Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Masagung

NAMA Tionghoanya Tjio Wie Thay. Orang-orang memanggilnya Haji Masagung. Seorang muslim yang taat. Dia lahir di Jakarta pada 18 September 1927. Meski hanya tamat SD berbahasa Belanda, namun dia punya keinginan membantu masyarakat agar tak buta huruf. Itulah kemudian yang membuatnya memilih bisnis yang “agak lain”: penerbitan buku sekaligus membangun toko buku. Dia ingin, dengan buku yang diterbitkan sekaligus dijual di toko bukunya, bisa membuat banyak orang Indonesia membaca. Dengan membaca, katanya, akan terbangun budaya intelektual. Sebab, segalak-galaknya seorang guru, buku adalah guru yang tak tak pernah marah.

Pada tahun 1953, Masagung mendirikan PT Gunung Agung. Perusahaan ini langsung membawahi penerbitan dan toko buku. Pusatnya di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Toko buku Gunung Agung lumayan dikenal masyarakat. Punya beberapa cabang di Jakarta, juga kota lain, bahkan juga di luar negeri. Penerbitannya banyak mencetak otobiografi maupun biografi tokoh-tokoh penting. Misalnya Soekarno (1965), Soeharto (1970), Adam Malik (1979) hingga Sultan Hamengku Buwono IX (1979).

Perjalanan spiritualnya membuatnya memilih memeluk Islam pada tahun 1976. Sebelumnya Masagung beragama Hindu. Setelah memeluk Islam, dia naik haji. Lalu mendirikan toko buku khusus menerbitkan buku-buku islami. Toko buku Wali Songo namanya. Tempatnya masih di kompleks toko buku dan penerbitan Gunung Agung di Kwitang. Toko buku Wali Songo sekaligus berfungsi sebagai Islamic Center yang mengelola Masjid Al A’raf. Dia meninggal tahun 1990, jauh sebelum bisnis toko buku pelan-pelan runtuh, termasuk Gunung Agung.

Dalam buku Haji Masagung Telah Tiada, tapi Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa (1990), Jendral Besar Abdul Haris (AH) Nasution menjelaskan bagaimana pentingnya sosok Cina peranakan ini yang rela melakukan apa saja untuk ikut membangun bangsa Indonesia. Kata Nasution, meski bukan mantan pejuang kemerdekaan, namun Masagung mencurahkan tenaga, dana, dan pikirannya untuk melestarikan nilai-nilai perjuangan melalui dokumentasi berbentuk buku yang diterbitkannya. Di mata Nasution, dia tak menemukan Cina peranakan lainnya yang mirip Masagung dalam hal dedikasinya.

Baca Juga:  Petrus (2)

Atas permintaan Nasution, Masagung menerbitkan 9 jilid buku 20 Tahun Indonesia Merdeka (1945-1965). Sayangnya, buku catatan sejarah perang tentara Indonesia di masa revolusi fisik versi Nasution itu dimusnahkan oleh Soeharto saat berkuasa di masa Orde Baru dan tak boleh diterbitkan ulang. Nasution di masa Orde Baru, memang berseberangan dengan kebijakan Soeharto. Soeharto dan tentaranya di masa itu memburu di mana pun buku-buku itu berada. Merampas dari pemiliknya, dan membakarnya. Soeharto tak ingin ada orang lain yang membangun citra lebih hebat dari dirinya, termasuk dalam dunia ketentaraan. Dia tak ingin masyarakat tahu bahwa Nasution memang lebih hebat dari dia.

Masagung masih hidup ketika buku-buku terbitannya itu diberangus. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Kata Pak Nas –begitu Nasution dipanggil koleganya—Masagung tetap mengabdi kepada bangsanya lewat banyak jalan. Termasuk lewat penerbitan bukunya yang terus berkembang –dengan menerbitkan banyak buku Islam. Masagung juga banyak membantu pembangunan museum di berbagai kota di Indonesia. Juga menjadi donatur tetap bagi pembangunan masjid dan pesantren di banyak daerah.

“Kiranya, dalam upaya begini, juga sulit mencari duanya pada masa kini dengan cenderung merosotnya peran umat di bidang kenegaraan dan ekonomi,” tulis Nasution dalam memoar tersebut.

Nasution menjadikan Masagung sebagai teladan bagi orang-orang Cina peranakan yang secara penuh mengintegrasikan diri dalam bangsa, masyarakat, dan umat, yang tidak hanya mengupayakan posisi dan persamaan hukum, tetapi juga menyumbangkan harta dan pikirannya kepada negara. Masagunglah orang yang memberi ide agar pemikiran Nasution sebagai seorang tentara pejuang dan jendral besar, dibukukan. Saat Masagung meninggal, buku Memenuhi Panggilan Tugas baru selesai 8 jilid dan 11 jilid yang direncanakan. Dan buku tersebut akhirnya diteruskan oleh keluarga Masagung hingga tuntas.

Baca Juga:  Tragedi Amir

Sayangnya, kini, badai digitalisme telah mengubah pola masyarakat dalam memperlakukan buku. Dan toko buku Gunung Agung, salah satu toko buku legendaris, juga harus menghadapi hal itu.
Setelah 70 tahun berkibar, PT Gunung Agung Tiga Belas yang menaungi toko buku Gunung Agung mengumumkan menutup semua toko atau outlet yang tersisa sepanjang 2023 lalu.

Manajemen mengatakan, keputusan tersebut diambil karena perusahaan tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional yang semakin besar. Dalam pelaksanaan penutupan toko/outlet, kata manajemen, dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2023 mereka melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Manajemen menyebutkan, sejak era pandemi Covid-19 pada tahun 2020, Gunung Agung telah melakukan efisiensi dengan melakukan PHK karyawan dan menutup beberapa toko/outlet di beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi, dan Jakarta. Dan kini, toko itu tutup permanen, termasuk yang pusatnya, di Kwitang, Jakarta.

Namun, meski begitu, apa yang dilakukan Masagung, adalah bentuk pengabdian seorang warga keturunan yang sejak dulu dianggap “berbeda” dengan orang-orang pribumi. Sama dengan tokoh-tokoh peranakan lainnya yang mengabdikan hidupnya untuk negara tempat kelahirannya, Masagung juga sudah menjelaskan bahwa menjadi orang “berbeda” di sebuah negara yang masyarakatnya banyak menolak persamaan hak hidup, namun tetap saja ada jalan untuk mengabdi. Meskipun selalu dicurigai.***

NAMA Tionghoanya Tjio Wie Thay. Orang-orang memanggilnya Haji Masagung. Seorang muslim yang taat. Dia lahir di Jakarta pada 18 September 1927. Meski hanya tamat SD berbahasa Belanda, namun dia punya keinginan membantu masyarakat agar tak buta huruf. Itulah kemudian yang membuatnya memilih bisnis yang “agak lain”: penerbitan buku sekaligus membangun toko buku. Dia ingin, dengan buku yang diterbitkan sekaligus dijual di toko bukunya, bisa membuat banyak orang Indonesia membaca. Dengan membaca, katanya, akan terbangun budaya intelektual. Sebab, segalak-galaknya seorang guru, buku adalah guru yang tak tak pernah marah.

Pada tahun 1953, Masagung mendirikan PT Gunung Agung. Perusahaan ini langsung membawahi penerbitan dan toko buku. Pusatnya di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Toko buku Gunung Agung lumayan dikenal masyarakat. Punya beberapa cabang di Jakarta, juga kota lain, bahkan juga di luar negeri. Penerbitannya banyak mencetak otobiografi maupun biografi tokoh-tokoh penting. Misalnya Soekarno (1965), Soeharto (1970), Adam Malik (1979) hingga Sultan Hamengku Buwono IX (1979).

- Advertisement -

Perjalanan spiritualnya membuatnya memilih memeluk Islam pada tahun 1976. Sebelumnya Masagung beragama Hindu. Setelah memeluk Islam, dia naik haji. Lalu mendirikan toko buku khusus menerbitkan buku-buku islami. Toko buku Wali Songo namanya. Tempatnya masih di kompleks toko buku dan penerbitan Gunung Agung di Kwitang. Toko buku Wali Songo sekaligus berfungsi sebagai Islamic Center yang mengelola Masjid Al A’raf. Dia meninggal tahun 1990, jauh sebelum bisnis toko buku pelan-pelan runtuh, termasuk Gunung Agung.

Dalam buku Haji Masagung Telah Tiada, tapi Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa (1990), Jendral Besar Abdul Haris (AH) Nasution menjelaskan bagaimana pentingnya sosok Cina peranakan ini yang rela melakukan apa saja untuk ikut membangun bangsa Indonesia. Kata Nasution, meski bukan mantan pejuang kemerdekaan, namun Masagung mencurahkan tenaga, dana, dan pikirannya untuk melestarikan nilai-nilai perjuangan melalui dokumentasi berbentuk buku yang diterbitkannya. Di mata Nasution, dia tak menemukan Cina peranakan lainnya yang mirip Masagung dalam hal dedikasinya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Petrus (2)

Atas permintaan Nasution, Masagung menerbitkan 9 jilid buku 20 Tahun Indonesia Merdeka (1945-1965). Sayangnya, buku catatan sejarah perang tentara Indonesia di masa revolusi fisik versi Nasution itu dimusnahkan oleh Soeharto saat berkuasa di masa Orde Baru dan tak boleh diterbitkan ulang. Nasution di masa Orde Baru, memang berseberangan dengan kebijakan Soeharto. Soeharto dan tentaranya di masa itu memburu di mana pun buku-buku itu berada. Merampas dari pemiliknya, dan membakarnya. Soeharto tak ingin ada orang lain yang membangun citra lebih hebat dari dirinya, termasuk dalam dunia ketentaraan. Dia tak ingin masyarakat tahu bahwa Nasution memang lebih hebat dari dia.

Masagung masih hidup ketika buku-buku terbitannya itu diberangus. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Kata Pak Nas –begitu Nasution dipanggil koleganya—Masagung tetap mengabdi kepada bangsanya lewat banyak jalan. Termasuk lewat penerbitan bukunya yang terus berkembang –dengan menerbitkan banyak buku Islam. Masagung juga banyak membantu pembangunan museum di berbagai kota di Indonesia. Juga menjadi donatur tetap bagi pembangunan masjid dan pesantren di banyak daerah.

“Kiranya, dalam upaya begini, juga sulit mencari duanya pada masa kini dengan cenderung merosotnya peran umat di bidang kenegaraan dan ekonomi,” tulis Nasution dalam memoar tersebut.

Nasution menjadikan Masagung sebagai teladan bagi orang-orang Cina peranakan yang secara penuh mengintegrasikan diri dalam bangsa, masyarakat, dan umat, yang tidak hanya mengupayakan posisi dan persamaan hukum, tetapi juga menyumbangkan harta dan pikirannya kepada negara. Masagunglah orang yang memberi ide agar pemikiran Nasution sebagai seorang tentara pejuang dan jendral besar, dibukukan. Saat Masagung meninggal, buku Memenuhi Panggilan Tugas baru selesai 8 jilid dan 11 jilid yang direncanakan. Dan buku tersebut akhirnya diteruskan oleh keluarga Masagung hingga tuntas.

Baca Juga:  Tragedi Amir

Sayangnya, kini, badai digitalisme telah mengubah pola masyarakat dalam memperlakukan buku. Dan toko buku Gunung Agung, salah satu toko buku legendaris, juga harus menghadapi hal itu.
Setelah 70 tahun berkibar, PT Gunung Agung Tiga Belas yang menaungi toko buku Gunung Agung mengumumkan menutup semua toko atau outlet yang tersisa sepanjang 2023 lalu.

Manajemen mengatakan, keputusan tersebut diambil karena perusahaan tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional yang semakin besar. Dalam pelaksanaan penutupan toko/outlet, kata manajemen, dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2023 mereka melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Manajemen menyebutkan, sejak era pandemi Covid-19 pada tahun 2020, Gunung Agung telah melakukan efisiensi dengan melakukan PHK karyawan dan menutup beberapa toko/outlet di beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi, dan Jakarta. Dan kini, toko itu tutup permanen, termasuk yang pusatnya, di Kwitang, Jakarta.

Namun, meski begitu, apa yang dilakukan Masagung, adalah bentuk pengabdian seorang warga keturunan yang sejak dulu dianggap “berbeda” dengan orang-orang pribumi. Sama dengan tokoh-tokoh peranakan lainnya yang mengabdikan hidupnya untuk negara tempat kelahirannya, Masagung juga sudah menjelaskan bahwa menjadi orang “berbeda” di sebuah negara yang masyarakatnya banyak menolak persamaan hak hidup, namun tetap saja ada jalan untuk mengabdi. Meskipun selalu dicurigai.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra 2

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari