Eksistensi relawan politik menjadi sebuah fenomena yang kerap ditumpangi kepentingan gelap oleh aktor-aktor politik tertentu. Kemunculan relawan politik seperti halnya mereka yang tergabung di Relawan Ganjar, Relawan Anis, Relawan Airlangga, Relawan Prabowo, dan lainnya, di satu sisi merupakan suatu hal yang wajar dalam praktik politik sebelum Pemilu di Indonesia.
Relawan politik ini seperti menemukan tempat baru dan lingkungan baru, terutama paada saat persiapan kompetisi politik pada pemilihan umum secara langsung, baik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pemilihan kepala daerah.
Jika dilihat pada tataran kehidupan berdemokrasi, eksistensi relawan politik merupakan energi positif dalam percaturan politik dan demokrasi pra-Pemilu, namun kerap ditumpangi praktik politik gelap. Apalagi relawan politik mendukung bakal calon yang masih menjabat atau masih menduduki kursi politik di pemerintahan. Inilah sisi gelap yang memungkinkan terjadinya politisasi jabatan.
Disamping itu relawan politik menjadi studi penting untuk mendorong partisipasi masyarakat. Bagaimana masyarakat terlibat langsung dalam politik sebagai subyek politik bukan dijadikan sebagai objek politik.
Menurut Roth and Wilson (1980) dalam piramida partisipasi politik menjelaskan, tingkat partisipasi politik terendah (kaki piramida) merupakan masyarakat yang apatis dan kemudian kelompok ini sangat rentan dan berpotensi tinggi dimobilisasi untuk memilih salah satu kandidat politik karena kurangnya pengetahuan politik dan masih rendahnya tingkat pendidikan.
Sedangkan lapisan paling atas (pucuk piramida) adalah mereka yang disebut sebagai kelompok aktivis yang mempunyai kekuatan politik paling besar dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan politik.
Kemudian interaksi antara kelompok atas (pucuk piramida) dengan kelompok bawah (kaki piramida) ini yang berpotensi terjadinya politisasi jabatan, dengan kekuatan dan posisi tertinggi, mereka memobilisasi kelompok paling bawah atau masyarakat di daerah-daerah dengan iming-iming janji politik tertentu.
Namun sebaliknya adanya anggapan keliru terhadap mobilisasi relawan politik sebagai perpanjangan tangan partai politik, atau sengaja dibentuk oleh salah satu figur politik, dapat dibantahkan apabila relawan politik menunjukkan sikap dan tindakan yang benar-benar murni dari keinginan rakyat terutama dari daerah-daerah, bukan dimobilisasi oleh kepentingan elit politik tertentu.
Jika benar relawan politik ini adalah murni dari niat atau inisiatif masyarakat dari beberapa daerah, maka relawan politik harus dilindungi dengan aturan-aturan yang jelas. Kemunculan relawan politik tentu membawa dampak positif pada partisipasi politik masyarakat.
Sampai hari ini belum ada aturan yang jelas terkait eksistensi relawan politik karena mereka bukan organisasi sayap partai politik dan bukan perpanjangan partai politik tertentu.
Sampai hari ini aturan main relawan politik ini masih gelap, di satu sisi eksistensinya membawa dampak positif karena mengubah mindset politik masyarakat untuk tidak apatis. Di lain sisi mobilisasi relawan politik kadang tidak ubahnya seperti pergerakan kader-kader partai atau organisasi sayap partai politik untuk memenangkan salah satu kandidat dalam Pilpres atau Pilkada. Lagipula mana ada pergerakan politik atau mobilisasi massa tanpa akomodasi, yang erat kaitannya sama uang (logistik). Ini yang mungkin menjadi perhatian khusus bagaimana relawan politik tidak dijadikan tumbal politik, atau tidak terlibat dalam money politic nantinya.
Harus ada aturan khusus yang mengikat dari lembaga-lembaga terkait seperti penyelenggara atau pengawasan pemilu dan pemerintah, karena relawan politik ini secara praktik jika ditelusuri eksistensinya tidak begitu “rela-rela juga”, sebab jika calon yang diusung nantinya menang di Pilpres atau Pilkada, tidak heran relawan politik mendapat cipratan berupa posisi penting di pemerintahan, misalnya komisaris atau staf khusus presiden atau staf khusus menteri.***