Minggu, 8 September 2024

Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

Komunikasi secara praktik adalah informasi yang tersampaikan. Ilmu
informasi bersifat multidisipliner. Sarana penyampaiannya beragam. Tujuannya
macam-macam. 

Di lingkup kerja pemerintahan dan politik kebijakan, komunikasi
bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan pengakuan publik (rakyat). Selain
juga menjadi alat untuk evaluasi kebijakan (
policy) dan pengayaan ilmu
pengetahuan (
science).

Belakangan ini informasi deforestasi Indonesia didominasi dengan
informasi bahwa Indonesia kehilangan hutan primer nomor tiga di dunia. 

Kita mulai bedah dari posisi judul informasi.

Judul adalah kesimpulan dari seluruh informasi yang disajikan
dalam badan berita. Survei menunjukkan, bahwa pembaca hanya suka membaca judul
berita saja, tanpa membaca isi.

Pada kasus ini, pengetahuan pembaca sudah diisi dengan informasi
utama bahwa Indonesia juara ketiga deforestasi di dunia. 

Selanjutnya kita melangkah pada isi berita.

Dalam dunia jurnalistik dikenal teori piramida terbalik. Semakin
ke bawah isinya semakin tidak penting. Pondasi piramida yang berada di atas,
merupakan struktur dengan isi informasi terpenting. Inilah yang disebut
dengan 
lead.

Lead akan jadi guidance atau
membimbing pembaca ke inti informasi seluruhnya. Makanya jangan heran, banyak
yang merasa cukup mendapat informasi hanya dengan membaca judul dan lead pembuka,
karena menganggap paragraf-paragraf berikutnya tidak penting sehingga tidak
perlu lanjut membaca. 

Lead utama dari contoh
kasus ini hanya dominan mengenai posisi Indonesia juara tiga kehilangan hutan
primer di dunia. Hanya itulah akhirnya yang publik tahu, andai malas membaca.

Kamuflase Informasi

Penyusunan judul dan lead deforestasi Indonesia,
tidak salah dalam kitab jurnalistik manapun. Karena memang masih banyak berlaku
adagium klasik 
bad news is good news. Kabar buruk adalah
berita yang bagus. Sehingga dianggap sah-sah saja. 

Namun pada konteks sajian data deforestasi Indonesia, ada yang
terkesan sengaja dikaburkan (
camouflage), dan bila tidak dicermati
dengan baik, maka terjadi kamuflase informasi yang bisa mendelegitimasi upaya,
kinerja, dan capaian-capaian pemerintah (di dalamnya jelas ada seluruh komponen
rakyat), terutama terkait sektor kehutanan.

Berbagai sumber informasi yang mengangkat isu Deforestasi
Indonesia juara tiga dunia merujuk data dari University of Maryland yang
dirilis oleh Global Forest Watch (GFW), yang kemudian banyak diterbitkan oleh
media dalam negeri maupun media asing. 

Kebanyakan menyatakan  “Indonesia
telah berhasil menurunkan deforestasi, tapi masih tiga besar dunia”. 
Suatu hal yang kemudian berkembang menjadi 
lead berita adalah
tentang tiga besar dunia, tanpa melihat lagi apakah definisi 
primary
forest 
yang digunakan peta GFW/WRI tersebut adalah hutan primer
berdasarkan standar keilmuan dan peraturan perundangan.

Membentuk Opini

Opini yang terbentuk dari contoh kasus ini membuat seolah-olah
Indonesia gagal menjaga kekayaan sumber daya alamnya secara berkelanjutan.
Padahal faktanya, informasi ini jelas tidak tepat karena Indonesia berhasil
menurunkan angka deforestasi secara terukur.

Penggiringan opini dengan kamuflase informasi akan menjadikan
publik kita minder, tidak percaya dengan kemampuan negara sendiri, dan lebih
bangga merujuk pada kemampuan negara lain.

