Jumat, 22 November 2024
spot_img

Solusi Mengatasi Sampah Pekanbaru

Pemandangan yang tidak sedap dipandang, kembali mewarnai awal tahun ini, sampah menumpuk di banyak tempat bahkan di pusat kota, sudah beberapa hari tidak diangkut petugas. Jika tetap dibiarkan, dikhawatirkan menimbulkan berbagai dampak terhadap kesehatan masyarakat dan pencemaran lainnya.  Sejak Undang Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah disahkan, sebenarnya sampah sudah ditempatkan pada posisi yang strategis, karena berpotensi menjadi bencana daerah bahkan nasional.

Lebih dari seratusan nyawa melayang akibat longsor Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah di Jawa Barat pada Februari 2005 lalu, yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Tentunya kita tidak ingin mengulang kejadian serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Sejak 2008 pula, pola Kumpul-Angkut-Buang perlu dipertimbangkan untuk pelan-pelan digantikan menjadi Cegah-Pilah-Olah. Karena Kumpul-Angkut-Buang hanya menyelesaikan sampah sesaat yaitu menyelesaikan sampah di akhir sebuah sistem, pastinya memiliki beban kerja yang sangat berat. Sampah setelah dikumpulkan, kemudian diangkut untuk "disimpan" yang sebenarnya dibuang di suatu tempat. Tempat ini disebut sebagai TPA, sejak 2008 pula berubah dari Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pemrosesan Akhir.

Harapannya tidak hanya dibuang, melainkan ada proses yang dilakukan disana. Sehingga tidak ada lagi masalah TPA yang ditutup karena over kapasitas, dan ujung-ujungnya mencari lokasi yang baru. Akankah TPA Muara Fajar penuh? di lokasi mana lagi harus disediakan TPA yang baru? mudahkah mencari lokasi baru tersebut? masyarakat dengan mudah menerima kehadiran TPA di sekitarnya? merupakan daftar pertanyaan yang harus dipikirkan sedini mungkin dalam merencanakan sistem pengelolaan sampah perkotaan yang lebih baik.

Baca Juga:  Antara Ekonomi Islam dan Konvensional

Berbicara tentang pengelolaan sampah, pastinya tidak terlepas dari produk hukum. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No 8 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah telah diatur sedemikian rupa sehingga pengelolaan sampah dapat dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.

- Advertisement -
- Advertisement -

Bank Sampah
Bank Sampah sering menjadi solusi praktis dalam meningkatkan angka pengurangan sampah. Daerah berlomba-lomba membangun bank sampah, dengan harapan masyarakat dapat menyetorkan sampah terpilahnya. Seringkali, bank sampah menjadi jargon kosong padahal pengelolanya sulit untuk mengembangkan diri, berbagai masalah harus dihadapi, seperti harga jual sampah yang tidak menentu, partisipasi masyarakat yang minim belum lagi dukungan fasilitas yang tidak memadai.

Jika ingin dibangun, Bank Sampah perlu dipetakan dengan baik agar dapat bertahan dengan berbagai terpaan badai pengelolaan sampah. Diperlukan studi tentang partisipasi masyarakat, dibekali dengan pengetahuan organisasi, administrasi dan pencatatan keuangan layaknya bank pada umumnya. Disulut dengan energi positif, sehingga dapat berpikir kreatif untuk berkontribusi dalam sistem pengelolaan sampah, minimal di daerah kawasannya masing-masing. Bank Sampah menjadi perantara antara pemangku kebijakan dengan masyarakat sebagai penghasil sampah. Mengakomodir sampah agar tidak dengan cepat berakhir di tong sampah, naik ke gerobak lanjut ke truk dan berakhir di TPA Muara Fajar.

Namun, tugas ini tentu tidaklah mudah, ibarat usaha harus memiliki segmen pasar yang jelas, sudahkah pasar produk/bahan baku daur ulang di Sumatera telah baik seperti halnya di Pulau Jawa? mengapa Bank sampah di Jawa lebih cepat berkembang dibandingkan di Sumatera? mungkin perlu pertimbangan kita bersama.

Peran Serta Masyarakat  
Menjadi kewajiban setiap orang untuk melakukan pengelolaan sampah, mulai dari mengurangi hingga mengolah agar jumlahnya lebih sedikit untuk dibawa ke TPA. Namun, butuh pula sosialisasi yang komprehensif untuk mengenalkan pengelolaan sampah pada masyarakat, melibatkan hingga memahamkan proses ramah lingkungan yang layak untuk diterapkan. Tentunya tidak ujug-ujug muncul begitu saja, karena sistem pengangkutan sedang bermasalah atau tidak dapat diandalkan seperti saat ini.  

Baca Juga:  Mengurai Benang Kusut Kelebihan Penghuni Penjara

Solusi Pengelolaan Sampah
Sampah menumpuk karena tidak diangkut, apakah yang sedang bermasalah sistem pengangkutannya saja? atau sistem birokrasi yang tidak sepenuhnya menjalankan standar pelayanan. Tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipikirkan solusinya. Paling tidak, hikmah yang dapat diambil dari penumpukan sampah kali ini harus menjadi warning bagi Pemerintah Kota, bahwa sampah siap menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Dengan jarak layanan lebih dari 25km dari sumber menuju TPA Muara Fajar, sudah saatnya memikirkan penggunaan compactor truck dengan kapasitas pengangkutan yang lebih besar. Optimalisasi TPS (Tempat Penampungan Sementara) menjadi tidak hanya sekedar transit pindah kenderaan saja, namun kegiatan pengolahan perlu dipertimbangkan. Misalnya penggunaan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang dikelola oleh Pemerintah Kota, termasuk didalamnya penggunaan teknologi agar sampah yang diangkut ke TPA benar-benar hanya residunya saja. Jika selama ini mengandalkan model TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah Berbasis 3R) yang dikelola masyarakat dan menemui banyak kendala diberbagai lini, jangan ragu untuk dievaluasi dan ditingkatkan secara kualitas, tidak hanya sekedar ditambah kuantitasnya saja.

Mengangkut sampah memang bukan solusi akhir, tapi tentunya sangat dibutuhkan saat ini. Karena kesehatan masyarakat menjadi prioritas. Perlu kesadaran semua pihak mengatasinya.***

Pemandangan yang tidak sedap dipandang, kembali mewarnai awal tahun ini, sampah menumpuk di banyak tempat bahkan di pusat kota, sudah beberapa hari tidak diangkut petugas. Jika tetap dibiarkan, dikhawatirkan menimbulkan berbagai dampak terhadap kesehatan masyarakat dan pencemaran lainnya.  Sejak Undang Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah disahkan, sebenarnya sampah sudah ditempatkan pada posisi yang strategis, karena berpotensi menjadi bencana daerah bahkan nasional.

Lebih dari seratusan nyawa melayang akibat longsor Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah di Jawa Barat pada Februari 2005 lalu, yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Tentunya kita tidak ingin mengulang kejadian serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

- Advertisement -

Sejak 2008 pula, pola Kumpul-Angkut-Buang perlu dipertimbangkan untuk pelan-pelan digantikan menjadi Cegah-Pilah-Olah. Karena Kumpul-Angkut-Buang hanya menyelesaikan sampah sesaat yaitu menyelesaikan sampah di akhir sebuah sistem, pastinya memiliki beban kerja yang sangat berat. Sampah setelah dikumpulkan, kemudian diangkut untuk "disimpan" yang sebenarnya dibuang di suatu tempat. Tempat ini disebut sebagai TPA, sejak 2008 pula berubah dari Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pemrosesan Akhir.

Harapannya tidak hanya dibuang, melainkan ada proses yang dilakukan disana. Sehingga tidak ada lagi masalah TPA yang ditutup karena over kapasitas, dan ujung-ujungnya mencari lokasi yang baru. Akankah TPA Muara Fajar penuh? di lokasi mana lagi harus disediakan TPA yang baru? mudahkah mencari lokasi baru tersebut? masyarakat dengan mudah menerima kehadiran TPA di sekitarnya? merupakan daftar pertanyaan yang harus dipikirkan sedini mungkin dalam merencanakan sistem pengelolaan sampah perkotaan yang lebih baik.

- Advertisement -
Baca Juga:  Hak Perempuan dalam Penegakan Hukum (Memaknai Peringatan Hari Ibu)

Berbicara tentang pengelolaan sampah, pastinya tidak terlepas dari produk hukum. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No 8 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah telah diatur sedemikian rupa sehingga pengelolaan sampah dapat dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.

Bank Sampah
Bank Sampah sering menjadi solusi praktis dalam meningkatkan angka pengurangan sampah. Daerah berlomba-lomba membangun bank sampah, dengan harapan masyarakat dapat menyetorkan sampah terpilahnya. Seringkali, bank sampah menjadi jargon kosong padahal pengelolanya sulit untuk mengembangkan diri, berbagai masalah harus dihadapi, seperti harga jual sampah yang tidak menentu, partisipasi masyarakat yang minim belum lagi dukungan fasilitas yang tidak memadai.

Jika ingin dibangun, Bank Sampah perlu dipetakan dengan baik agar dapat bertahan dengan berbagai terpaan badai pengelolaan sampah. Diperlukan studi tentang partisipasi masyarakat, dibekali dengan pengetahuan organisasi, administrasi dan pencatatan keuangan layaknya bank pada umumnya. Disulut dengan energi positif, sehingga dapat berpikir kreatif untuk berkontribusi dalam sistem pengelolaan sampah, minimal di daerah kawasannya masing-masing. Bank Sampah menjadi perantara antara pemangku kebijakan dengan masyarakat sebagai penghasil sampah. Mengakomodir sampah agar tidak dengan cepat berakhir di tong sampah, naik ke gerobak lanjut ke truk dan berakhir di TPA Muara Fajar.

Namun, tugas ini tentu tidaklah mudah, ibarat usaha harus memiliki segmen pasar yang jelas, sudahkah pasar produk/bahan baku daur ulang di Sumatera telah baik seperti halnya di Pulau Jawa? mengapa Bank sampah di Jawa lebih cepat berkembang dibandingkan di Sumatera? mungkin perlu pertimbangan kita bersama.

Peran Serta Masyarakat  
Menjadi kewajiban setiap orang untuk melakukan pengelolaan sampah, mulai dari mengurangi hingga mengolah agar jumlahnya lebih sedikit untuk dibawa ke TPA. Namun, butuh pula sosialisasi yang komprehensif untuk mengenalkan pengelolaan sampah pada masyarakat, melibatkan hingga memahamkan proses ramah lingkungan yang layak untuk diterapkan. Tentunya tidak ujug-ujug muncul begitu saja, karena sistem pengangkutan sedang bermasalah atau tidak dapat diandalkan seperti saat ini.  

Baca Juga:  Ramadan Berlalu, Syawal Tiba

Solusi Pengelolaan Sampah
Sampah menumpuk karena tidak diangkut, apakah yang sedang bermasalah sistem pengangkutannya saja? atau sistem birokrasi yang tidak sepenuhnya menjalankan standar pelayanan. Tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipikirkan solusinya. Paling tidak, hikmah yang dapat diambil dari penumpukan sampah kali ini harus menjadi warning bagi Pemerintah Kota, bahwa sampah siap menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Dengan jarak layanan lebih dari 25km dari sumber menuju TPA Muara Fajar, sudah saatnya memikirkan penggunaan compactor truck dengan kapasitas pengangkutan yang lebih besar. Optimalisasi TPS (Tempat Penampungan Sementara) menjadi tidak hanya sekedar transit pindah kenderaan saja, namun kegiatan pengolahan perlu dipertimbangkan. Misalnya penggunaan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang dikelola oleh Pemerintah Kota, termasuk didalamnya penggunaan teknologi agar sampah yang diangkut ke TPA benar-benar hanya residunya saja. Jika selama ini mengandalkan model TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah Berbasis 3R) yang dikelola masyarakat dan menemui banyak kendala diberbagai lini, jangan ragu untuk dievaluasi dan ditingkatkan secara kualitas, tidak hanya sekedar ditambah kuantitasnya saja.

Mengangkut sampah memang bukan solusi akhir, tapi tentunya sangat dibutuhkan saat ini. Karena kesehatan masyarakat menjadi prioritas. Perlu kesadaran semua pihak mengatasinya.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari