"Damar…. Sini mamam semangka yuk..!" Entah paham atau tidak, tapi yang terjadi selanjutnya, Damar, si bayi gajah yang pada saat kelahirannya berbobot 50 kg ini, tiba-tiba menyeruduk menabrak saya. Walau sebutannya bayi, mungil lucu dan menggemaskan, namun bobotnya yang berat itu bukanlah tandingan untuk saya yang kurus. Terdorong dan nyaris terjatuh, saya justru senang ditabrak si Damar.
Kenapa harus senang? Ya, kelahiran bayi gajah ini telah berhasil melahirkan optimisme baru di masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau. Damar lahir dari pasangan gajah binaan bernama Robin (jantan) dan induk betina bernama Ngatini di Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau pada 3 Juli 2020 yang lalu.
Robin dan Ngatini berasal dari gajah yang berkonflik dengan masyarakat, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Setelah dirawat dan dipelihara di TWA Buluh Cina, gajah tersebut akhirnya berhasil berkembang biak sehingga lahirlah Damar, yang namanya disematkan langsung oleh Gubernur Riau, Bapak Syamsuar. Berkunjung ke TWA Buluh Cina yang luasnya sekitar 963,33 hektar tempat Damar dilahirkan memang merupakan sensasi tersendiri.
Untuk mencapai lokasi tersebut, sementara ini kita harus menyeberangi Sungai Kampar menggunakan perahu penyeberangan. Sesampainya di seberang, sudah ada sejumlah kendaraan roda dua (ojek motor) yang siap mengantar ke lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer. Di sana selain ada tempat pemeliharaan Robin dan keluarganya, juga ada danau yang tenang dan bisa jadi spot foto yang instagramable.
Selain itu, di pinggiran danau ada sebuah pohon tua berjenis Rengas yang besar dengan diameter 197 cm, dan diperkirakan berusia lebih 100 tahun, juga menjadi spot foto yang eksotik.
Kali pertama kami berkunjung ke sana, rombongan kami membawa banyak oleh-oleh untuk Robin dan Ngatini (waktu itu Damar belum lahir), berupa semangka, pisang dan nanas. Buah-buahan itu kami tenteng ramai-ramai dan dibawa khusus dari Pekanbaru, yang jaraknya sekitar 1/5 jam dari TWA Buluh Cina,
Sebuah peluang bagus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat tempatan, tampaknya belum termanfaatkan secara maksimal di sana, yaitu adanya orang-orang yang berjualan buah-buahan untuk makanan gajah, Seyogyanya masyarakat tempatan juga mampu memanfaatkan peluang bisnis buah-buahan ini untuk atraksi memberi makan gajah, yang pasti akan sangat menarik.
Namun demikian secara umum, pemangku kepentingan TWA Buluh Cina sejauh ini sudah sangat peduli terhadap peluang atau potensi yang bisa dikembangkan di sana. Berdasarkan wawancara saya dengan Kepala BKSDA Provinsi Riau Bapak Suharyono, pihaknya saat ini tengah mengupayakan rencana pengembangan yang melibatkan bantuan Pemerintah Provinsi Riau maupun masyarakat setempat. Program tersebut terbagi 2 (dua) yaitu terkait peningkatan sarana dan prasara wisata serta pemberdayaan masyarakat di Desa Buluh Cina.
Menurut beliau, untuk peningkatan sarana dan prasarana, upaya yang sudah dilakukan meliputi pembangunan play ground, sejumlah gazebo dengan berbagai ukuran, musholla, MCK, renovasi jembatan, penyediaan shelter terapung dan speedboat wisata danau. Sedangkan untuk program pemberdayaan masyarakat, meliputi pembinaan dan pendampingan untuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Buluh Cina, pembentukan dan peningkatan kapasitas Kelompok Tani Hutan (KTH) Meranti Indah.
Selain itu juga memberi bimbingan teknis pemandu wisata alam, pemberian bantuan bibit aren untuk KTH Meranti Indah, serta pembentukan kelompok Ibu PKK yg diarahkan pada penyediaan jasa kuliner dan penjualan souvenir bagi para wisatawan. Penyediaan jasa kuliner untuk pemberdayaan ibu-ibu setempat ini sudah sempat Penulis nikmati pada saat rombongan kami berkunjung ke TWA Buluh Cina.
Yang sangat menarik, ibu-ibu masyarakat tempatan di sana, menyediakan masakan khas daerah setempat, yaitu ikan bilih goreng dan ikan patin asam pedas, yang dipanen langsung dari Sungai Kampar. Masih banyak yang perlu dikembangkan di TWA Buluh Cina untuk lebih menarik minat wisatawan berkunjung ke sana.***