Sajian data yang dikamuflasekan juga menjadi ancaman pada
pembentukan opini dan pengambilan kebijakan yang tidak tepat oleh para pihak.
Publik seakan dimanjakan dengan data-data riset asing yang menggunakan
metodologi dan definisi yang berbeda dengan kondisi di tanah air. 

Padahal untuk sumber data kehutanan, Indonesia sebenarnya jauh
lebih hebat. Untuk menghitung luasan deforestasi Indonesia, metodologi
penghitungan telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen
resmi negara berjudul 
National Forest Reference Emission Level (FREL) yang
resmi dikeluarkan pada 18 September 2015. 

Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC
melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini
menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah diterima (
well-recognized)
di dunia internasional.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan
diakui di dunia internasional yaitu 
National Forest Monitoring System/NFMS
SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia internasional,
seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.

Baca Juga:  Potret Partisipasi Pemilih Riau

Kamuflase Versi WRI

Rujukan informasi dari banyak media mengambil data dan narasumber
dari 
World Recources Institute (WRI) Indonesia, yang merupakan
lembaga riset internasional pengelola platform 
Global Forest Watch (GFW).

Sajian informasi ke publik jadi dimaknai berbeda, karena WRI
membuat grafik tren 
“primary forest loss” dengan rujukan
narasumber riset GFW, namun menggunakan definisi
 primary forest yang
berbeda dengan standar keilmuan maupun peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia. 

Hal ini bahkan sudah ditegaskan langsung oleh Menteri LHK RI Siti
Nurbaya dengan meminta agar hasil kerja keras Indonesia menurunkan deforestasi
tidak direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang
menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi
data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik
khususnya bidang studi kehutanan.

Karena jika publik tidak jeli dan lengkap membaca, maka kamuflase
informasi dengan menganut adagium 
bad news is good news lebih
menonjol dan dipahami publik sebagai pesan utama, yakni “Kehilangan hutan
primer Indonesia nomor tiga dunia”, daripada “Indonesia berhasil menurunkan
deforestasi selama tiga tahun terakhir” dengan berbagai upaya seluruh komponen
bangsa.

Analisis dan grafik WRI menunjukkan tren primary forest
loss,
 tetapi mereka mendefinisikan primary forest sebagai
hutan dengan setidaknya 30% kepadatan tutupan pohon dari tahun 2002-2019. Jelas
ini artinya bukan tren kehilangan hutan primer.

WRI juga menjelaskan bahwa meningkatnya penegakan hukum, adanya
moratorium permanen pada hutan primer dan lahan gambut, menurunkan angka
deforestasi di Indonesia dari 2017-2019. Ini jelas 
good news yang
diakui oleh WRI, meskipun seharusnya mengakui secara 
full bahwa
ini adalah keberhasilan Indonesia sendiri, bukan karena tekanan dari
internasional.

Namun good news seperti itu tidak diangkat
sebagai judul dan 
lead pembuka, hanya diletakkan pada bagian
isi berita, dan semakin jauh posisinya dari
 lead dan paragraf
utama. 

Ini menciptakan ambigu bagi kalangan pembaca untuk bisa memahami
keterkaitan informasi antara 
lead, paragraf dan badan berita.
Ambigu informasi dikenal dengan 
noise (gangguan)
berkomunikasi. Sehingga pesan yang akan dikirim dengan pesan yang diterima akan
berbeda, atau disebut juga dengan kegagalan persepsi.

Jika sudah begini, untuk mendapatkan good news hanya
dipasrahkan kepada si pembaca sendiri. Apakah ia mau membaca sampai akhir, atau
hanya cukup membaca judul dan 
lead pembuka? Semakin banyak
paragraf dibaca, semakin paham dan tercerahkan. 

Namun semakin malas membaca, maka akan semakin terkamuflasekan
informasi yang diterima tentang capaian-capaian Indonesia khususnya di sektor
kehutanan.

Perlu diingat, dari hasil penelitian menunjukkan literasi
masyarakat Indonesia masih  rendah sekali. (
Kompas, 26/3/2018).

Tren Deforestasi

Dari total kehilangan hutan primer seluas 3,8 juta ha se dunia
yang dihitung University of Maryland dalam sajian data GFW ataupun WRI
tersebut, Indonesia kehilangan 324.000 ha. Angka ini turun 5 persen dibanding
tahun 2018. 

Sebenarnya inilah fase terendah deforestasi di Indonesia lebih
dari satu dekade, setelah jor-joran izin di dekade yang lalu-lalu.

Penurunan angka ini dimulai dari corrective action atau
aksi koreksi sejak masa awal transisi pemerintahan dari Presiden SBY ke Jokowi.

Upaya korektif pemerintah di sektor kehutanan, salah satunya
berhasil menekan laju deforestasi tahunan Indonesia yang berkurang signifikan
dari 3,5 juta ha dalam periode 1996-2000, turun tajam menjadi 0,44 juta ha.

Namun good news ini sayangnya jarang terpilih
sebagai judul, 
lead pembuka, ataupun bahkan pada paragraf
penunjang. 

Kamuflase Karhutla 

Kamuflase informasi berkaitan dengan deforestasi sangat sering
dikaitkan dengan sajian data kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia.

Good news bahwa
Indonesia mampu menekan karhutla pada skala masif pasca kejadian 2015, tetap
dinilai kurang menarik untuk diangkat jadi judul utama.

Baca Juga:  Pelalawan yang Menawan

Selama empat tahun yakni periode 2015-2019, karhutla tercatat
membakar 5,4 juta ha. Relatif lebih rendah bila dibandingkan luasan area
terbakar pada kejadian Karhutla tahun 1997/1998 yang mencapai 11 juta ha,
karhutla 2006 yang mencapai 10 ha, atau realitas bahwa pada kurun waktu satu
tahun saja di 2015 area terbakar mencapai 2,6 juta ha.

Jarang sekali ada sajian informasi membandingkan kerja keras
Indonesia mengendalikan karhutla 2019, dengan karhutla di negara seperti Kanada
(1,8 juta ha), Amerika Serikat (1,9 juta ha), Amazon, Brazil (2,2 juta ha),
Siberia (6,7 juta ha), dan Australia seluas hampir 12 juta ha. 

Padahal pada masa itu Indonesia dengan tantangan geografis, SDM
pemadaman, dan lanskap pemilik salah satu gambut terluas di dunia, di 2019
mengalami Karhutla seluas 1,6 juta ha, setelah pada 2016-2018 berhasil menekan
Karhutla hingga rata-rata 80-90 persen dari kasus 2015.  

Termasuk soal sajian informasi asap lintas batas (transboundary
haze pollution
). Setelah kejadian 2015, hanya satu kali terjadi asap lintas
batas ke negara tetangga Singapura dan Malaysia di tahun 2019, itu pun hanya
beberapa hari. 

Saat itu banyak yang mengusung adagium bad news secara
masif dengan narasi kegagalan Indonesia mengatasi karhutla, daripada
mengedepankan upaya-upaya pengendalian yang terus dilakukan tanpa henti. Asap
yang melintas hanya beberapa hari itu membuat banyak pihak terlupa bahwa
sepanjang tahun 2016-2018, negara tetangga selalu mendapat asupan oksigen lebih
dari keberhasilan Indonesia mengendalikan Karhutla. 

Padahal bila good news dikedepankan, akan mampu
membentuk kepercayaan publik pada kesungguhan dan keberhasilan Indonesia
melakukan intervensi kebijakan perlindungan gambut, dan perubahan paradigma
kerja dari pemadaman ke pengendalian yang telah membawa Indonesia pada fase
baru penanganan Karhutla. Bahkan lebih hebat dari negara lainnya di dunia.

Good News: Nasionalisme

Nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri. Membangun komunikasi publik yang baik dengan orientasi 
good
news
 (berita baik) juga sangat penting artinya untuk membuktikan bahwa
negara hadir di tengah rakyatnya.

Kamuflase informasi yang secara terus menerus dan gagal dipahami
publik, akan bermuara pada rendahnya kepercayaan atas kemampuan negara meski
sudah menjalankan sistem nilai 
good governance.

Publik dikhawatirkan cenderung percaya pada kalangan luar, dan
menafikan pencapaian yang dilakukan putra putri terbaik Bangsa. Paham-paham
kolonialisme begini tentu sangat berbahaya bagi nasionalisme bahkan kedaulatan
kita sebagai bangsa besar.

Meski masih jauh dari berbagai target ambisius, Indonesia tengah
berada di jalur yang benar dalam hal pembangunan berkelanjutan (
sustainable
development
). Banyak capaian diraih bukan karena kerja pemerintah semata,
namun juga kerja keras seluruh komponen masyarakat. Ini perlu dijaga dengan
rasa percaya dan saling mendukung sesama anak Bangsa.

Informasi yang tidak tepat, apalagi disampaikan secara
berulang-ulang, akan dipercaya sebagai kebenaran. Sebaliknya, informasi yang
tepat bila tidak pernah disajikan dengan jujur, maka kebenaran hanya akan
ekslusif dinikmati mereka yang paham saja.

Saatnya kita menyampaikan pendapat dan kritik dengan jujur, serta
tidak hanya berfokus pada narasi-narasi negatif tentang bangsa kita sendiri.

Mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari
Universitas Sheffield, Tom Stafford, alasan kenapa berita berpusat pada hal-hal
negatif karena berhubungan dengan insting ketakutan manusia.

Apa yang didapat dari menakut-nakuti bangsa sendiri? Siapa yang
akan menangguk untung dari rasa takut ini?

Mari kita lawan ketakutan dengan membangun optimisme sebagai
bagian dari bangsa yang besar. Tetaplah bangun narasi-narasi positif. Karena di
luar sana, belum tentu juga ada yang sehebat Indonesia.***

 Dr Afni Zulkifli  MSi, mantan Pemred Pekanbaru Pos dan JPNNTV, Tenaga
Ahli Menteri LHK, dan dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang
Kuning Pekanbaru, Riau.

 

Komunikasi secara praktik adalah informasi yang tersampaikan. Ilmu
informasi bersifat multidisipliner. Sarana penyampaiannya beragam. Tujuannya
macam-macam. 

Di lingkup kerja pemerintahan dan politik kebijakan, komunikasi
bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan pengakuan publik (rakyat). Selain
juga menjadi alat untuk evaluasi kebijakan (
policy) dan pengayaan ilmu
pengetahuan (
science).

Belakangan ini informasi deforestasi Indonesia didominasi dengan
informasi bahwa Indonesia kehilangan hutan primer nomor tiga di dunia. 

Kita mulai bedah dari posisi judul informasi.

Judul adalah kesimpulan dari seluruh informasi yang disajikan
dalam badan berita. Survei menunjukkan, bahwa pembaca hanya suka membaca judul
berita saja, tanpa membaca isi.

Pada kasus ini, pengetahuan pembaca sudah diisi dengan informasi
utama bahwa Indonesia juara ketiga deforestasi di dunia. 

Selanjutnya kita melangkah pada isi berita.

Dalam dunia jurnalistik dikenal teori piramida terbalik. Semakin
ke bawah isinya semakin tidak penting. Pondasi piramida yang berada di atas,
merupakan struktur dengan isi informasi terpenting. Inilah yang disebut
dengan 
lead.

Lead akan jadi guidance atau
membimbing pembaca ke inti informasi seluruhnya. Makanya jangan heran, banyak
yang merasa cukup mendapat informasi hanya dengan membaca judul dan lead pembuka,
karena menganggap paragraf-paragraf berikutnya tidak penting sehingga tidak
perlu lanjut membaca. 

Lead utama dari contoh
kasus ini hanya dominan mengenai posisi Indonesia juara tiga kehilangan hutan
primer di dunia. Hanya itulah akhirnya yang publik tahu, andai malas membaca.

Kamuflase Informasi

Penyusunan judul dan lead deforestasi Indonesia,
tidak salah dalam kitab jurnalistik manapun. Karena memang masih banyak berlaku
adagium klasik 
bad news is good news. Kabar buruk adalah
berita yang bagus. Sehingga dianggap sah-sah saja. 

Namun pada konteks sajian data deforestasi Indonesia, ada yang
terkesan sengaja dikaburkan (
camouflage), dan bila tidak dicermati
dengan baik, maka terjadi kamuflase informasi yang bisa mendelegitimasi upaya,
kinerja, dan capaian-capaian pemerintah (di dalamnya jelas ada seluruh komponen
rakyat), terutama terkait sektor kehutanan.

Berbagai sumber informasi yang mengangkat isu Deforestasi
Indonesia juara tiga dunia merujuk data dari University of Maryland yang
dirilis oleh Global Forest Watch (GFW), yang kemudian banyak diterbitkan oleh
media dalam negeri maupun media asing. 

Kebanyakan menyatakan  “Indonesia
telah berhasil menurunkan deforestasi, tapi masih tiga besar dunia”. 
Suatu hal yang kemudian berkembang menjadi 
lead berita adalah
tentang tiga besar dunia, tanpa melihat lagi apakah definisi 
primary
forest 
yang digunakan peta GFW/WRI tersebut adalah hutan primer
berdasarkan standar keilmuan dan peraturan perundangan.

Membentuk Opini

Opini yang terbentuk dari contoh kasus ini membuat seolah-olah
Indonesia gagal menjaga kekayaan sumber daya alamnya secara berkelanjutan.
Padahal faktanya, informasi ini jelas tidak tepat karena Indonesia berhasil
menurunkan angka deforestasi secara terukur.

Penggiringan opini dengan kamuflase informasi akan menjadikan
publik kita minder, tidak percaya dengan kemampuan negara sendiri, dan lebih
bangga merujuk pada kemampuan negara lain.

Sajian data yang dikamuflasekan juga menjadi ancaman pada
pembentukan opini dan pengambilan kebijakan yang tidak tepat oleh para pihak.
Publik seakan dimanjakan dengan data-data riset asing yang menggunakan
metodologi dan definisi yang berbeda dengan kondisi di tanah air. 

Padahal untuk sumber data kehutanan, Indonesia sebenarnya jauh
lebih hebat. Untuk menghitung luasan deforestasi Indonesia, metodologi
penghitungan telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen
resmi negara berjudul 
National Forest Reference Emission Level (FREL) yang
resmi dikeluarkan pada 18 September 2015. 

Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC
melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini
menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah diterima (
well-recognized)
di dunia internasional.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan
diakui di dunia internasional yaitu 
National Forest Monitoring System/NFMS
SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia internasional,
seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.

Baca Juga:  Berebut Ruang Publik di tengah Pandemi

Kamuflase Versi WRI

Rujukan informasi dari banyak media mengambil data dan narasumber
dari 
World Recources Institute (WRI) Indonesia, yang merupakan
lembaga riset internasional pengelola platform 
Global Forest Watch (GFW).

Sajian informasi ke publik jadi dimaknai berbeda, karena WRI
membuat grafik tren 
“primary forest loss” dengan rujukan
narasumber riset GFW, namun menggunakan definisi
 primary forest yang
berbeda dengan standar keilmuan maupun peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia. 

Hal ini bahkan sudah ditegaskan langsung oleh Menteri LHK RI Siti
Nurbaya dengan meminta agar hasil kerja keras Indonesia menurunkan deforestasi
tidak direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang
menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi
data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik
khususnya bidang studi kehutanan.

Karena jika publik tidak jeli dan lengkap membaca, maka kamuflase
informasi dengan menganut adagium 
bad news is good news lebih
menonjol dan dipahami publik sebagai pesan utama, yakni “Kehilangan hutan
primer Indonesia nomor tiga dunia”, daripada “Indonesia berhasil menurunkan
deforestasi selama tiga tahun terakhir” dengan berbagai upaya seluruh komponen
bangsa.

Analisis dan grafik WRI menunjukkan tren primary forest
loss,
 tetapi mereka mendefinisikan primary forest sebagai
hutan dengan setidaknya 30% kepadatan tutupan pohon dari tahun 2002-2019. Jelas
ini artinya bukan tren kehilangan hutan primer.

WRI juga menjelaskan bahwa meningkatnya penegakan hukum, adanya
moratorium permanen pada hutan primer dan lahan gambut, menurunkan angka
deforestasi di Indonesia dari 2017-2019. Ini jelas 
good news yang
diakui oleh WRI, meskipun seharusnya mengakui secara 
full bahwa
ini adalah keberhasilan Indonesia sendiri, bukan karena tekanan dari
internasional.

Namun good news seperti itu tidak diangkat
sebagai judul dan 
lead pembuka, hanya diletakkan pada bagian
isi berita, dan semakin jauh posisinya dari
 lead dan paragraf
utama. 

Ini menciptakan ambigu bagi kalangan pembaca untuk bisa memahami
keterkaitan informasi antara 
lead, paragraf dan badan berita.
Ambigu informasi dikenal dengan 
noise (gangguan)
berkomunikasi. Sehingga pesan yang akan dikirim dengan pesan yang diterima akan
berbeda, atau disebut juga dengan kegagalan persepsi.

Jika sudah begini, untuk mendapatkan good news hanya
dipasrahkan kepada si pembaca sendiri. Apakah ia mau membaca sampai akhir, atau
hanya cukup membaca judul dan 
lead pembuka? Semakin banyak
paragraf dibaca, semakin paham dan tercerahkan. 

Namun semakin malas membaca, maka akan semakin terkamuflasekan
informasi yang diterima tentang capaian-capaian Indonesia khususnya di sektor
kehutanan.

Perlu diingat, dari hasil penelitian menunjukkan literasi
masyarakat Indonesia masih  rendah sekali. (
Kompas, 26/3/2018).

Tren Deforestasi

Dari total kehilangan hutan primer seluas 3,8 juta ha se dunia
yang dihitung University of Maryland dalam sajian data GFW ataupun WRI
tersebut, Indonesia kehilangan 324.000 ha. Angka ini turun 5 persen dibanding
tahun 2018. 

Sebenarnya inilah fase terendah deforestasi di Indonesia lebih
dari satu dekade, setelah jor-joran izin di dekade yang lalu-lalu.

Penurunan angka ini dimulai dari corrective action atau
aksi koreksi sejak masa awal transisi pemerintahan dari Presiden SBY ke Jokowi.

Upaya korektif pemerintah di sektor kehutanan, salah satunya
berhasil menekan laju deforestasi tahunan Indonesia yang berkurang signifikan
dari 3,5 juta ha dalam periode 1996-2000, turun tajam menjadi 0,44 juta ha.

Namun good news ini sayangnya jarang terpilih
sebagai judul, 
lead pembuka, ataupun bahkan pada paragraf
penunjang. 

Kamuflase Karhutla 

Kamuflase informasi berkaitan dengan deforestasi sangat sering
dikaitkan dengan sajian data kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia.

Good news bahwa
Indonesia mampu menekan karhutla pada skala masif pasca kejadian 2015, tetap
dinilai kurang menarik untuk diangkat jadi judul utama.

Baca Juga:  Merawat Fitrah Generasi Muda

Selama empat tahun yakni periode 2015-2019, karhutla tercatat
membakar 5,4 juta ha. Relatif lebih rendah bila dibandingkan luasan area
terbakar pada kejadian Karhutla tahun 1997/1998 yang mencapai 11 juta ha,
karhutla 2006 yang mencapai 10 ha, atau realitas bahwa pada kurun waktu satu
tahun saja di 2015 area terbakar mencapai 2,6 juta ha.

Jarang sekali ada sajian informasi membandingkan kerja keras
Indonesia mengendalikan karhutla 2019, dengan karhutla di negara seperti Kanada
(1,8 juta ha), Amerika Serikat (1,9 juta ha), Amazon, Brazil (2,2 juta ha),
Siberia (6,7 juta ha), dan Australia seluas hampir 12 juta ha. 

Padahal pada masa itu Indonesia dengan tantangan geografis, SDM
pemadaman, dan lanskap pemilik salah satu gambut terluas di dunia, di 2019
mengalami Karhutla seluas 1,6 juta ha, setelah pada 2016-2018 berhasil menekan
Karhutla hingga rata-rata 80-90 persen dari kasus 2015.  

Termasuk soal sajian informasi asap lintas batas (transboundary
haze pollution
). Setelah kejadian 2015, hanya satu kali terjadi asap lintas
batas ke negara tetangga Singapura dan Malaysia di tahun 2019, itu pun hanya
beberapa hari. 

Saat itu banyak yang mengusung adagium bad news secara
masif dengan narasi kegagalan Indonesia mengatasi karhutla, daripada
mengedepankan upaya-upaya pengendalian yang terus dilakukan tanpa henti. Asap
yang melintas hanya beberapa hari itu membuat banyak pihak terlupa bahwa
sepanjang tahun 2016-2018, negara tetangga selalu mendapat asupan oksigen lebih
dari keberhasilan Indonesia mengendalikan Karhutla. 

Padahal bila good news dikedepankan, akan mampu
membentuk kepercayaan publik pada kesungguhan dan keberhasilan Indonesia
melakukan intervensi kebijakan perlindungan gambut, dan perubahan paradigma
kerja dari pemadaman ke pengendalian yang telah membawa Indonesia pada fase
baru penanganan Karhutla. Bahkan lebih hebat dari negara lainnya di dunia.

Good News: Nasionalisme

Nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri. Membangun komunikasi publik yang baik dengan orientasi 
good
news
 (berita baik) juga sangat penting artinya untuk membuktikan bahwa
negara hadir di tengah rakyatnya.

Kamuflase informasi yang secara terus menerus dan gagal dipahami
publik, akan bermuara pada rendahnya kepercayaan atas kemampuan negara meski
sudah menjalankan sistem nilai 
good governance.

Publik dikhawatirkan cenderung percaya pada kalangan luar, dan
menafikan pencapaian yang dilakukan putra putri terbaik Bangsa. Paham-paham
kolonialisme begini tentu sangat berbahaya bagi nasionalisme bahkan kedaulatan
kita sebagai bangsa besar.

Meski masih jauh dari berbagai target ambisius, Indonesia tengah
berada di jalur yang benar dalam hal pembangunan berkelanjutan (
sustainable
development
). Banyak capaian diraih bukan karena kerja pemerintah semata,
namun juga kerja keras seluruh komponen masyarakat. Ini perlu dijaga dengan
rasa percaya dan saling mendukung sesama anak Bangsa.

Informasi yang tidak tepat, apalagi disampaikan secara
berulang-ulang, akan dipercaya sebagai kebenaran. Sebaliknya, informasi yang
tepat bila tidak pernah disajikan dengan jujur, maka kebenaran hanya akan
ekslusif dinikmati mereka yang paham saja.

Saatnya kita menyampaikan pendapat dan kritik dengan jujur, serta
tidak hanya berfokus pada narasi-narasi negatif tentang bangsa kita sendiri.

Mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari
Universitas Sheffield, Tom Stafford, alasan kenapa berita berpusat pada hal-hal
negatif karena berhubungan dengan insting ketakutan manusia.

Apa yang didapat dari menakut-nakuti bangsa sendiri? Siapa yang
akan menangguk untung dari rasa takut ini?

Mari kita lawan ketakutan dengan membangun optimisme sebagai
bagian dari bangsa yang besar. Tetaplah bangun narasi-narasi positif. Karena di
luar sana, belum tentu juga ada yang sehebat Indonesia.***

 Dr Afni Zulkifli  MSi, mantan Pemred Pekanbaru Pos dan JPNNTV, Tenaga
Ahli Menteri LHK, dan dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang
Kuning Pekanbaru, Riau.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari