Menggenggam Waktu

Ramadan adalah bulan habituasi dan aktivasi positive mental setting terhadap waktu. Bahwa waktu adalah modal paling berharga dalam kehidupan di dunia. Melebihi tumpukan materi dunia.

Allah SWT merekayasa kehidupan Ramadan sedemikian apik. Di mana waktu begitu sangat dihargai. Guliran detik, menit, dan jam begitu dinikmati. Pagi, siang, petang, dan malamnya tak ingin disiakan. Penuh dengan kebajikan. Tak ada jeda, kecuali dilalui dengan kebajikan. 

- Advertisement -

Bahkan mereka yang telah berkalang tanah mengisak tangis penuh iba. Menyesal karena abai terhadap jenak Ramadan yang dilewati. Mereka lambungkan asa kepada Sang Pengabul Segala Pinta, agar dapat menghidupi waktu-waktu Ramadan kembali secara berkualitas. 

Isa bin Ali al-Unzi rahimahullahu ta’ala menyatakan, "Berapa banyak ahli kubur yang berharap kembali ke dunia untuk mendapati hari-hari yang diberkahi ini lalu mereka memakmurkannya dengan ketaatan kepada Allah. Supaya derajat ditinggikan, kesalahan dihapuskan, dan terbebaskan dari cengkeraman neraka."

- Advertisement -

Begitu juga yang dikatakan Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala, "Demi Allah, seandainya dikatakan kepada penghuni berzah, ‘Berangan-anganlah kalian,’ niscaya mereka akan mengangankan hidup kembali di hari bulan Ramadan."

Begitulah Ramadan. Ia memberikan pelajaran yang penting dan dalam. Bahwa kita semua memiliki kuantitas waktu yang sama. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari sepekan, empat pekan sebulan, dan dua belas bulan setahun. Yang membedakannya adalah bagaimana kualitas dari waktu yang kita jalani itu.

Tak heran seorang saleh hanya tersenyum ketika dikabari teman kecilnya kini telah sukses. Indikasinya timbunan harta tinggi menggunung. Ia bertanya kepada sang penyampai berita, "Apakah temanku itu juga bisa menimbun waktu? Karena jika sekadar mengumpulkan dunia, sesungguhnya ia tidak sedang mengumpulkan apa-apa dalam hidupnya."

Di sinilah Islam berselisih faham dengan para pemuja material. Tidak sekadar  time is money, Islam melihat waktu jauh lebih filosofis. Al-waktu huwa al-hayat, waktu adalah kehidupan itu sendiri. Maknanya, kehidupan ditentukan dari pemanfaatan waktu yang terakumulasi. Seperti pedang, kata Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala, jika tidak ditebas maka ialah yang akan menebas.

Apapun akan lapuk, siapapun akan lekang. Begitu tajamnya waktu, sehingga bumi dan langit sekalipun takkan mampu menahan tebasan tajam pedangnya.  Lancung kehidupan sesiapa yang bakhil menggunakan waktunya.

Itulah mereka yang menyiakan setiap jenaknya jauh dari produktif. Mereka sangat peduli terhadap materi nisbi, namun membiarkan detak jantungnya melintasi detik tanpa produktivitas diri. Padahal, waktu yang dijelajahi di dunia adalah harta mewah dan mahal. Sayangnya, setiap akumulasinya, tak akan pernah berulang wujud kembali. Lan tarji’a al-ayyam allati madhot.

Wajar jika sekelas sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bertutur, "Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang."

Seorang muslim di pentas waktunya, selalu disibukkan dengan segala sesuatu yang prestatif. Karena, seperti nasehat indah Syeikh Abdullah Azzam, "Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang besar, maka engkau akan disibukkan dengan hal-hal yang remeh."  

Merekapun tidak terjebak pada satu pendulum kehidupan semu, pun juga tak melulu di titik pendulum lainnya. Tertancap di jiwa, seruan Sang Maha Kuasa di Surah al-Jumuah ayat 10. "Jika telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS al-Jumuah: 10)

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menukil pandangan sebagian salaf bahwa mereka yang segera berniaga selepas menegakkan Salat Jumat, niscaya Allah memberkahinya dengan tujuh puluh kali kelipatan.

Di atas pijakan itu, ‘Arok ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berdiri di pintu masjid segera setelah salat ditunaikan. Tangannya diangkat, wajahnya ditengadahkan, lalu ia merangkai munjat: "Ya Allah, aku memenuhi panggilanmu, aku telah memenuhi kewajibanku dengan menjalankan shalat, aku pun menyebar di muka bumi sebagaimana yang engkau perintahkan kepadaku, oleh karenanya berilah rezeki padaku dari karunia-Mu, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki."

Inilah yang menjadi neraca pribadi muslim. Mereka menggenggam waktu dengan menggunakannya secara efektif dan produktif. Karena mereka tahu persis, waktu memiliki nilai "ekonomis" yang teramat tinggi, "the ecomonic value of time. Allahu a’lam.***

Ramadan adalah bulan habituasi dan aktivasi positive mental setting terhadap waktu. Bahwa waktu adalah modal paling berharga dalam kehidupan di dunia. Melebihi tumpukan materi dunia.

Allah SWT merekayasa kehidupan Ramadan sedemikian apik. Di mana waktu begitu sangat dihargai. Guliran detik, menit, dan jam begitu dinikmati. Pagi, siang, petang, dan malamnya tak ingin disiakan. Penuh dengan kebajikan. Tak ada jeda, kecuali dilalui dengan kebajikan. 

Bahkan mereka yang telah berkalang tanah mengisak tangis penuh iba. Menyesal karena abai terhadap jenak Ramadan yang dilewati. Mereka lambungkan asa kepada Sang Pengabul Segala Pinta, agar dapat menghidupi waktu-waktu Ramadan kembali secara berkualitas. 

Isa bin Ali al-Unzi rahimahullahu ta’ala menyatakan, "Berapa banyak ahli kubur yang berharap kembali ke dunia untuk mendapati hari-hari yang diberkahi ini lalu mereka memakmurkannya dengan ketaatan kepada Allah. Supaya derajat ditinggikan, kesalahan dihapuskan, dan terbebaskan dari cengkeraman neraka."

Begitu juga yang dikatakan Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala, "Demi Allah, seandainya dikatakan kepada penghuni berzah, ‘Berangan-anganlah kalian,’ niscaya mereka akan mengangankan hidup kembali di hari bulan Ramadan."

Begitulah Ramadan. Ia memberikan pelajaran yang penting dan dalam. Bahwa kita semua memiliki kuantitas waktu yang sama. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari sepekan, empat pekan sebulan, dan dua belas bulan setahun. Yang membedakannya adalah bagaimana kualitas dari waktu yang kita jalani itu.

Tak heran seorang saleh hanya tersenyum ketika dikabari teman kecilnya kini telah sukses. Indikasinya timbunan harta tinggi menggunung. Ia bertanya kepada sang penyampai berita, "Apakah temanku itu juga bisa menimbun waktu? Karena jika sekadar mengumpulkan dunia, sesungguhnya ia tidak sedang mengumpulkan apa-apa dalam hidupnya."

Di sinilah Islam berselisih faham dengan para pemuja material. Tidak sekadar  time is money, Islam melihat waktu jauh lebih filosofis. Al-waktu huwa al-hayat, waktu adalah kehidupan itu sendiri. Maknanya, kehidupan ditentukan dari pemanfaatan waktu yang terakumulasi. Seperti pedang, kata Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala, jika tidak ditebas maka ialah yang akan menebas.

Apapun akan lapuk, siapapun akan lekang. Begitu tajamnya waktu, sehingga bumi dan langit sekalipun takkan mampu menahan tebasan tajam pedangnya.  Lancung kehidupan sesiapa yang bakhil menggunakan waktunya.

Itulah mereka yang menyiakan setiap jenaknya jauh dari produktif. Mereka sangat peduli terhadap materi nisbi, namun membiarkan detak jantungnya melintasi detik tanpa produktivitas diri. Padahal, waktu yang dijelajahi di dunia adalah harta mewah dan mahal. Sayangnya, setiap akumulasinya, tak akan pernah berulang wujud kembali. Lan tarji’a al-ayyam allati madhot.

Wajar jika sekelas sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bertutur, "Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang."

Seorang muslim di pentas waktunya, selalu disibukkan dengan segala sesuatu yang prestatif. Karena, seperti nasehat indah Syeikh Abdullah Azzam, "Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang besar, maka engkau akan disibukkan dengan hal-hal yang remeh."  

Merekapun tidak terjebak pada satu pendulum kehidupan semu, pun juga tak melulu di titik pendulum lainnya. Tertancap di jiwa, seruan Sang Maha Kuasa di Surah al-Jumuah ayat 10. "Jika telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS al-Jumuah: 10)

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menukil pandangan sebagian salaf bahwa mereka yang segera berniaga selepas menegakkan Salat Jumat, niscaya Allah memberkahinya dengan tujuh puluh kali kelipatan.

Di atas pijakan itu, ‘Arok ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berdiri di pintu masjid segera setelah salat ditunaikan. Tangannya diangkat, wajahnya ditengadahkan, lalu ia merangkai munjat: "Ya Allah, aku memenuhi panggilanmu, aku telah memenuhi kewajibanku dengan menjalankan shalat, aku pun menyebar di muka bumi sebagaimana yang engkau perintahkan kepadaku, oleh karenanya berilah rezeki padaku dari karunia-Mu, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki."

Inilah yang menjadi neraca pribadi muslim. Mereka menggenggam waktu dengan menggunakannya secara efektif dan produktif. Karena mereka tahu persis, waktu memiliki nilai "ekonomis" yang teramat tinggi, "the ecomonic value of time. Allahu a’lam.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya