Minggu, 7 Juli 2024

Catatan Hasil Pansus Ranperda Tanah Ulayat

TULISAN ini berangkat dari Ranperda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang dua tahun lalu dibatalkan MA. Disebutkan matrik perubahan Perda Nomor 10 Tahun 2015 dengan Ranperda hasil pansus menyebutkan 2 pasal saja, yakni pasal 10 dan Pasal 16, yang dianulir oleh MA 4 tahun lalu. Matrik ini diperoleh ketika mendampingi Lembaga Adat Kabupaten Rokan Hilir di Pasir Pangaraian sebagai tempat penjaringan aspirasi Pansus DPRD Riau yang didampingi oleh konsultan Ranperda Dr Firdaus.

Dua pasal itu disebutkan pasal 10 dan pasal 16. Pasal 10 disebutkan (1) objek tanah adat terdiri dari tanah ulayat, tanah hayat, di wilayah masyarakat adat, (2) Penguasa dan kepemilikan Obyek Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah (a) batin, mewakili anggota masyarakat dari suku kebatinan, (b) Datuk penghulu anggota masyarakat dari kepenghuluan, (c) Datuk Suku anggota masyarakat dari satupersukuan, (d) atau nama lain berdasarkan dari satu persukuan.

- Advertisement -

Pasal 16 temuan pansus yakni (1) Hak kepemilikan Tanah Ulayat dapat dialihkan utk: (a) Kepentingan umum; dan/atau (b) Kehendak bersama seluruh anggota persukuan dan atau masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. (2) Pengalihan hak sebagaimana tsb pada ayat (1) harus berdasarkan ketetapan pemangku adat/pemegang kuasa tanah ulayat dan anggota masyarakat adat, (3) Tanah Ulayat yg dialihkan haknya untuk kepentingan umum berdasarkan izin yg dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, harus dikembalikan kepada masyarakat adat setelah izin tersebut habis masa berlakunya.

Sebenarnya, selain dua pasal di atas banyak pasal yang hendaknya perlu diperbaiki sebelum ketok palu dilakukan oleh DPRD Riau, agar tidak sia-sia dan Perda ini nantinya berdaya-guna. Tapi tentu sangat panjang untuk dimuat pada tulisan ini. Berkaitan dengan 2 pasal itu, tulisan ini hendak memberikan wawasan bagaimana saujana (lanskap) Tanah Ulayat di Riau.

Baca Juga:  Masa Depan Pendidikan Anak Negeri

Keberadaan Tanah Ulayat

- Advertisement -

Ada tiga tipe atau pola kemasyarakatan di Riau ini yakni 1) kawasan yang menganut sistem matriarkhat, 2) sistem patiarkhat, dan 3) sistem yang menganut paham di antara sistem itu, seperti kacukan yang khas, yakni di antara itu ada kawasan yang menerapkan antara matriarkhat dan patiarkhat.  

1) Masyarakat yang menganut sistem matriarkhat kecenderungan berada di Riau sebelah Darat. Kawasan ini kecenderungan kepemimpinan adatnya adalah batin, datuk atau penghulu. Disebut kecenderungan karena memang tidak semua masyarakat di kawasan itu menganut matriartkat ada juga yang menganut patriarkhat seperti Tambusai, dan kawasan lainnya. Dan 2) sistem patiarkhat yang dianut di kawasan pesisir dan laut, Yang kepemimpinan adatnya datuk dan (juga) penghulu. Untuk kasus suku asli pun juga beragam. Kecenderungan kepemimpinan adatnya adalah raja atau sultan.  3) Sistem yang menganut antara itu ada kawasan yang menerapkan antara matriarkhat dan patiarkhat.  Model yang ketiga ini adalah dipakai oleh masyarakat di frontier area, seperti Tiga Lorong di kawasan budaya Inderagiri.

Hutan simpanan (rimba gana), di kawasan ini bersarang sejumlah hewan yang dilindungi UU, dan kayu-kayan yang diperlukan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, kayu kulim, tembesu yang digunakan utk kepentingan kolektif kemasyarakat seperti a.l. membuat bangunan sosial dan bahan perahu jalur di Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong Inderagiri. Hutan ini dipelihara sebagai benteng pelapis terakhir untuk anak cucu masyarakat Melayu.  Rimba cadangan kemudian bertranspormasi menjadi hutan produksi. Hutan di kawasan ini juga adakalanya merupakan kawasan cadangan untuk keperluan perladangan (padi dan palawija).    
Dalam hal kepemilikan mesti ada pernyataan yang menyatakan bahwa Tanah Ulayat adalah tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak lain atau kepada pihak ketiga. Karena jika pasal ini tidak ada maka memungkinkan para pihak mengalihkan hak milik. Pasal berikut yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi Tanah Ulayat tidak hanya untuk fungsi sosial ekonomi, tetapi yg lebih inti adalah fungsi budaya yang dalam masyarakat Melayu Riau disebut dengan fungsi adat, yakni semua hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

Persoalan Institusi

Baca Juga:  Mengelola Momentum Pemulihan Ekonomi Riau

Persoalan institusi penting dimasukkan dalam Ranperda ini, karena ada sejumlah kegiatan atau pekerjaan dan kondisi yang harus segera dilakukan jika ingin perda ini dilaksanakan.  Institusi yang berintegritas mesti ada pada Ranperda ini, mungkin bentuknya Tim Asistensi, semacam Dewan Tanah Ulayat. Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Tim ini yang antara lain berfungsi membantu pemangku adat dalam menata Tanah Ulayat di daerahnya masing dalam rangka pendataan, inventarisasi tanah ulayat dan pengurusan sertifikat tanah ulayat.***

DR Elmustian Rahman – Dosen Unri, mantan Redaktur Budaya Bahana Mahasiswa 1986 

TULISAN ini berangkat dari Ranperda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang dua tahun lalu dibatalkan MA. Disebutkan matrik perubahan Perda Nomor 10 Tahun 2015 dengan Ranperda hasil pansus menyebutkan 2 pasal saja, yakni pasal 10 dan Pasal 16, yang dianulir oleh MA 4 tahun lalu. Matrik ini diperoleh ketika mendampingi Lembaga Adat Kabupaten Rokan Hilir di Pasir Pangaraian sebagai tempat penjaringan aspirasi Pansus DPRD Riau yang didampingi oleh konsultan Ranperda Dr Firdaus.

