KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla)
tahun ini masih menjadi ancaman nyata di depan mata. Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMKG) memprediksi puncak
musim kemarau di wilayah Sumatera, akan terjadi antara Juni-Agustus. Namun
titik api (hotspot) pada daerah rawan
sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun.
Karhutla, karena dalam waktu bersamaan Indonesia sedang berperang dengan penyebaran
pandemi corona (Covid-19.
yang menimbulkan dampak bencana asap dan virus corona jelas menimbulkan
kekhawatiran, karena ciri dampaknya relatif hampir sama pada fisik korban
manusia, yakni sama-sama menyerang pernapasan.
Pascakarhutla 2015,
pemerintah sebenarnya telah melakukan evolusi kebijakan besar-besaran dalam
pengendalian karhutla. Evolusi kebijakan ini sudah diterjemahkan dalam berbagai
tindakan, baik di level organisasi kerja satgas, swasta, masyarakat, dan
tataran non-teknis lainnya hingga ke tingkat tapak.
Namun karena karhutla
memiliki kompleksitas persoalan yang “menggurita†ke mana-mana, maka seringnya
kebijakan-kebijakan yang telah, sedang, dan akan dilakukan sebagai antisipasi
karhutla, masih belum dipahami atau bahkan dirasakan manfaatnya secara langsung
oleh publik.
Ini otomatis
mempengaruhi persepsi dan opini publik, yang muaranya pada pertanyaan utama, sebenarnya
apa upaya pemerintah dalam pengendalian karhutla yang sudah menjadi bencana
musiman ini? Terlebih di masa pandemi corona yang telah ditetapkan sebagai bencana
nasional.
Dasar Kebijakan dan Implikasinya
Berdasarkan Inpres
11/2015, lebih dari 25 kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah (pemda),
mendapat mandat setara dalam berbagai upaya pengendalian karhutla di Indonesia.
Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanyalah satu dari sekian banyak kementerian/lembaga
yang tergabung dalam Satgas Pengendalian Karhutla.
Adapun tim inti Satgas
Karhutla yang anggotanya juga bertugas hingga ke tingkat tapak adalah Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, Polri, dan yang paling terpenting
adalah unsur pemda.
Melalui Inpres ini
pula, paradigma kerja menangani karhutla tidak lagi berfokus pada upaya
pemadaman, tapi pengendalian. Pengendalian yang dimaksud mulai dari tahap
perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, dan
status kesiagaan. Semuanya diamanatkan berlaku untuk seluruh tingkat organisasi
kerja satgas, dari unsur pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Terkait pandemi,
Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
sebagai bencana nasional.
Dengan mengacu pada UU
nomor 24 tahun 2007, Presiden kemudian menetapkan Kepala BNPB, Doni Monardo
sebagai Kepala Komando Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Presiden juga
mengeluarkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020, sebagai pedoman kerja hampir semua kementerian/lembaga
dan pemda mengambil langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis
dalam menangani penyebaran virus.
Implikasi langsung dari
berbagai kebijakan ini, menjadikan beban kerja Satgas Karhutla dan Gugus Tugas
Covid-19 semakin berat. Terlebih lagi di dua organisasi satgas ini (corona dan karhutla),
anggotanya berasal dari berbagai kementerian/lembaga yang sama, namun dengan
tupoksi tugas yang berbeda-beda.
Fokus Satgas Karhutla
akan seketika terbagi pada penanganan Covid-19. Tim kerja TNI/Polri yang selama
ini dituntut ikut dalam upaya pengendalian karhutla, saat ini juga ikut
menangani Covid-19. Begitu pula dengan unsur pemda sebagai penjaga Karhutla di
tingkat tapak, yang tentu saja harus melakukan refocusing program dan anggaran dalam menghadapi corona di wilayah
kerja masing-masing.
Pergerakan pengendalian
karhutla di lapangan tentu kini tidaklah semudah yang dibayangkan. Selain akses
rawan karhutla yang memang sulit ditempuh, ada beberapa desa yang menerapkan lockdown lokal, sehingga pergerakan
sedini mungkin dari tim Manggala Agni dan anggota Satgas Karhutla lainnya
mengalami kendala. Belum lagi ancaman penyebaran virus corona yang mengancam
anggota satgas yang tetap bekerja di garda terdepan pengendalian karhutla.
Ketika BNPB, TNI dan
Polri tengah fokus menghadapi dampak kebijakan penanganan corona, KLHK tentu
saja kini menjadi leading sector
pengendalian karhutla.
Langkah pengendalian karhutla
sebenarnya telah dilakukan sejak jauh hari, namun di situasi tak biasa akibat
pandemi corona, KLHK menyikapinya dengan berbagai kebijakan yang bersifat lebih
adaptif dan responsif.
Kerja pengendalian karhutla
di tingkat tapak seperti patroli terpadu, ground
check hotspot, pemadaman, hingga pada kegiatan penegakan hukum lingkungan,
tetap dilakukan dengan penerapan protokol Covid-19. Laporannya setiap hari dari
kantong-kantong informasi di daerah,disampaikan ke pusat data di Manggala
Jakarta. Menteri LHK juga
menindaklanjuti situasi pandemi dengan mengeluarkan surat edaran, berbagai
instruksi, dan pengambilan kebijakan melalui rapat-rapat intens yang dilakukan
secara virtual.
KLHK mengalokasikan
anggaran sebesar Rp1,01 triliun untuk mendukung program bantuan sosial atau
bantuan pemerintah kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan,
terutama kelompok tani hutan dan kelompok perhutanan sosial, serta petugas yang
mengabdi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang terkena dampak Covid-19.
Alokasi ini merupakan hasil dari refocusing kegiatan dan realokasi anggaran
yang mendapat dukungan dari Komisi IV DPR RI.
Kebijakan inovasi juga
dilakukan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi (BLI) KLHK dengan
memproduksi desinfektan dari cuka kayu dan bambu (asap cair) dan hand sanitizer dengan formula asap cair
(cuka kayu), borneol, etanol, dan gliserol, sebagai antisipasi penyebaran virus
corona.
Mengawal efek corona di
tingkat tapak, KLHK terus mendorong ekonomi lokal melalui Program Perhutanan
Sosial, sehingga petani masih tetap bisa panen di masa pandemi. Hasil petani
hutan seperti empon-empon, jahe, madu, dan lainnya kemudian dibeli dan
diberikan secara gratis ke tenaga medis di garda terdepan penanganan corona.
Di tataran kerja teknis
penegakan hukum, KLHK memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Jambi pada
kasus karhutla terhadap PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (PT ATGA) dengan putusan
menghukum ganti kerugian lingkungan hidup sebesar Rp590,5 Miliar.
Penyidik dari Ditjen
Gakkum KLHK juga tetap mengikuti persidangan pelaku illegal logging dengan fasilitas video conference, dan tetap menyeret pelaku perkara pidana
korporasi Karhutla PT Kumai Sentosa (KS) ke meja hijau untuk kasus karhutla di
Kalimantan Tengah pada bulan Agustus 2019. Luas lahan yang terbakar kala itu
sekitar 2.600 ha.
Beberapa kasus hukum
lingkungan lainnya dari berbagai daerah di Indonesia juga dilaporkan siap
disidangkan (P-21). Ini menjadi sinyal kuat dari Manggala, bahwa meski dalam
suasana pandemi corona, Ditjen Gakkum KLHK tetap bekerja. Begitu pula dengan
kegiatan konservasi seperti penyelamatan dan pelepasliaran satwa ke habitatnya.
dengan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), KLHK juga
memutuskan untuk segera melakukan Tekhnologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk
membasahi gambut, mengisi embung dan kanal, sebagai antisipasi datangnya musim
kering. Prioritas TMC dilakukan di tiga Provinsi rawan, Riau, Jambi, dan
Sumatera Selatan.
Kebijakan adaptif
lainnya, KLHK memberikan pelatihan bagi pendamping Perhutanan Sosial secara
elektronik/e-Learning. Pelatihan
berdurasi 25 jam pelajaran ini dilaksanakan dari tanggal 27 April–18 Juni 2020
secara bertahap, diikuti sekitar 3.000 peserta di seluruh Indonesia yang
terbagi dalam 100 angkatan, di mana satu angkatan terdiri dari 30 peserta.
Kewaspadaan dan pengendalian karhutla menjadi salah satu materi yang
disampaikan kepada para peserta.
Menjaga Gambut
Gambut menjadi area
yang paling rawan sekaligus paling sulit dipadamkan bilamana terbakar. Pada
periode 2015-2019, tercatat sekitar 4,08 juta ha gambut di tujuh Provinsi
restorasi masih dilaporkan terbakar. Jumlah ini mendominasi dari 5,4 juta ha
total areal terbakar di periode tahun yang sama (Prof Bambang Hero Sahardjo,
IPB).
kurun waktu 4 tahun tersebut sebenarnya masih relatif lebih rendah, bila
dibandingkan luasan area terbakar pada kejadian karhutla tahun 1997/1998 yang
mencapai 11 juta ha, karhutla 2006 yang mencapai 10 ha, atau realitas bahwa
pada kurun waktu satu tahun saja di 2015 area terbakar mencapai 2,6 juta ha.
Sebagai catatan,
karhutla 2019 membara di banyak negara di dunia. Seperti di Kanada (1,8 juta
ha), Amerika (1,9 juta ha), Amazon (2,2 juta ha), Siberia (6,7 juta ha), dan
bahkan negara tetangga Australia harus merasakan keganasan api yang
menghanguskan hutan dan lahan mereka seluas hampir 12 juta ha.
