MENJELANG G 30 S/PKI meletus, kampus Fakultas Kedokteran Res Publika –sekarang Trisakti— terbelah. Sebagian besar para mahasiswa sudah dipengaruhi golongan kiri-merah (komunis). Hanya sebagian kecil yang masih bertahan untuk tidak bergabung dengan mereka. Mereka harus menghadapi agitasi dan ancaman: jika suatu saat komunis menguasai negara ini, maka habislah kalian!
Di tengah gejolak masa yang membelah mahasiswa dan masyarakat Indonesia itu, Monik harus bertarung dengan gejolak hatinya. Dia harus memilih siapa lelaki yang akan memiliki hatinya. Martin yang pendiam dan serius, atau Steve yang santai dan banyak disukai banyak gadis di kampus itu. Namun, Steve yang mudah bergaul dan pintar menggombal, ternyata lebih menarik hatinya, meskipun dia harus bersaing dengan banyak gadis.
Seiring perjalanan waktu dan kampus sudah benar-benar penuh ketegangan karena pertarungan ideologi kiri-merah melawan mereka yang masih kukuh dengan liberalisme, Monik harus mendapati kenyataan Steve mengkhianatinya. Dalam cinta maupun ideologi. Di saat bersamaan, Martin yang putus asa karena Monik memilih Steve, akhirnya menerima tawaran orang tuanya untuk melanjutkan studi ke Eropa. Orang tuanya takut ketegangan politik di kampus anaknya akan berakibat fatal karena hampir semua mahasiswa berdarah Tionghoa dicurigai sudah berada di jalur kiri-merah.
Monik kehilangan Martin. Dia mencari di mana tempat-tempat yang biasa Martin mangkal bersama teman-temannya. Baik di kampus maupun di luar kampus. Namun dia tak menemukan Martin. Martin sudah pergi jauh dan tak sempat pamit padanya. Monik akhirnya sadar bahwa dia sudah kehilangan separuh jiwanya. Dia sadar, dia sudah kehilangan Martin selamanya. Dia tak peduli ketika Steve berkali-kali datang kepadanya, meminta maaf, dan ingin kembali kepadanya. Yang ada dalam hati dan jiwanya hanya Martin yang tak mungkin digapainya lagi.
Itu adalah ringkasan cerita dalam novel Gema Sebuah Hati karya Marga T (Tjoa). Novel ini pertama kali terbit pada Mei 1976 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU). Kelanjutan novel ini adalah Setangkai Edelweis, yang mengisahkan perjalanan Monik ke Eropa meneruskan studinya. Namun tujuan utamanya sebenarnya mencari keberadaan Martin yang sudah menjadi eksil karena paspornya di-blacklist oleh pemerintah Orde Baru (Orba) di mana Soeharto sudah berkuasa penuh dan mulai membangun benteng tiraninya.
Untuk sebuah buku yang menceritakan tentang gejolak politik saat perebutan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, novel ini dianggap berani. Sebab, di saat terbit, 1976, Soeharto dan Orba-nya sedang getol dan hobi memburu orang-orang kiri-merah-komunis. Mereka ada yang dibunuh langsung oleh tentaranya atau dibuang ke daerah timur Indonesia. Jika tidak di Pulau Buru, Boven Digul, dan beberapa daerah terpencil lainnya. Namun, mungkin, karena lebih didominasi oleh kisah cinta melankolik ala Marga T, tentara tidak mencium hal itu. Dan novel ini –juga Marga T— tak tersentuh oleh para anggota buru sergap Orba.
Ini tentu berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Buru-nya. Atau Mochtar Lubis yang melawan dengan jalur jurnalistik. Juga banyak pengarang dan wartawan lainnya yang dianggap melawan Soeharto dan Ode Baru, harus berhadapan dengan tentara. Dipenjara atau dibuang. Tak ada pengampunan.
Novel ini secara tajam juga menggambarkan tentang nasib buruk para keturunan ras kuning, Tionghoa. Di masa revolusi fisik menghadapi Belanda, para peranakan Tionghoa dituduh tidak nasionalis. Mereka dianggap hanya mencari untung di saat terjepit. Mengembangkan perniagaan dan mendekati penguasa. Saat merdeka, ketika Soekarno berkuasa, stereotipe itu juga masih melekat. Soekarno yang terus mengobarkan revolusi –semacam jihad untuk mempertahankan kemerdekaan— menganggap mereka tak nasionalis dan patriotis. Tuduhan-tuduhan itu sebenarnya tak semua benar. Ada yang memang memilih cari aman, tapi banyak juga peranakan Tionghoa yang ikut berjuang. Bukan hanya mengangkat senjata, mereka juga membantu logistik, membeli senjata, dan sebagainya.
Nasib buruk itu ternyata terus memanjang. Meski Soeharto akhirnya merangkul para taipan peranakan Tionghoa untuk membantu pembangunan ekonomi yang dicanangkannya, namun di sisi lain, peranakan yang berada di garis bawah –juga yang berada di jalur politik– tetap selalu dicurigai sebagai orang kiri-merah. Mereka dianggap masih terhubung dengan jalur Jakarta-Peking (Beijing)-Moskow yang begitu terkenal di masa Soekarno. Alhasil, banyak peranakan Tionghoa yang kesulitan mendapatkan legalitas kewarganegaraannya di masa Orba.
Inilah, di antaranya, yang dialami oleh pahlawan olahraga Indonesia peraih emas Olimpiade Barcelona 1992. Sebuah ironi, ketika Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti meraih emas cabang bulutangkis saat itu –emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade– ternyata belum memilih KTP WNI. Mereka memang memiliki paspor Indonesia untuk bertanding ke luar negeri, tetapi mereka tak memiliki nomor induk kewarganegaraan (NIK). Menyedihkan. Bahkan mereka yang membela negara dengan begitu patriotik. Bagaimana dengan mereka yang hidup biasa sebagai rakyat jelata? Ketika Gus Dur menjadi presiden di awal Reformasi, salah satu yang dilakukannya adalah memberikan kewarganegaraan penuh kepada para peranakan Tionghoa, termasuk kepada Susi, Alan, Ardy B Wiranata, atau Hermawan Susanto –yang meraih medali di Olimpiade Barcelona.
Kita tentu tak ingin masa-masa gelap Orba itu kembali lagi. Masa-masa, di mana, karya sastra pun, dianggap sebagai musuh negara yang harus dijauhkan.***