yang baru untuk mengelola pilkada sebagai agenda politik pertamanya,’’ jelasnya.

Ambang Batas
Sementara itu, putusan MK terkait ambang batas parlemen atau parliamentary threshold mendapat respons sejumlah pihak. Anggota DPR Fraksi Demokrat Herman Khoeron menilai, putusan MK bisa menjadi momentum untuk menata ulang sistem kepemiluan.

Bahkan, tak hanya itu, dia juga mengusulkan agar presidential threshold perlu dikaji untuk dihapuskan. ”Sehingga memberi hak yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih dan memilih tanpa ambang batas,’’ ujarnya.

Baca Juga:  Momentum Enam Dekade, Golkar Harus Menang

Namun, untuk lebih detailnya, Herman berpendapat hal-hal itu harus dibahas secara komprehensif ke depannya. ”Terbuka kemungkinan dibahas di DPR,’’ ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus juga sependapat untuk merumuskan ulang berbagai isu mengenai ambang batas. Apalagi itu diperintahkan MK yang sifatnya mengikat. ”In sya Allah, ini akan menjadi kajian bagi kami untuk merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017,’’ ujarnya.

Perumusan ulang ambang batas parlemen, lanjut dia, memiliki banyak opsi. Mulai sistemnya hingga cara penetapan angkanya. ”Saya kira nanti kawan-kawan akan mencari solusi berapa kira-kira angka yang lebih pas, apakah 3 atau 2 dan sebagainya. Tentu ini juga kita akan menampung aspirasi dari berbagai elemen masyarakat,’’ ujar pria berdarah Minang itu.

Terpisah, Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih memberikan klarifikasi terhadap sejumlah narasi yang menyebutkan MK menghapus ambang batas parlemen 4 persen. Dia menegaskan, putusan MK tidak meniadakan threshold.

Sebagaimana tertuang dalam putusan, threshold dan penetapan angka merupakan kewenangan pembentuk UU. Yang diperintahkan MK adalah penetapan itu harus punya argumentasi yang ilmiah dan rasional.

”Dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang,’’ jelasnya.

Dalam menentukan 4 persen yang berlaku sekarang, MK menilai baik DPR maupun pemerintah tidak punya dasar yang dapat dijelaskan alasannya.

Sementara itu, di sela kunjungan kerja di Auckland, Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan tanggapan soal pelaksanaan Pilkada 2024 yang berlangsung serentak. Rencananya, pilkada tersebut digelar pada November tahun ini. Ma’ruf mengatakan, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu 2024 itu harus bisa menjaga nilai-nilai demokrasi.

Ma’ruf mengatakan, seluruh pihak yang meliputi penyelenggara, petugas keamanan, dan masyarakat secara umum harus bisa mewujudkan Pilkada 2024 yang demokratis. ’’Saya kira supaya (pilkada) dilaksanakan dengan baik, demokratis, serta jurdil,’’ tuturnya seusai menghadiri Business Forum with Halal Industry di Auckland, Jumat (1/3).

Dia menjelaskan, Pilkada 2024 harus dijalankan sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Kemudian, juga menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Sehingga hasil dari proses politik tersebut bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat. ’’Kalau (pilkada jurdil) itu bisa terjadi, saya kira akan berjalan aman. Mudah-mudahan,’’ jelasnya.

Ma’ruf menegaskan, bangsa Indonesia sudah berkali-kali menggelar agenda politik. Mulai pilkada, pileg, sampai pilpres. Jadi, bukan sebuah hal baru yang harus direspons secara berlebihan.

Dengan adanya bekal pengalaman itu, Ma’ruf berharap penyelenggara pemilu dapat berperan aktif menjaga situasi. Sehingga seluruh rangkaian pemilu maupun pilkada nanti berjalan dengan aman. Ma’ruf tidak ingin pilkada serentak nanti diwarnai kejadian-kejadian yang tidak baik. Serta berseberangan dengan semangat demokrasi.(far/wan/c6/ttg/das)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari