JEPANG tahu, Amir Syarifuddin cukup keras menentang para politikus yang ingin berkoloborasi dengan Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Meski itu hanya taktik dan strategi dan tidak benar-benar memihak Jepang, karena pada akhirnya, seperti Soekarno, sadar bahwa Jepang juga punya otak yang sama dengan Belanda yang ingin menguasai Indonesia lebih banyak. Apalagi, selama Perang Pasifik, Jepang menguras habis kekayaan kita, dan berlaku lebih brutal dari Belanda.
Pada bulan Januari 1943, Amir ditangkap Jepang, di tengah gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti-fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah, Amir kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Jendral Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; “Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut”. Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dilalkukan serdadu Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggung jawab ini terletak di pundak kaum komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin kemudian diganti oleh Kabinet Hatta akibat hasil perundingan Renville yang dinilai gagal oleh golongan Masyumi dan Nasionalis karena lebih banyak menguntungkan pihak Belanda.
Pemberontakan PKI 1948, pada masa pemerintahan Hatta, PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Musso tertembak dalam pertempuran kecil di Ponorogo, Amir ditangkap dan ditembak mati. Selepas, Musso tewas, Amir memimpin pelarian yang diikuti oleh 3.000 orang golongan kiri. Namun, pelarian ini juga berhasil digagalkan setelah keberadaan Amir berhasil terlacak dan ia diamankan.
Setelah diamankan, Amir dibawa ke Kudus dan kemudian dipindah ke Yogyakarta. Akhirnya Amir dipenjara di Benteng Yogyakarta dan kemudian dipindahkan ke Surakarta. Desember 1948, menjadi bulan terakhir bagi Amir karena ia harus meregang nyawanya di tangan para eksekutor. Eksekusi yang dilakukan kepada Amir dilakukan bersama dengan eksekusi tokoh PKI lainnya, seperti Maruto Darusman, Suripno, dan Sarjono.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam Desa Ngaliyan, kepala Amir ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindah ke rumah penjara Benteng Yogyakarta. Hingga kini, makam Amir ada di TPU Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.
Dalam kesaksiannya yang ditulis di buku Manusia dalam Kamelut Sejarah, Abu Hanifah mengatakan bahwa Amir adalah seorang yang sentimentil. Amir pandai main biola, dan suka menggesekkan lengkingan suara dari karya Franz Schubert atau satu serenata yang sentimentil. Ketika itu antara tahun 1928-1931, saat mereka sering berada di Gedung Pemuda di Jl Kramat 106, Senen. Mereka adalah salah satu kelompok Angkatan 1928. Salah satu kelompoknya adalah Indonesia Clubgebow (IC). Selain Amir, dalam kelompok itu juga ada M Yamin, Soekarno, dll.
Suatu malam, tengah malam tepatnya, saat Amir menggesek biola, suaranya sangat keras dan membuat sewot Yamin yang sedang menyelesaikan terjemahannya atas salah satu karya Rabindranath Tagore, yang sudah ditunggu penerbit Balai Pustaka. Yamin berteriak agar mereka diam. Namun Yamin –juga Abu Hanifah yang juga ikut menggesek piano– malah semakin keras menggesek yang membuat Yamin makin sewot.
Para pemuda yang tinggal di gedung yang sama dengan STOVIA itu sama-sama berpikir bagaimana caranya Indonesia merdeka. Mereka membaca buku-buku filsafat asing. Karl Marx dan Frederick Engels disukai semua orang, terutama ide pembebasan kemelaratan. Namun, pemikiran komunis ketika itu, menurut Hanifah, belum terlihat betul siapa yang paling menyukai hingga ke dadanya. Tidak terlihat juga pada diri Amir. Pelarangan PKI oleh Belanda sejak pemberontakan yang gagal tahun 1926 di tanah Minangkabau dan beberapa daerah lainnya, membuat banyak pemuda yang hanya diam-diam mempelajari komunisme, juga sosialisme. Tetapi ketika itu Marxisme memang sedang menguasai pemikiran banyak anak muda dunia. Dalam masyarakat terjajah, anak-anak muda sangat senang membaca Das Kapital, menganalisa Leninisme dan Stalinisme, atau bagaimana mereka juga memahami sosialisme yang dianggap lebih soft ketimbang komunisme.
Dan, di antara pemuda pemikir kemerdekaan itu, Amir ternyata yang paling mendalami dan yang membuatnya memilih masuk ke PKI ketimbang PNI. Ini yang, menurut Hanifah, benar-benar mengejutkan karena dalam kesehariannya, Amir terlihat biasa saja dalam memahami komunisme dan sosialisme itu, berbeda dengan kawan lainnya yang menggebu. Itulah yang kemudian membuat Amir sangat tertarik dengan pemikiran revolusi yang dibawa Musso dari Moskow, yang menyebar kebenciannya terhadap Soekarno-Hatta, dan mengobarkan pemberontakan bersenjata di Madiun. Amir merasa Musso lebih revolusioner, mirip pemikiran yang disampaikan Marx, Stalin, dan Lenin, tentang masyarakat tanpa kasta. Hal yang hingga kini ternyata hanya sebuah teks yang sulit diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Tentang kegundahan spiritual, menurut Hanifah, Amir sebenarnya berada dalam pergulatan yang belum selesai meski dia sudah berpindah dari Islam ke Kristen. Sebab, menjelang pemberontakan Madiun 1948, ada yang melihatnya saat berpidato di radio, di tas yang selalu dibawanya, ada Al-Qur’an kecil di dalamnya. Kata Hanifah, Amir adalah korban dari revolusi yang memakan anak sendiri.***