Hary B Koriun

(Kurikulum) Sastra 2

MUHAMMAD Ramdani sedang menikmati kopinya di pagi itu ketika di salah satu grup Whatsapp yang diikutinya muncul sebuah file PDF yang dikirim oleh salah satu anggota grup. File itu berisi buku berjudul Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Perbukuan (Pusbuk), sebuah lembaga yang –katanya—mendapat tugas tentang segala yang berhubungan dengan perbukuan di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Buku itu diterbitkan dalam rangka program “Sastra Masuk Kurikulum”.

Sebagai seorang guru bahasa Indonesia, Ramdani merasa senang dengan buku panduan tersebut. Artinya, guru-guru tidak akan meraba-raba lagi buku apa yang pantas dibaca oleh para siswa di semua jenjang pendidikan, baik SD, SMP, atau SMA. Para guru tinggal membuka buku tersebut dan mencari judul buku yang disukai –karena banyak judul yang direkomendasi—dan dianggap pas dibaca siswa-siswinya. Selain judul buku, juga ada review yang menjelaskan secara selintas isi buku, biografi pengarangnya, termasuk kandungan moral di dalamnya.

Dia tertarik dengan nama-nama para sastrawan yang dipilih sebagai kurator untuk memilih buku-buku rekomendasi tersebut. Meski tidak semuanya dia kenal dan tahu karyanya, namun ada beberapa nama yang dia kenal dan pernah baca buku-bukunya. Misalnya ada Eka Kurniawan, salah satu novelis Indonesia yang kini mendunia karena karya-karyanya banyak diterbitkan ke berbagai bahasa asing. Kemudian ada Oka Rusmini, salah satu prosais asal Bali yang karya-karyanya banyak mengangkat tentang feminisme. Juga ada penyair asal Makassar, Aan Mansyur, yang sangat dikenal setelah menulis puisi-puisi yang menjadi “soundtrack” film Ada Apa dengan Cinta? 2. Lalu ada juara Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta, Felix A Nesi. Ada sastrawan dan editor kelahiran Betawi, Zen Hae. Kemudian ada Triyanto Triwikromo, Saras Dewi, dan sekian nama lainnya. Ada 17 orang sastrawan yang menjadi kurator dalam buku tersebut.

Di bawah nama mereka ada 39 nama guru-guru yang dipilih sebagai tim review buku –yang menyusun ringkasan isi buku, termasuk ringkasan biodata para penulis buku yang direkomendasikan. Di atas daftar kurator dan tim review itu, ada nama Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai pelindung, Anindito Aditomo sebagai pengarah, dan Supriyatno sebagai penanggung jawab program ini.

- Advertisement -

Namun, alangkah terkejutnya Ramdani ketika membaca judul-judul buku yang direkomendasikan oleh para sastrawan tersebut. Untuk tingkat SD, dia merasa tak ada persoalan. Kebanyakan buku dongeng yang dianggap pas untuk memantik imajinasi murid tingkat dasar tersebut. Mulai masuk ke daftar buku untuk siswa SMP, napasnya mulai terengah. Dia membaca judul Sampah Bulan Desember, sebuah buku kumpulan cerpen Hamsat Rangkuti. Dia pernah membaca cerpen-cerpen Hamsat yang ada dalam buku itu, dan membayangkan para siswa SMP akan kepayahan memahami isi cerpen-cerpen tersebut yang meski terlihat biasa saja, tetapi dia sendiri merasa berat.

Lalu, ada judul novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Bukan karena kesulitan mengeja nama pengarang kelahiran Lampung tersebut, tetapi juga membayangkan bagaimana para siswa SMP akan kepayahan memahami bahasa Ziggy yang oleh para pembaca sastra serius dianggap sulit dipahami. Padahal, pemahaman bacaan yang pas untuk anak usia SMP semestinya karya-karya yang mudah dicerna dengan kandungan moralitas yang baik dan menimbulkan imajinasi saat atau setelah membacanya. Bagaimana mereka akan menumbuhkan imajinasinya sedangkan memahami kata per kata hingga kalimat per kalimat, masih kesulitan? Ini jelas berbeda ketika di novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya A Fuadi, atau 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra masuk dalam kategori SMP ini. Lalu Ramdani masih melihat beberapa judul lagi yang dianggapnya “berat” untuk bacaan siswa SMP seperti Student Hidjo-nya Mas Marco Kartodikromo, atau buku puisi Balada Orang-Orang Tercinta-nya WS Rendra.

- Advertisement -

Sebagai pendidik yang menyukai sastra –itu kenapa saat kuliah di FKIP dia memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia– Ramdani sedikit-banyak belajar psikologi pedagogi. Dia lumayan paham bahwa masing-masing siswa punya kemampuan yang berbeda dalam memahami sesuatu, termasuk dalam hal ini buku-buku fiksi (sastra). Dia ingat waktu masih sekolah SMP, buku-buku fiksi yang ada di perpustakaan sekolahnya masih didominasi buku-buku cerita wayang, pantun, puisi-puisi ringan, dan novel-novel zaman Balai Pustaka yang tetap bisa dicernanya di usia awal belasan. Misalnya judul-judul novel seperti Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), atau Salah Asuhan-nya Abdul Muis.

Puisi-puisi karya Chairil Anwar seperti “Diponegoro”, “Antara Kerawang dan Bekasi” atau “Senja di Pelabuhan Kecil” sudah dibacanya sejak SD bersamaan dengan puisi “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bahtiar, atau puisi-puisi Taufiq Ismail. Setelah dewasa, dia memahami bahwa pilihan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru atas contoh-contoh puisi tersebut dan sejenisnya adalah, salah satunya, untuk menanamkan jiwa nasionalisme sejak dini. Tetapi, nampaknya, dalam daftar rekomendasi untuk SD –juga SMP– saat ini, karya-karya tersebut tidak ada.

Apakah di masa Reformasi seperti sekarang, karya-karya yang menggugah nasionalisme dan patriotisme dianggap sudah tak relevan lagi dibaca oleh murid-murid SD? Hanya para kurator yang memahami hal itu.***

MUHAMMAD Ramdani sedang menikmati kopinya di pagi itu ketika di salah satu grup Whatsapp yang diikutinya muncul sebuah file PDF yang dikirim oleh salah satu anggota grup. File itu berisi buku berjudul Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Perbukuan (Pusbuk), sebuah lembaga yang –katanya—mendapat tugas tentang segala yang berhubungan dengan perbukuan di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Buku itu diterbitkan dalam rangka program “Sastra Masuk Kurikulum”.

Sebagai seorang guru bahasa Indonesia, Ramdani merasa senang dengan buku panduan tersebut. Artinya, guru-guru tidak akan meraba-raba lagi buku apa yang pantas dibaca oleh para siswa di semua jenjang pendidikan, baik SD, SMP, atau SMA. Para guru tinggal membuka buku tersebut dan mencari judul buku yang disukai –karena banyak judul yang direkomendasi—dan dianggap pas dibaca siswa-siswinya. Selain judul buku, juga ada review yang menjelaskan secara selintas isi buku, biografi pengarangnya, termasuk kandungan moral di dalamnya.

Dia tertarik dengan nama-nama para sastrawan yang dipilih sebagai kurator untuk memilih buku-buku rekomendasi tersebut. Meski tidak semuanya dia kenal dan tahu karyanya, namun ada beberapa nama yang dia kenal dan pernah baca buku-bukunya. Misalnya ada Eka Kurniawan, salah satu novelis Indonesia yang kini mendunia karena karya-karyanya banyak diterbitkan ke berbagai bahasa asing. Kemudian ada Oka Rusmini, salah satu prosais asal Bali yang karya-karyanya banyak mengangkat tentang feminisme. Juga ada penyair asal Makassar, Aan Mansyur, yang sangat dikenal setelah menulis puisi-puisi yang menjadi “soundtrack” film Ada Apa dengan Cinta? 2. Lalu ada juara Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta, Felix A Nesi. Ada sastrawan dan editor kelahiran Betawi, Zen Hae. Kemudian ada Triyanto Triwikromo, Saras Dewi, dan sekian nama lainnya. Ada 17 orang sastrawan yang menjadi kurator dalam buku tersebut.

Di bawah nama mereka ada 39 nama guru-guru yang dipilih sebagai tim review buku –yang menyusun ringkasan isi buku, termasuk ringkasan biodata para penulis buku yang direkomendasikan. Di atas daftar kurator dan tim review itu, ada nama Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai pelindung, Anindito Aditomo sebagai pengarah, dan Supriyatno sebagai penanggung jawab program ini.

Namun, alangkah terkejutnya Ramdani ketika membaca judul-judul buku yang direkomendasikan oleh para sastrawan tersebut. Untuk tingkat SD, dia merasa tak ada persoalan. Kebanyakan buku dongeng yang dianggap pas untuk memantik imajinasi murid tingkat dasar tersebut. Mulai masuk ke daftar buku untuk siswa SMP, napasnya mulai terengah. Dia membaca judul Sampah Bulan Desember, sebuah buku kumpulan cerpen Hamsat Rangkuti. Dia pernah membaca cerpen-cerpen Hamsat yang ada dalam buku itu, dan membayangkan para siswa SMP akan kepayahan memahami isi cerpen-cerpen tersebut yang meski terlihat biasa saja, tetapi dia sendiri merasa berat.

Lalu, ada judul novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Bukan karena kesulitan mengeja nama pengarang kelahiran Lampung tersebut, tetapi juga membayangkan bagaimana para siswa SMP akan kepayahan memahami bahasa Ziggy yang oleh para pembaca sastra serius dianggap sulit dipahami. Padahal, pemahaman bacaan yang pas untuk anak usia SMP semestinya karya-karya yang mudah dicerna dengan kandungan moralitas yang baik dan menimbulkan imajinasi saat atau setelah membacanya. Bagaimana mereka akan menumbuhkan imajinasinya sedangkan memahami kata per kata hingga kalimat per kalimat, masih kesulitan? Ini jelas berbeda ketika di novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya A Fuadi, atau 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra masuk dalam kategori SMP ini. Lalu Ramdani masih melihat beberapa judul lagi yang dianggapnya “berat” untuk bacaan siswa SMP seperti Student Hidjo-nya Mas Marco Kartodikromo, atau buku puisi Balada Orang-Orang Tercinta-nya WS Rendra.

Sebagai pendidik yang menyukai sastra –itu kenapa saat kuliah di FKIP dia memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia– Ramdani sedikit-banyak belajar psikologi pedagogi. Dia lumayan paham bahwa masing-masing siswa punya kemampuan yang berbeda dalam memahami sesuatu, termasuk dalam hal ini buku-buku fiksi (sastra). Dia ingat waktu masih sekolah SMP, buku-buku fiksi yang ada di perpustakaan sekolahnya masih didominasi buku-buku cerita wayang, pantun, puisi-puisi ringan, dan novel-novel zaman Balai Pustaka yang tetap bisa dicernanya di usia awal belasan. Misalnya judul-judul novel seperti Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), atau Salah Asuhan-nya Abdul Muis.

Puisi-puisi karya Chairil Anwar seperti “Diponegoro”, “Antara Kerawang dan Bekasi” atau “Senja di Pelabuhan Kecil” sudah dibacanya sejak SD bersamaan dengan puisi “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bahtiar, atau puisi-puisi Taufiq Ismail. Setelah dewasa, dia memahami bahwa pilihan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru atas contoh-contoh puisi tersebut dan sejenisnya adalah, salah satunya, untuk menanamkan jiwa nasionalisme sejak dini. Tetapi, nampaknya, dalam daftar rekomendasi untuk SD –juga SMP– saat ini, karya-karya tersebut tidak ada.

Apakah di masa Reformasi seperti sekarang, karya-karya yang menggugah nasionalisme dan patriotisme dianggap sudah tak relevan lagi dibaca oleh murid-murid SD? Hanya para kurator yang memahami hal itu.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir (2)

Tragedi Amir

Masagung

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra

Petrus (2)

Tato Yulia

Salvador

Saya San (2)

Saya San

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra

Petrus (2)