Dua pasal itu disebutkan pasal 10 dan pasal 16. Pasal 10 disebutkan (1) objek tanah adat terdiri dari tanah ulayat, tanah hayat, di wilayah masyarakat adat, (2) Penguasa dan kepemilikan Obyek Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah (a) batin, mewakili anggota masyarakat dari suku kebatinan, (b) Datuk penghulu anggota masyarakat dari kepenghuluan, (c) Datuk Suku anggota masyarakat dari satupersukuan, (d) atau nama lain berdasarkan dari satu persukuan.

Pasal 16 temuan pansus yakni (1) Hak kepemilikan Tanah Ulayat dapat dialihkan utk: (a) Kepentingan umum; dan/atau (b) Kehendak bersama seluruh anggota persukuan dan atau masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. (2) Pengalihan hak sebagaimana tsb pada ayat (1) harus berdasarkan ketetapan pemangku adat/pemegang kuasa tanah ulayat dan anggota masyarakat adat, (3) Tanah Ulayat yg dialihkan haknya untuk kepentingan umum berdasarkan izin yg dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, harus dikembalikan kepada masyarakat adat setelah izin tersebut habis masa berlakunya.

Sebenarnya, selain dua pasal di atas banyak pasal yang hendaknya perlu diperbaiki sebelum ketok palu dilakukan oleh DPRD Riau, agar tidak sia-sia dan Perda ini nantinya berdaya-guna. Tapi tentu sangat panjang untuk dimuat pada tulisan ini. Berkaitan dengan 2 pasal itu, tulisan ini hendak memberikan wawasan bagaimana saujana (lanskap) Tanah Ulayat di Riau.

Baca Juga:  Jurnalistik Bencana; Antara Informasi, Mitigasi dan Adaptasi

Keberadaan Tanah Ulayat

Ada tiga tipe atau pola kemasyarakatan di Riau ini yakni 1) kawasan yang menganut sistem matriarkhat, 2) sistem patiarkhat, dan 3) sistem yang menganut paham di antara sistem itu, seperti kacukan yang khas, yakni di antara itu ada kawasan yang menerapkan antara matriarkhat dan patiarkhat.  

1) Masyarakat yang menganut sistem matriarkhat kecenderungan berada di Riau sebelah Darat. Kawasan ini kecenderungan kepemimpinan adatnya adalah batin, datuk atau penghulu. Disebut kecenderungan karena memang tidak semua masyarakat di kawasan itu menganut matriartkat ada juga yang menganut patriarkhat seperti Tambusai, dan kawasan lainnya. Dan 2) sistem patiarkhat yang dianut di kawasan pesisir dan laut, Yang kepemimpinan adatnya datuk dan (juga) penghulu. Untuk kasus suku asli pun juga beragam. Kecenderungan kepemimpinan adatnya adalah raja atau sultan.  3) Sistem yang menganut antara itu ada kawasan yang menerapkan antara matriarkhat dan patiarkhat.  Model yang ketiga ini adalah dipakai oleh masyarakat di frontier area, seperti Tiga Lorong di kawasan budaya Inderagiri.

Hutan simpanan (rimba gana), di kawasan ini bersarang sejumlah hewan yang dilindungi UU, dan kayu-kayan yang diperlukan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, kayu kulim, tembesu yang digunakan utk kepentingan kolektif kemasyarakat seperti a.l. membuat bangunan sosial dan bahan perahu jalur di Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong Inderagiri. Hutan ini dipelihara sebagai benteng pelapis terakhir untuk anak cucu masyarakat Melayu.  Rimba cadangan kemudian bertranspormasi menjadi hutan produksi. Hutan di kawasan ini juga adakalanya merupakan kawasan cadangan untuk keperluan perladangan (padi dan palawija).    
Dalam hal kepemilikan mesti ada pernyataan yang menyatakan bahwa Tanah Ulayat adalah tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak lain atau kepada pihak ketiga. Karena jika pasal ini tidak ada maka memungkinkan para pihak mengalihkan hak milik. Pasal berikut yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi Tanah Ulayat tidak hanya untuk fungsi sosial ekonomi, tetapi yg lebih inti adalah fungsi budaya yang dalam masyarakat Melayu Riau disebut dengan fungsi adat, yakni semua hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

Persoalan Institusi

Baca Juga:  SLRT, Solusi Fakir Miskin Mendapatkan Hak

Persoalan institusi penting dimasukkan dalam Ranperda ini, karena ada sejumlah kegiatan atau pekerjaan dan kondisi yang harus segera dilakukan jika ingin perda ini dilaksanakan.  Institusi yang berintegritas mesti ada pada Ranperda ini, mungkin bentuknya Tim Asistensi, semacam Dewan Tanah Ulayat. Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Tim ini yang antara lain berfungsi membantu pemangku adat dalam menata Tanah Ulayat di daerahnya masing dalam rangka pendataan, inventarisasi tanah ulayat dan pengurusan sertifikat tanah ulayat.***

DR Elmustian Rahman – Dosen Unri, mantan Redaktur Budaya Bahana Mahasiswa 1986 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari