Jumat, 22 November 2024

Mutasi Penyegaran yang (tidak) Segar

- Advertisement -

KEBIJAKAN bongkar pasang pejabat dalam bentuk mutasi sebenarnya bukanlah satu-satunya kebijakan yang tepat untuk meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai. Terlebih lagi jika kebijakan mutasi dilakukan secara massal dan mendadak tanpa melalui pertimbangan dan prosedur evaluasi jabatan yang kritis. Sehingga keputusan mutasi terkesan hanya menguntungkan sebagian kecil pejabat dan selebihnya justru menimbulkan demotivasi.

Saatnya untuk dilakukan pengkajian kepada seluruh pejabat yang baru terkena kebijakan mutasi, Apakah program mutasi menyegarkan atau sebaliknya menimbulkan sakit hati. soal loyalitas, sebagai aparatur Negara tentu mereka siap melaksanakan tugas kemanapun ditugaskan. Namun jika ditanya, soal apakah mutasi sebagai program penyegaran? Ada yang menyatakan sangat menyegarkan, karena sudah lama menanti dan yang dinanti saatnya sudah tiba.

- Advertisement -

Sementara itu ada yang menyatakan mutasi sebagai penyegaran yang tidak segar, penyegaran yang tidak adil, penyegaran yang menyakitkan, penyegaran yang mengganggu ketenangan, dan kenyamanan serta sebutan lainnya. Namun apapun kondisinya mereka masih harus bersyukur dan berbesar hati, kemanapun di geser tak masalah, asal tidak di demosi atau di non jobkan; yang penting bagi mereka masih dapat fasilitas mobil dinas, rumah dinas, dan fasilitas dinas lainnya.

Mengapa Tidak Segar

Terdapat dua pandangan yang berbeda menanggapi kebijakan mutasi. Pandangan pertama, menilai bahwa program mutasi dirasakan sebagai program penyegaran yang benar-benar segar. Bahkan yang bersangkutan sudah dapat angin segar sebelum diterbitkan Surat Keputusan Mutasi. Pandangan kedua, mutasi sebagai keputusan (tidak) segar, dimana diantara mereka yang terkena mutasi merasakan adanya ketidakadilan dan ketidak jelasan terkait dasar pertimbangan mengapa yang bersangkutan dimutasikan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Eksistensi Komunitas BSLADY: Sebuah Komunikasi dan Lifestyle

Secara konseptual mereka sudah memahami bahwa dasar mutasi adalah dari hasil pengkajian evaluai jabatan, dan sekaligus sebagai program penyegaran guna menghindari kejenuhan menghadapi pekerjaan rutin dan monoton. Pertanyaannya, Apakah mutasi benar-benar murni didasarkan pada hasil evaluasi jabatan, atau ada dasar kepentingan lainnya yang bersifat subyektif.

Apakah penyegaran karena yang bersangkutan sudah terlalu lama di bidang tersebut,? Namun kenyataannya ada pejabat lain yang sudah lebih lama masih tetap bertahan. Apakah karena yang bersangkutan dinilai tidak cocok di bagian tersebut? bukankah kepada yang bersangkutan sudah dilakukan uji kelayakan dan uji kepatutan sebelum diputuskan dan ditempatkan pada suatu jabatan.

Ataukah pejabat yang bersangkutan tidak memiliki kapabilitas? Namun mengapa mereka masih dipertahankan dan hanya dialih tugaskan ke bidang lain. Jika dinilai tidak memiliki kapabilitas pada jabatan tertentu, apakah keputusan memindahkan kebagian lain sebagai sebuah solusi? Mengalih tugaskan pejabat yang tidak kapabel, dan memutar-mutarkan pejabat yang tidak kapabel justru akan menimbulkan masalah baru.

Seharusnya kepada mereka bukan dipindahtugaskan kebidang lain, akan tetapi solusinya berikan kepada mereka learning, coaching, dan konseling untuk menjadikan pejabat tersebut memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatannya. jika sudah dilakukan tahapan tersebut dan yang bersangkutan tidak mampu, maka ambil keputusan yang tegas agar pejabat tersebut diganti dengan pejabat lain yang lebih produktif dan kapabel. Banyak calon lain yang sebenarnya sudah menunggu dan kemampuannyapun tidak diragukan lagi.

Yang kita khawatirkan, kebijakan penempatan pejabat tidak didasarkan pada evaluasi jabatan yang kritis, dan hanya didasarkan atas bisikan “mahluk halus” yang namanya persepahaman, yang sepaham dilanjutkan dan yang tidak sepaham minggir. Keputusan seperti ini bisa memunculkan perlawanan secara tersembunyi dari mereka yang terkena dampak mutasi.

Baca Juga:  Melaporkan Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Misalnya memperlambat pekerjaan, tidak loyal terhadap atasan dan pekerjaan, tidak peduli dengan tupoksinya, sering menghilang dari kantor dan tindakan lain yang mengarah pada demotivasi karena merasa sakit hati. Sebagai umat beragama tentunya harus berbesar hati bahwa jabatan yang diemban adalah amanah. Dengan adanya keputusan non-job ataupun alih tugas yang dinilai tidak fair menurut penilaian diri sendiri dapat dijadikan bahan kajian dan evaluasi diri. Kenapa di non-jobkan atau Kenapa dimutasikan?

Ambil hikmah dan penilaian yang positif. Sementara itu bagi pengambil kebijakan, agar program mutasi dinilai sebagai penyegaran yang benar-benar segar, lakukanlah penilaian secara kritis dan objektif, tinggalkan unsur subyektivitas dan sarat dengan kepentingan tertentu. Keberhasilan dalam memimpin bukanlah karena kekuasaan, tetapi karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain.

Arahkanlah mereka kepada kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan keberhasilan yang mampu memberikan kemerdekaan berpikir, serta tidak ada unsur pemaksaan yang menekan perasaan. Setiap kata dan langkah seorang pemimpin akan memberikan pengaruh yang kuat kepada orang lain. Selamat menjalankan tugas bagi pejabat yang baru dilantik, semoga dalam menjalankan tugasnya tetap berpegang teguh pada prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, integritas, komitmen, dan konsistensi, serta memiliki kejernihan hati yang suci. Semoga…***

Oleh: Machasin, Dosen Prodi Studi Doktor Ilmu Manajemen, FEB-Unri

KEBIJAKAN bongkar pasang pejabat dalam bentuk mutasi sebenarnya bukanlah satu-satunya kebijakan yang tepat untuk meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai. Terlebih lagi jika kebijakan mutasi dilakukan secara massal dan mendadak tanpa melalui pertimbangan dan prosedur evaluasi jabatan yang kritis. Sehingga keputusan mutasi terkesan hanya menguntungkan sebagian kecil pejabat dan selebihnya justru menimbulkan demotivasi.

Saatnya untuk dilakukan pengkajian kepada seluruh pejabat yang baru terkena kebijakan mutasi, Apakah program mutasi menyegarkan atau sebaliknya menimbulkan sakit hati. soal loyalitas, sebagai aparatur Negara tentu mereka siap melaksanakan tugas kemanapun ditugaskan. Namun jika ditanya, soal apakah mutasi sebagai program penyegaran? Ada yang menyatakan sangat menyegarkan, karena sudah lama menanti dan yang dinanti saatnya sudah tiba.

- Advertisement -

Sementara itu ada yang menyatakan mutasi sebagai penyegaran yang tidak segar, penyegaran yang tidak adil, penyegaran yang menyakitkan, penyegaran yang mengganggu ketenangan, dan kenyamanan serta sebutan lainnya. Namun apapun kondisinya mereka masih harus bersyukur dan berbesar hati, kemanapun di geser tak masalah, asal tidak di demosi atau di non jobkan; yang penting bagi mereka masih dapat fasilitas mobil dinas, rumah dinas, dan fasilitas dinas lainnya.

Mengapa Tidak Segar

- Advertisement -

Terdapat dua pandangan yang berbeda menanggapi kebijakan mutasi. Pandangan pertama, menilai bahwa program mutasi dirasakan sebagai program penyegaran yang benar-benar segar. Bahkan yang bersangkutan sudah dapat angin segar sebelum diterbitkan Surat Keputusan Mutasi. Pandangan kedua, mutasi sebagai keputusan (tidak) segar, dimana diantara mereka yang terkena mutasi merasakan adanya ketidakadilan dan ketidak jelasan terkait dasar pertimbangan mengapa yang bersangkutan dimutasikan.

Baca Juga:  Potensi Wakaf di Riau

Secara konseptual mereka sudah memahami bahwa dasar mutasi adalah dari hasil pengkajian evaluai jabatan, dan sekaligus sebagai program penyegaran guna menghindari kejenuhan menghadapi pekerjaan rutin dan monoton. Pertanyaannya, Apakah mutasi benar-benar murni didasarkan pada hasil evaluasi jabatan, atau ada dasar kepentingan lainnya yang bersifat subyektif.

Apakah penyegaran karena yang bersangkutan sudah terlalu lama di bidang tersebut,? Namun kenyataannya ada pejabat lain yang sudah lebih lama masih tetap bertahan. Apakah karena yang bersangkutan dinilai tidak cocok di bagian tersebut? bukankah kepada yang bersangkutan sudah dilakukan uji kelayakan dan uji kepatutan sebelum diputuskan dan ditempatkan pada suatu jabatan.

Ataukah pejabat yang bersangkutan tidak memiliki kapabilitas? Namun mengapa mereka masih dipertahankan dan hanya dialih tugaskan ke bidang lain. Jika dinilai tidak memiliki kapabilitas pada jabatan tertentu, apakah keputusan memindahkan kebagian lain sebagai sebuah solusi? Mengalih tugaskan pejabat yang tidak kapabel, dan memutar-mutarkan pejabat yang tidak kapabel justru akan menimbulkan masalah baru.

Seharusnya kepada mereka bukan dipindahtugaskan kebidang lain, akan tetapi solusinya berikan kepada mereka learning, coaching, dan konseling untuk menjadikan pejabat tersebut memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatannya. jika sudah dilakukan tahapan tersebut dan yang bersangkutan tidak mampu, maka ambil keputusan yang tegas agar pejabat tersebut diganti dengan pejabat lain yang lebih produktif dan kapabel. Banyak calon lain yang sebenarnya sudah menunggu dan kemampuannyapun tidak diragukan lagi.

Yang kita khawatirkan, kebijakan penempatan pejabat tidak didasarkan pada evaluasi jabatan yang kritis, dan hanya didasarkan atas bisikan “mahluk halus” yang namanya persepahaman, yang sepaham dilanjutkan dan yang tidak sepaham minggir. Keputusan seperti ini bisa memunculkan perlawanan secara tersembunyi dari mereka yang terkena dampak mutasi.

Baca Juga:  Eksistensi Komunitas BSLADY: Sebuah Komunikasi dan Lifestyle

Misalnya memperlambat pekerjaan, tidak loyal terhadap atasan dan pekerjaan, tidak peduli dengan tupoksinya, sering menghilang dari kantor dan tindakan lain yang mengarah pada demotivasi karena merasa sakit hati. Sebagai umat beragama tentunya harus berbesar hati bahwa jabatan yang diemban adalah amanah. Dengan adanya keputusan non-job ataupun alih tugas yang dinilai tidak fair menurut penilaian diri sendiri dapat dijadikan bahan kajian dan evaluasi diri. Kenapa di non-jobkan atau Kenapa dimutasikan?

Ambil hikmah dan penilaian yang positif. Sementara itu bagi pengambil kebijakan, agar program mutasi dinilai sebagai penyegaran yang benar-benar segar, lakukanlah penilaian secara kritis dan objektif, tinggalkan unsur subyektivitas dan sarat dengan kepentingan tertentu. Keberhasilan dalam memimpin bukanlah karena kekuasaan, tetapi karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain.

Arahkanlah mereka kepada kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan keberhasilan yang mampu memberikan kemerdekaan berpikir, serta tidak ada unsur pemaksaan yang menekan perasaan. Setiap kata dan langkah seorang pemimpin akan memberikan pengaruh yang kuat kepada orang lain. Selamat menjalankan tugas bagi pejabat yang baru dilantik, semoga dalam menjalankan tugasnya tetap berpegang teguh pada prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, integritas, komitmen, dan konsistensi, serta memiliki kejernihan hati yang suci. Semoga…***

Oleh: Machasin, Dosen Prodi Studi Doktor Ilmu Manajemen, FEB-Unri

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari