Pemerintah lagi-lagi melakukan gebrakan terhadap organisasi kemasyarakatan (Ormas). Setelah periode awal menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2017 tentang perubahan atas Undang-Undang (UU) 17/2013 tentang Ormas yang ditetapkan menjadi UU 16/2017, ditindaklanjuti dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lanjut di periode kedua penghujung tahun 2020 pemerintah secara resmi melarang dan menghentikan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) -entah apakah larangan termasuk aktivitas FPI yang kerap turun saat bencana.
Keputusan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. Isi SKB dibacakan di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta pada hari Rabu (30/12/2020). Sebagaimana Perppu tentang Ormas dan pembubaran HTI yang memicu kritikan banyak pihak terutama pengamat hukum dan lembaga advokasi dan HAM, SKB “istimewa” teruntuk FPI juga sama.
Pemerintah menindak satu Ormas. Akan tetapi dalam kesempatan ini penulis tidak dalam posisi membela FPI bukan pula pemerintah. Namun dengan segala keterbatasan mencoba mengkaji seperti apa regulasi terkait Ormas dan penerapannya serta bagaimana implikasi ke depan paska "pembubaran" FPI, terutama di daerah. Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau bersama Pemerintah Provinsi Riau belum lama telah menuntaskan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberdayaan Ormas. Tinggal menunggu hasil fasilitasi dari Kemendagri untuk kemudian ditindaklanjuti dan disahkan menjadi Perda.
Dari alasan-alasan dalam SKB ada sejumlah poin menarik untuk dikaji lebih dalam. Diawali mengenai kewajiban Ormas mendaftar. Sebagaimana SKB dan pernyataan Menko Polhukam bahwa diantara alasan bubarnya FPI habisnya masa berlaku SKT dan belum terpenuhinya syarat perpanjangan. Perlu diketahui berdasarkan Pasal 10 ayat 1 UU 17/2013 bahwa Negara mengakui Ormas berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.
Artinya, Ormas yang tidak terdaftar tetap eksis. Ini dikuatkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK No. 82/PUU-XI/2013) atas uji terhadap sejumlah pasal UU 17/2013. Dalam salinan putusan, Mahkamah berpendapat bahwa Ormas dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah dan dapat pula tidak mendaftarkan diri (hal 125). Bahkan Putusan MK juga menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU 17/2013 yang mewajibkan Ormas/perkumpulan memiliki SKT bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin pasal 28 UUD 1945.
Dalam pembahasan Rancangan Perda Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas, sempat juga ada keinginan mewajibkan Ormas mendaftar ke Pemda. Namun urung dan diputuskan sifatnya “imbauan”. Pertimbangan tadi didasarkan hasil konsultasi dengan Kemendagri melalui Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Direktorat Ormas, Lutfi mengatakan bahwa Putusan MK adalah pedoman berikut pengakuan dua bentuk Ormas oleh negara dalam UU 17/2013.
Ditambah masukan perwakilan Ormas Riau saat public hearing dan kunjungan Pansus ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) kota Dumai. Dari beragam masukan dan pendapat, Ormas mendaftar jika ada timbal balik. Maka pengaturan dalam Rancangan Perda bagi Ormas yang tidak terdaftar konsekuensinya tidak bisa memperoleh bantuan dana, mengikuti pembinaan dan pendamping serta kegiatan Pemda lainnya. Itulah satu-satunya cara yang bisa ditempuh.
Memaksa Ormas harus terdaftar selain tidak sejalan dengan peraturan lebih tinggi, secara praktis juga mustahil. Siapkah Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung konsekuensi mengakomodir aspirasi Ormas baik itu bantuan dana atau alokasi untuk kegiatan pembinaan Ormas? Dari data Kemendagri per Juni 2020 saja Ormas terdata berkisar 452.000, dengan asumsi sedikitnya perhari bertambah 350 Ormas. Itu baru yang terdata.
Oleh karena itu perlu kepastian hukum terkait Ormas. "Pembubaran" Ormas tidak akan terhenti di FPI. Satu hal perlu diwaspadai manakala makin banyak daerah menerbitkan produk hukum daerah mengenai Ormas. Potensi tafsir kekuasaan bakal ditiru dan dipraktikan sangat besar.
Akibatnya aturan Ormas bukan lagi untuk memberdayakan dan membina Ormas serta mewujudkan kondusifitas. Perlunya tafsir hukum di atas tafsir kekuasaan agar bangsa tidak terjebak dalam pusaran urus-mengurus Ormas dan implikasi di masa mendatang. Boleh jadi ketika kekuasaan berganti cara sama dipakai oleh penguasa baru, entah itu untuk balas dendam atau kepada pihak lain yang berseberangan.
"Pembubaran" FPI juga tidak akan efektif. Toh baru dibubarkan sudah ada keinginan untuk reborn, membentuk Ormas baru bahkan nyaris identik. Mau sampai kapan siklus ini berlangsung? Dalam konteks kebangsaan jelas sangat tidak produktif dan hanya akan membawa bangsa kepada kerugian.***