Selasa, 31 Desember 2024

Perlawanan

PERJUANGAN rakyat Filipina untuk berjuang membangun demokrasinya tidaklah mudah. Setelah lepas dari cengkraman penjajah Spanyol, Amerika Serikat, dan Jepang, mereka juga harus menghadapi banyak masalah dalam negeri. Salah satunya adalah kekuasaan tak terbatas dari diktaktor Ferdinand Marcos. Anak Marcos, Ferdinand Romualdez Marcos Jr –lebih dikenal dengan panggilan Bongbong Marcos—kini nampaknya tengah berusaha membangun stigma baru tentang dirinya, bahwa dia berbeda dari mendiang ayahnya yang hingga kini masih dibenci rakyat Filipina.

Dalam The Democratic Revolution (Revolusi Demokrasi/1992) yang disunting Larry Diamond, Felix B Bautista, seorang aktivis demokrasi Filipina, menulis dengan menarik tentang peristiwa Februari 1986, saat-saat revolusi tak berdarah yang menjatuhkan Marcos Sr dari jabatannya. Menurutnya, di negara-negara berkembang, perjuangan revolusioner yang dilakukan masyarakat untuk menumbangkan para diktaktor, sangat khas. Hal yang sebenarnya sering juga terjadi di Indonesia di masa Orde Baru pimpinan Soeharto.

Ketika itu, barisan anak-anak muda Filipina bersama para aktivis demokrasi dan rakyat –lelaki, wanita, dan anak-anak— yang disiarkan televisi ke seluruh dunia, sambil bergandengan tangan, berdiri tidak bergerak di hadapan tank-tank lapis baja yang pelan-pelan maju ke arah mereka. Banyak penonton televisi di rumah yang tak ikut dalam gerakan itu, banyak yang menarik nafas. Mereka bisa mengerti dan berdoa memberi dukungan dalam hati kepada rakyat, yang, sekalipun ketakutan menghadapi kematian dan hanya berbekal rosario –tasbih salib—di tangan dan doa di bibir, sanggup menghadapi tentara yang bersenjata lengkap. Para tentara yang sudah diperintah oleh Marcos dan petinggi angkatan bersenjata, untuk menembak mati, siapa pun yang melawan.

Namun, para penonton di televisi dan rakyat Filipina kemudian bersorak kegirangan ketika akhirnya barisan tank berbalik, dan para tentara meletakkan senjatanya ke tanah, lalu bergabung dengan rakyat sipil. Mereka tak mengindahkan perintah Marcos. Mereka meninggalkan Marcos, yang kemudian bersama keluarganya lari ke Hawaii, Amerika.

Baca Juga:  Tato Yulia

Corazon Aquino –yang memiliki sejarah buruk dengan Marcos—akhirnya tampil ke depan dan menjadi Presiden Filipina yang baru. Seluruh rakyat Filipina berdiri di belakang Corazon yang punya komitmen mengambalikan demokrasi ke tangan rakyat. Corazon betul-betul bekerja keras membangun Filipina, baik demokrasi maupun fisik, dari warisan salah urus yang lebih 20 tahun dihancurkan oleh Marcos. Rakyat Filipina, yang dijajah lebih 400 tahun oleh Spanyol, kemudian diduduki oleh Amerika, dan Jepang dalam Perang Pasific, menemukan kembali impian mereka yang sudah lama dirindukan sejak merdeka pada 12 Juni 1898.

Menurut William Henry Scott, rakyat Filipina adalah para petarung sejak nenek moyang mereka melarikan diri dari Borneo (Kalimantan) dari kejaran orang-orang yang ingin membunuh mereka di masa lalu. Hal yang sama diungkapkan oleh sejarawan Filipina, Encarnacion Alzona, bahwa para pelarian dari Kalimantan itulah yang kemudian membangun demokrasi di tanah yang kemudian mereka sebut Filipina itu. Mereka membeli tanah dari penduduk asli, kemudian menetap, dan hidup berdampingan secara damai dengan para penduduk asli. Itulah demokrasi bagi mereka, bahwa semua bisa diselesaikan dengan dialog dan musyawarah.

Alzona menolak pandangan yang ditanamkan oleh penguasa Amerika ketika menguasai wilayah itu, bahwa demokrasi yang dibangun di Filipina diperkenalkan oleh AS. “Sejarah kami tidak membuktikan yang demikian itu. Para pendahulu kita memerangi penjajah Spanyol karena mereka memperjuangkan hak-hak asasi manusia –yang berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan untuk berkumpul, pers yang bebas dari tekanan, dan persamaan di hadapan hukum—harus diberikan dan dijamin,” kata Alzona dalam ceramah berjudul “Ideals of the Filipinos” di hadapan peserta Konvensi Dua Tahunan National Federations of Women’s Club of the Philipine, pada 2 April 1954.

Baca Juga:  Tragedi Amir (2)

Diuraikan oleh Alzona, rakyat Filipina sudah bertarung melawan penjajah Spanyol sejak bangsa Eropa itu pertama kali menginjakkan kakinya di Filipina.  Selama 400 tahun menjajah Filipina, Spanyol harus menghadapi 300 lebih perlawanan rakyat yang memprotes pajak, pelanggaran hak asasi manusia, dan hukuman-hukuman kejam yang diberlakukan bangsa kolonial tersebut. Dan rakyat Filipina tahu, mereka harus membayar dengan harga yang sangat mahal atas perlawanan-perlawanan tersebut. Mereka harus menghadapi kematian, penculikan, penjara yang kejam, dan berbagai macam kebrutalan kolonial lainnya.

Felix B Bautista menulis, “Pahlawan nasional kami, Dr Jose Protacio Rizal Mercado, dieksekusi mati di hadapan regu tembak karena menulis dua novel yang menyebarluaskan nasionalisme rakyat Filipina pada pada 30 Desember 1896, dua tahun sebelum kami memerdekakan diri…”

Sayangnya, kata Felix, setelah Filipina memerdekakan diri dari Spanyol pada tahun 1898, mereka tak mampu mempertahankan diri. Amerika masuk dan menanamkan kekuasaanya. Tak tinggal diam, rakyat kembali berperang. Lebih satu juta rakyat Filipina tewas dalam perang melawan Amerika, namun tetap tak mampu membendung kolonialisme yang datang keduakalinya itu. Namun, berbeda dengan Spanyol yang tidak membangun apa-apa, meski menjajah –dan bukan yang pertama memperkenalkan demokrasi di Filipina—harus diakui bahwa Amerika yang melembagakan sistem politik secara demokrasi di sana. Mereka membentuk sistem peradilan, membangun sekolah rakyat yang menjadi salah satu sistem di Asia, dan mendirikan suatu sistem legislatif dalam pemerintahan, yakni Fillipine Assembly atau Majelis Rakyat Filipina. Mulai dari sinilah rakyat Filipina benar-benar praktik tentang apa itu demokrasi secara modern.***

PERJUANGAN rakyat Filipina untuk berjuang membangun demokrasinya tidaklah mudah. Setelah lepas dari cengkraman penjajah Spanyol, Amerika Serikat, dan Jepang, mereka juga harus menghadapi banyak masalah dalam negeri. Salah satunya adalah kekuasaan tak terbatas dari diktaktor Ferdinand Marcos. Anak Marcos, Ferdinand Romualdez Marcos Jr –lebih dikenal dengan panggilan Bongbong Marcos—kini nampaknya tengah berusaha membangun stigma baru tentang dirinya, bahwa dia berbeda dari mendiang ayahnya yang hingga kini masih dibenci rakyat Filipina.

Dalam The Democratic Revolution (Revolusi Demokrasi/1992) yang disunting Larry Diamond, Felix B Bautista, seorang aktivis demokrasi Filipina, menulis dengan menarik tentang peristiwa Februari 1986, saat-saat revolusi tak berdarah yang menjatuhkan Marcos Sr dari jabatannya. Menurutnya, di negara-negara berkembang, perjuangan revolusioner yang dilakukan masyarakat untuk menumbangkan para diktaktor, sangat khas. Hal yang sebenarnya sering juga terjadi di Indonesia di masa Orde Baru pimpinan Soeharto.

- Advertisement -

Ketika itu, barisan anak-anak muda Filipina bersama para aktivis demokrasi dan rakyat –lelaki, wanita, dan anak-anak— yang disiarkan televisi ke seluruh dunia, sambil bergandengan tangan, berdiri tidak bergerak di hadapan tank-tank lapis baja yang pelan-pelan maju ke arah mereka. Banyak penonton televisi di rumah yang tak ikut dalam gerakan itu, banyak yang menarik nafas. Mereka bisa mengerti dan berdoa memberi dukungan dalam hati kepada rakyat, yang, sekalipun ketakutan menghadapi kematian dan hanya berbekal rosario –tasbih salib—di tangan dan doa di bibir, sanggup menghadapi tentara yang bersenjata lengkap. Para tentara yang sudah diperintah oleh Marcos dan petinggi angkatan bersenjata, untuk menembak mati, siapa pun yang melawan.

Namun, para penonton di televisi dan rakyat Filipina kemudian bersorak kegirangan ketika akhirnya barisan tank berbalik, dan para tentara meletakkan senjatanya ke tanah, lalu bergabung dengan rakyat sipil. Mereka tak mengindahkan perintah Marcos. Mereka meninggalkan Marcos, yang kemudian bersama keluarganya lari ke Hawaii, Amerika.

- Advertisement -
Baca Juga:  Petrus (2)

Corazon Aquino –yang memiliki sejarah buruk dengan Marcos—akhirnya tampil ke depan dan menjadi Presiden Filipina yang baru. Seluruh rakyat Filipina berdiri di belakang Corazon yang punya komitmen mengambalikan demokrasi ke tangan rakyat. Corazon betul-betul bekerja keras membangun Filipina, baik demokrasi maupun fisik, dari warisan salah urus yang lebih 20 tahun dihancurkan oleh Marcos. Rakyat Filipina, yang dijajah lebih 400 tahun oleh Spanyol, kemudian diduduki oleh Amerika, dan Jepang dalam Perang Pasific, menemukan kembali impian mereka yang sudah lama dirindukan sejak merdeka pada 12 Juni 1898.

Menurut William Henry Scott, rakyat Filipina adalah para petarung sejak nenek moyang mereka melarikan diri dari Borneo (Kalimantan) dari kejaran orang-orang yang ingin membunuh mereka di masa lalu. Hal yang sama diungkapkan oleh sejarawan Filipina, Encarnacion Alzona, bahwa para pelarian dari Kalimantan itulah yang kemudian membangun demokrasi di tanah yang kemudian mereka sebut Filipina itu. Mereka membeli tanah dari penduduk asli, kemudian menetap, dan hidup berdampingan secara damai dengan para penduduk asli. Itulah demokrasi bagi mereka, bahwa semua bisa diselesaikan dengan dialog dan musyawarah.

Alzona menolak pandangan yang ditanamkan oleh penguasa Amerika ketika menguasai wilayah itu, bahwa demokrasi yang dibangun di Filipina diperkenalkan oleh AS. “Sejarah kami tidak membuktikan yang demikian itu. Para pendahulu kita memerangi penjajah Spanyol karena mereka memperjuangkan hak-hak asasi manusia –yang berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan untuk berkumpul, pers yang bebas dari tekanan, dan persamaan di hadapan hukum—harus diberikan dan dijamin,” kata Alzona dalam ceramah berjudul “Ideals of the Filipinos” di hadapan peserta Konvensi Dua Tahunan National Federations of Women’s Club of the Philipine, pada 2 April 1954.

Baca Juga:  Tragedi Amir (2)

Diuraikan oleh Alzona, rakyat Filipina sudah bertarung melawan penjajah Spanyol sejak bangsa Eropa itu pertama kali menginjakkan kakinya di Filipina.  Selama 400 tahun menjajah Filipina, Spanyol harus menghadapi 300 lebih perlawanan rakyat yang memprotes pajak, pelanggaran hak asasi manusia, dan hukuman-hukuman kejam yang diberlakukan bangsa kolonial tersebut. Dan rakyat Filipina tahu, mereka harus membayar dengan harga yang sangat mahal atas perlawanan-perlawanan tersebut. Mereka harus menghadapi kematian, penculikan, penjara yang kejam, dan berbagai macam kebrutalan kolonial lainnya.

Felix B Bautista menulis, “Pahlawan nasional kami, Dr Jose Protacio Rizal Mercado, dieksekusi mati di hadapan regu tembak karena menulis dua novel yang menyebarluaskan nasionalisme rakyat Filipina pada pada 30 Desember 1896, dua tahun sebelum kami memerdekakan diri…”

Sayangnya, kata Felix, setelah Filipina memerdekakan diri dari Spanyol pada tahun 1898, mereka tak mampu mempertahankan diri. Amerika masuk dan menanamkan kekuasaanya. Tak tinggal diam, rakyat kembali berperang. Lebih satu juta rakyat Filipina tewas dalam perang melawan Amerika, namun tetap tak mampu membendung kolonialisme yang datang keduakalinya itu. Namun, berbeda dengan Spanyol yang tidak membangun apa-apa, meski menjajah –dan bukan yang pertama memperkenalkan demokrasi di Filipina—harus diakui bahwa Amerika yang melembagakan sistem politik secara demokrasi di sana. Mereka membentuk sistem peradilan, membangun sekolah rakyat yang menjadi salah satu sistem di Asia, dan mendirikan suatu sistem legislatif dalam pemerintahan, yakni Fillipine Assembly atau Majelis Rakyat Filipina. Mulai dari sinilah rakyat Filipina benar-benar praktik tentang apa itu demokrasi secara modern.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Kartosoewiryo

Tragedi Amir (2)

Tragedi Amir

Masagung

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari