Selasa, 2 Juli 2024

DPR Sambut Revisi Undang-Undang Pilkada

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi II DPR menyambut baik rencana pemerintah dan KPU untuk merevisi Undang-Undang Pilkada. Khususnya mengenai pencalonan kepala daerah berstatus eks koruptor.

Komisi yang membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan bekas napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah.

- Advertisement -

Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar pelaksanaan pilkada.

Politisi Partai Gerindra itu menyatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi eks napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Selama ini, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan kepada komisi II. Pihaknya masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata Riza, persoalan itu perlu dibahas bersama komisi II sebelum revisi undang-undang diajukan.

Selain larangan bagi bekas napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, dia tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatnya sebagai calon kepala daerah.

- Advertisement -
Baca Juga:  Demi Umat, Gus Jazil Mundur dari Pencalonan Ketua PWNU DKI Jakarta

"Mereka baru boleh mencalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain," ungkapnya.

Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, aturan tersebut perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerajaan kecil di daerah. Selama ini, politik dinasti diwarnai berbagai tindak pidana korupsi.

Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. "Sehingga apa yang diusung KPU mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada mendapatkan landasan hukum yang lebih kukuh," terangnya seusai diskusi di kawasan Jakarta Selatan kemarin.

Pada Pemilu 2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara itu, dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP partai masing-masing.

Baca Juga:  Jazilul Fawaid: Penurunan Presidential Threshold Bisa Cegah Politik Identitas

Bila DPP sudah menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri, komitmen itu akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan bekas koruptor. Karena itu, Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.

Di luar itu, dia berharap langkah tersebut juga didukung seluruh rakyat. Dengan demikian, tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan pada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih progresif dalam memutus. Sebab, sudah ada fakta riil yang harus dicermati.

"Bahwa mantan napi korupsi yang terpilih kembali itu berpotensi besar melakukan korupsi lagi," tambah mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi II DPR menyambut baik rencana pemerintah dan KPU untuk merevisi Undang-Undang Pilkada. Khususnya mengenai pencalonan kepala daerah berstatus eks koruptor.

Komisi yang membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan bekas napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah.

Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar pelaksanaan pilkada.

Politisi Partai Gerindra itu menyatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi eks napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Selama ini, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan kepada komisi II. Pihaknya masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata Riza, persoalan itu perlu dibahas bersama komisi II sebelum revisi undang-undang diajukan.

Selain larangan bagi bekas napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, dia tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatnya sebagai calon kepala daerah.

Baca Juga:  Jazilul Fawaid: Penurunan Presidential Threshold Bisa Cegah Politik Identitas

"Mereka baru boleh mencalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain," ungkapnya.

Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, aturan tersebut perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerajaan kecil di daerah. Selama ini, politik dinasti diwarnai berbagai tindak pidana korupsi.

Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. "Sehingga apa yang diusung KPU mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada mendapatkan landasan hukum yang lebih kukuh," terangnya seusai diskusi di kawasan Jakarta Selatan kemarin.

Pada Pemilu 2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara itu, dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP partai masing-masing.

Baca Juga:  Wakil DPP PKB Buka Kegiatan Sekolah Legislator di Riau

Bila DPP sudah menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri, komitmen itu akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan bekas koruptor. Karena itu, Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.

Di luar itu, dia berharap langkah tersebut juga didukung seluruh rakyat. Dengan demikian, tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan pada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih progresif dalam memutus. Sebab, sudah ada fakta riil yang harus dicermati.

"Bahwa mantan napi korupsi yang terpilih kembali itu berpotensi besar melakukan korupsi lagi," tambah mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari