Pada Juli hingga Agustus 2019 lalu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah melaksanakan Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP) secara serentak di seluruh Indonesia. Pengumpulan data dilakukan oleh mitra kerja dari perguruan tinggi. Secara umum tujuan survei ini adalah ingin memperoleh informasi tentang capaian Program Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga sesuai dengan sasaran kinerja yang tercantum dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Pada awal Oktober 2019 hasilnya telah dirilis. Salah satu temuan yang menarik untuk dicermati adalah angka kelahiran menurut umur atau Age Specific Fertility Rate (ASFR) pada wanita kelompok umur 15-19 tahun di mana Provinsi Riau menempati posisi terbaik dibanding provinsi-provinsi lainnya di angka 15 artinya terdapat 15 bayi yang dilahirkan oleh 1.000 wanita usia 15-19 di Provinsi Riau. Disusul DI Yogyakarta 17, Bali serta Sumatera Barat masing-masing di angka 18, dan Kepulauan Riau 22. Provinsi-provinsi dengan angka tertinggi adalah Papua 90, Papua Barat 76, Lampung 65, Maluku Utara serta Kalimantan Barat masing-masing 63.
Riau bahkan berada jauh di bawah angka nasional, 33. Pencapaian secara nasional telah menunjukkan keberhasilan dengan melampaui target RPJMN 2015-2019 yaitu 38. Namun angka capaian tersebut tetap masih harus diturunkan lagi seminimal mungkin. Upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh elemen pemerintah dan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Tingginya ASFR pada wanita kelompok umur 15-19 tahun merupakan penyumbang utama tingginya angka balita pendek (stunting), angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia. Tingginya angka ASFR pada wanita kelompok umur 15-19 tahun menunjukkan masih maraknya kasus pernikahan dini dan kasus perilaku seks bebas atau seks pra nikah di kalangan remaja.
Di samping mendorong partisipasi masyarakat agar ikut Program Keluarga Berencana (KB) upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan jumlah atau kuantitas penduduk adalah dengan menurunkan tingkat perkawinan dini melalui Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia ideal pada saat perkawinan. PUP bukan sekadar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar pernikahan dilakukan pada pasangan yang sudah siap/dewasa dari ekonomi, kesehatan, mental/psikologi.
Melalui program pendewasaan usia perkawinan diharapkan agar para remaja dapat memiliki pengertian dan kesadaran untuk merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran.
Program Pendewasaan Usia kawin bertujuan meningkatkan usia kawin perempuan pada umur 21 tahun serta menurunkan kelahiran pertama pada usia ibu di bawah 21 tahun. Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah sangat penting. Hal ini karena di dalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis.
Pemerintah tidak melarang para wanita menikah di bawah usia 21 tahun. Hal ini berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun di sisi lain berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak pasal 1, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, masyarakat, pemerintah dan negara.
Di samping itu, mengacu pada Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Maka, dapat disimpulkan bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai seseorang.
Berdasarkan hal tersebut maka pernikahan dini dapat diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang perempuannya berusia di bawah 21 tahun. Misalnya seorang perempuan menikah pada usia 17 tahun maka telah terjadi pernikahan dini dan jika perempuan tersebut memiliki anak maka dapat diartikan sebagai “anak” punya anak.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kasus pernikahan dini diantaranya adalah faktor ekonomi dan kasus perilaku seks bebas atau seks pra nikah. Masyarakat yang memiliki anak banyak dan ekonomi rendah cenderung menikahkan anaknya di usia dini. Selain karena tidak sanggup menyekolahkan anak, juga berharap beban hidup orang tua akan berkurang. Bahkan mereka berharap melalui pernikahan tersebut dapat membantu perekonomian orang tuanya.
Perilaku seks bebas atau seks pra nikah dipengaruhi oleh perkembangan tehnologi yang tidak seiring dengan kondisi moral anak bangsa yang semakin menurun. Mudahnya mengakses tontonan serta bacaan yang tidak mendidik melalui internet tanpa pengawasan orang tua menjadi faktor pendorong adanya seks bebas yang akhirnya menyebabkan kehamilan di luar pernikahan. Kehamilan seperti ini dapat memunculkan fenomena lain berupa maraknya pernikahan dini, aborsi, penularan HIV/AIDS bahkan pembunuhan karena tidak ada tanggung jawab pihak laki-laki.
Pada tanggal 16 September 2019 lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam rapat paripurna. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Kini dengan adanya revisi itu, baik pria maupun wanita batas usia pernikahan adalah 19 tahun.
Hal tersebut menjembatani upaya kita untuk bersama-sama melakukan pencegahan terhadap terjadinya pernikahan dini dan meminimalisir ASFR pada wanita kelompok umur 15-19 tahun dengan mengajak remaja untuk tidak putus sekolah, berprestasi, berpendidikan tinggi minimal S1, bekerja atau berwirausaha, baru memutuskan untuk berkeluarga dan memiliki anak di usia yang ideal.***