Indonesia sendiri di
2019 mengalami karhutla dengan luasan 1,6 juta ha, setelah sebelumnya di
2016-2018 berhasil menekan karhutla hingga rata-rata 80-90 persen dari kasus
2015.
Angka-angka ini
menunjukkan bahwa intervensi kebijakan perlindungan gambut dan perubahan
paradigma kerja dari pemadaman ke pengendalian, telah berhasil membawa
Indonesia pada fase baru penanganan karhutla. Sistem kerjanya sudah terlihat
membawa hasil, meski harus diakui masih ada kelemahan di sana sini.
Keberhasilan suatu
kebijakan tentu saja tidak hanya berdasar pada angka-angka semata, melainkan
realitas lapangan. Realitasnya, lahan gambut yang harusnya dilindungi masih
mengalami kebakaran dan ini tentu masih menjadi PR besar pemerintah.
begitu massif akibat alih fungsi lahan sejak berpuluh tahun lalu, jelas memberi
tantangan yang tidak mudah diselesaikan hanya dalam kurun waktu 5-10 tahun,
apalagi ujug-ujug pulih seketika.
Perlindungan gambut
jelas menjadi kewajiban yang melibatkan banyak instansi baik pemerintah maupun
swasta. Khusus di KLHK, masih di masa pandemi, Menteri LHK telah menerbitkan
SK.851 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru(PIPPIB)
Hutan Alam Primer dan lahan gambut tahun 2020 Periode I. Hal ini dalam rangka
melaksanakan Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut.
Dengan demikian
tercatat hutan alam primer dan lahan gambut yang dijaga dan tidak boleh
ditransfer untuk kegiatan lain meningkat menjadi seluas 66,3 juta ha. Adapun
luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1%
dari total daratan.
Dari hasil evaluasi
pemegang izin perkebunan (HGU), pencegahan karhutla melalui pemulihan ekosistem
gambut terus dilakukan dengan membangun beberapa infrastruktur seperti Titik
Penataan Tinggi Muka Air Tanah (TP-TMAT), TMAT Manual, TP-TMAT Logger, dan
sekat kanal.
Sementara di kawasan
Hutan Tanaman Industri (HTI), pencegahan karhutla melalui pemulihan ekosistem
gambut dilakukan dengan membangun beberapa infrastruktur seperti 376 Titik
Penataan-TMAT Manual, TMAT otomatis 106 unit, stasiun curah hujan 7 unit, dan
321 unit sekat kanal.
Hasilnya tidak terjadi
Karhutla pada tahun 2019 pada areal gambut yang telah diintervensi pembasahan,
ataupun pada areal gambut yang dipulihkan. Inilah yang seharusnya wajib
dipertahankan, meski tantangan tetap saja ada khususnya dari alih fungsi lahan
gambut di luar kawasan (lahan masyarakat).
Komunikasi Kebijakan di Masa Krisis
Kebingungan biasanya
menjadi ciri area kebijakan. Dalam area itu, bahasa yang dipakai bersama
mungkin memuat banyak makna yang bisa jadi saling bertentangan. (Young,
1987:94)
Apa yang sudah
dilakukan pemerintah sebenarnya sudah berjalan tidak pada aspek simbolis, tapi
substantif. Namun biasanya karena bahasa kebijakan dengan bahasa komunikatif
pemerintah ke publik hampir pasti mengalami ambiguous
(ambigu) atau maknanya dipahami lebih dari satu, terkadang meski
kebijakannya sudah tepat, namun masih menimbulkan keraguan, kekaburan,
ketidakjelasan dan sebagainya dari publik.
Kebijakan adaptif dan
responsif yang dilakukan KLHK di masa pandemi corona bersifat mengkaver
kebijakan mitigasi karhutla. Namun tantangan sebenarnya tetap ada pada realitas
kerja di lapangan dari seluruh unsur tim Satgas termasuk masyarakat, dalam
merespon ancaman karhutla yang sudah menjadi bencana musiman.
Untuk itu tepat kiranya
para decision maker yang berkaitan
dengan karhutla sebagaimana Inpres 11/2015, tetap menjalankan fungsi tugas dan
kewajibannya di masa-masa sulit ini. Respon kebijakan yang tepat dan cepat akan
menjadi kunci keberhasilan pengendalian karhutla.
Hal terpenting lainnya
adalah mengkomunikasikan berbagai kebijakan publik terkait karhutla dengan baik
ke publik. Untuk itu butuh inovasi, kreativitas, dan kerja lebih keras lagi.
Serta peningkatan sinergisitas antar para pihak, agar tidak terjadi pertemuan “duet bencana” di waktu yang sama.
situasi pandemi, karhutla sejak dini tetap diatasi, tanpa tapi.***
(FIA) Universitas Lancang Kuning Pekanbaru yang juga Tenaga Ahli Menteri LHK, dan Penggagas Generasi Penggerak (GeRak).