PADA awal hingga pertengahan tahun 1980-an, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta sangat tidak aman. Daerah yang masyarakatnya dikenal santun, ramah, dan baik hati ini ternyata penuh dengan kekerasan. Kejahatan merajalela. Setiap sebentar terdenga ada orang dijambret, ditodong, atau dirampok. Baik dalam skala kecil atau besar. Ada yang luka-luka, juga ada yang tewas.
Peristiwa yang cukup menyedot perhatian kala itu adalah tewasnya Sri Mulyani alias Ninik. Mahasiswi Akademi Kesehatan Keluarga (AKK) ini harus berlumuran darah dibunuh kawanan yang menjambretnya pada 20 Maret 1983. Dari banyak sumber disebutkan, pada masa itu terjadi persaingan para preman, gali, bromocorah, atau para penjahat yang memperebutkan lahan atau daerah kekuasaan. Terutama di kawasan Malioboro, beberapa terminal, stasiun kereta, dan kawasan lainnya. Mirip persaingan ala gangster di Amerika Serikat kala itu. Mereka kadang berkelahi hingga babak belur. Bahkan tak jarang ada yang meregang nyawa.
Komandan Garnisum Yogyakarta yang menjadi Komandan Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta, Muhamad Hasbi, melapor ke Panglima Daerah Militer (Pangdam) VII Diponegoro, Letjen Ismail. Setelah mendapatkan restu, Hasbi kemudian menyatakan perang terhadap gali, bromocorah, dan sebagainya itu. Dia kemudian berkoordinasi dengan polisi. Juga mengumpulkan para pengusaha, menanyakan siapa saja yang sering melakukan pemerasan terhadap usahanya. Para pengusaha itu diberi waktu seminggu untuk memberikan daftar nama.
Maka, muncullah apa yang kemudian disebut sebagai Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK). Ide ini datang dari Badan Intelejen Yogyakarta, yakni dari semua angkatan dalam ABRI ketika itu. Mereka kemudian mengumumkan kepada masyarakat agar yang punya informasi tentang gali atau preman yang meresahkan masyarakat, segera melapor ke Kodim 0734. Daftar nama ini kemudian diumumkan oleh Kodim hingga Korem 072 Pamungkas DI Yogyakarta. Para preman itu diminta melapor ke Koramil atau Kodim. ABRI akan memberi perlindungan kepada para gali atau preman tersebut dengan dengan memberi kartu tanda lapor (KTL). Hingga Januari 1984, Korem 072 melalui Komandan Kolonel Roni Sikap Sinuraya mengumumkan ada sekitar 2000 orang pemegang KTL di provinsi tersebut.
Namun, tetap ada gali atau preman yang nekat yang tetap melakukan kejahatan. Pihak Korem dan Kodim dengan tegas melakukan penembakan kepada mereka jika melawan atau melarikan diri saat operasi. Tentara dan polisi yang melakukan operasi, membiarkan mayat para penjahat tersebut di pinggir jalan, selokan, pinggir rel kereta api, atau di tempat pembuangan sampah. Mayat-mayat misterius itu kemudian membuat masyarakat resah dan menyebut mereka sebagai mayat misterius (matius) dan penemba (kan) misterius (petrus). Dalam buku memorial yang ditulis tim Tempo, Benny Moerdani: Yang Belum Terungkap (KPG, 2015), Hasbi mengatakan hal itu memang disengaja untuk memberi efek jera kepada para preman dan gali lainnya yang masih belum menyerah.
“Itu disengaja agar para gali yang masih berkeliaran berpikir ulang untuk melakukan kejahatan. Tujuan OPK adalah untuk shock therapy,” kata lelaki yang tahun 2014 tersangkut kasus korupsi APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 yang sempat mendekam di penjara tersebut.
Panglima Korem 072 Pamungkas Yogyakarta, Siswandi, pasang badan bahwa dialah yang punya inisiatip OPK ini di Yogyakarta. Namun beberapa pekan setelah OPK berjalan, Panglima ABRI Jendral Benny Moerdani berkunjung ke Yogyakarta dan meminta operasi itu untuk terus dilanjutkan. Artinya, ada restu dari Panglima ABRI atas operasi yang banyak meresahkan masyarakat, terutama anak-anak muda yang hanya memaki tato untuk gaya-gayaan, karena salah satu indikasi mereka yang disebut gali atau preman adalah ada tato di tubuhnya.
Ketua Tim Ad Hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang melakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus petrus, Yosep Adi Prasetyo, pada pertengahan September 2014, pola sadis OPK di Yogyakarta kemudian diadopsi oleh Benny Moerdani untuk melakukan operasi yang sama di hampir seluruh daerah di Jawa dan sebagian Sumatra –salah satunya mengejar para preman yang lari ke luar Jawa. ABRI tidak hanya memakai intlijen untuk bergerak di lapangan, tetapi juga menggunakan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
“Mereka memakai topeng dan berpakaian hitam-hitam. Sasaran dijemput tengah malam dengan menggedor pintu. Jika sasarannya tampak, langsung dieksekusi di depan keluarganya. Ini sangat sadis karena menimbulkan trauma pada anak dan istri mereka,” ujar Stanley –sapaan Yosep Adi Prasetyo.
Selain pola membiarkan mayat-mayat berserakan di sembarang tempat agar dilihat masyarakat sebagai shock therapy, pola lainnya adalah menculik dan membawa para korban ke daerah lain. Mereka tidak dieksekusi di daerahnya, tetapi “diselesaikan” daerah lain yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Seperti dibuang ke jurang, lembah, atau kluweng –lubang-lubang dalam dan besar yang ada di tanah— yang tak mungkin dijangkau oleh masyarakat. Pola ini membuat berapa jumlah korban petrus menjadi tidak pasti. Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek menyebut ada 3.000 orang. Kriminolog Mulyana W Kusuma menaksir sekitar 2.000 preman dan nonpreman yang salah sasaran. Peneliti Monash University, David Bourchier, membuat pernyataan yang lebih seram: ada 10 ribu korban, baik yang temukan mayatnya maupun yang hilang.
Petrus adalah kejahatan yang dilegalkan oleh negara dan dilakukan oleh sebuah kelompok secara sistematis, tetapi dianggap sebagai kerja intelijen. Sebuah kerja nyata dan ada buktinya, tetapi tidak diakui keberadaannya. Namun, sejarah kemudian membuka tabir ini, bahwa dari Presiden Soeharto, Panglima ABRI LB Moerdani, Pangkopkamtib Soedomo hingga ke jajaran bawah militer terlibat. Meski bukti-bukti tersebut hingga kini dianggap sebagai angin lalu.***