NAMA yang disematkan kepadanya saat lahir dalah Amir Sjarifoeddin Harahap, menggunakan ejaan saat itu, pada 27 April 1907. Dalam catatan dan buku-buku sejarah setelahnya, namanya ditulis Amir Syarifuddin, sesuai ejaan terkini. Marga Harahap di belakangnya sering diabaikan sehingga banyak orang tak tahu kalau lelaki yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ini berasal dari tanah Batak. Sekarang Sumatra Utara (Sumut).
Amir adalah pemimpin sayap kiri terdepan pada masa revolusi Indonesia, saat perang menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Saat menjadi politikus dan berjuang melawan Belanda –meski memang dia berhaluan kiri— tak ada yang menyangka kalau dia bergabung dengan Musso saat berkobarnya pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Putusan pimpinan revolusi Republik Indonesia ketika itu, besama Musso dan tokoh PKI lainnya, Amir dieksekusi mati. Dalam buku Manusia dalam Kamelut Sejarah (1978), Abu Hanifah menulis profilnya dengan judul “Revolusi Memakan Anaknya Sendiri: Tragedi Amir Syarifuddin”.
Amir lahir dari keluarga bangsawan Batak Angkola asal Pasar Matanggor. Kakeknya, Sutan Gunung Tua, adalah seorang jaksa di Tapanuli. Ayahnya, Baginda Soripada, juga seorang jaksa di Medan. Di kota itulah Amir lahir dalam keluarga berada dan memiliki tradisi intelektual. Ini memungkinkan Amir untuk belajar di sekolah-sekolah elit, seperti di Haarlem dan Leiden, Belanda, di bidang hukum. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan hukum di Batavia. Selama bersekolah di Belanda, Amir mempelajari filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society. Pola pikirnya yang penuh pencarian, termasuk dalam spirit hidup, membuatnya beralih agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Teman-temannya dan keluarganya terkejut ketika ia memberi kotbah di sebuah gereja HKBP di Batavia.
Seperti ditulis banyak sumber, termasuk Wikipedia, Amir mengenyam pendidikan di ELS atau Sekolah Dasar (SD) Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, TS Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1921, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926–1927 dia menjadi anggota pengurus Perhimpunan Siswa Gymnasium di Haarlem. Selama masa itu juga Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen, misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal-bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Gunung Mulia menumpang. Perkenalannya dengan teologi Kristen di sini inilah yang memungkinkan dia kemudian berpindah agama.
Pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Rechtshoogeschool te Batavia dengan bantuan beasiswa pemerintah kolonial, dan menumpang di rumah Mulia yang telah menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung oleh senior satu sekolahnya di Belanda, Muhammad Yamin.
Saat jadi wartawan, Amir pernah divonis penjara karena dituduh bersalah dalam kasus delik pers pada tahun 1933. Ia nyaris dibuang ke Boven Digoel namun diselamatkan oleh Gunung Mulia dan salah satu gurunya.
Banyak teman-temannya yang tak yakin dengan keyakinan –agama—apa pun yang dipeluk Amir, kecuali saat dia lahir sebagai Islam, bawaan dari keluarganya. Saat dia belajar filsafat dan mengenal sosialisme-komunisme, dia sebenarnya sudah membebaskan diri dari keyakinan akan agama. Perubahan itu terjadi sangat cepat ketika dia masuk dalam organisasi komunis Moskow, di mana banyak tokoh komunis Indonesia belajar di sana dalam garis gerakan Komintren –komunis internasional.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komintren agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan fasisme. Ini menarik baginya. Karena selama ini komunis selalu menganggap kapitalisme adalah musuh utama, namun ketika pertarungan dunia menjelang Perang Dunia II, musuh bersama adalah fasisme yang dipimpin di antaranya oleh Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), dan Jendral Franco (Spanyol). Di Asia, fasisme dimakan mentah-mentah oleh Jepang yang marah dengan negara-negara Eropa yang menguasai Asia. Banyak yang menduga, keterlibatan Amir dalam gerakan Komintren ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Yang terjadi, Amir seperti bekerja untuk Belanda. Dia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka –termasuk Soekarno– ingin menempuh taktik lain, yaitu berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar, bahwa Jepang tak akan memberi kemerdekaan secara cuma-cuma.***