LIVERPOOL (RIAUPOS.CO) — Sudah tiga dekade Liverpool menanti gelar juara Premier League. Penantian panjang itu seharusnya bisa berakhir musim ini. Asalkan, sembilan matchweek tersisa musim 2019–2020 tetap dilanjutkan. Artinya, Premier League tak meniru Eredivisie yang sudah menyudahi kompetisi.
Kemarin (25/4) Eredivisie memutuskan untuk tidak melanjutkan delapan speeldag (pekan) tersisanya. Imbasnya, Ajax Amsterdam yang bercokol di puncak klasemen harus menyudahi musim ini tanpa gelar Eredivisie. Selain itu, kompetisi level teratas Belanda itu harus meniadakan promosi degradasi.
Praktis, Eredivisie jadi kompetisi domestik di Eropa pertama yang menyudahi musim tanpa trofi juara. "Kabar buruk untuk Liverpool," tulis laman Evening Standard. Sebab, sama dengan Premier League, Federasi Sepak Bola Belanda (KNVB) sebelumnya ingin sisa musim ini tetap dilanjutkan.
Namun, begitu pemerintah Belanda memperpanjang masa kuncian sementara sampai awal September, rencana tersebut pun gagal. Sementara itu, Inggris baru memberlakukannya sampai 7 Mei. "Hanya dengan memulai lagi musim 2019–2020 yang membantu Liverpool memenangi musim ini," sebut mantan bek Liverpool Jamie Carragher dalam tulisannya di Daily Telegraph.
Liverpool, lanjut Carragher, lebih layak disebut juara ketimbang Ajax. Sebab, poin Ajax sebelum Eredivisie dihentikan sama persis dengan AZ Alkmaar. Ajax hanya unggul selisih gol. "Kalau melihat dari 29 laga yang sudah dimainkan, siapa yang bisa mengatakan klub ini tak pantas mendapatkannya (trofi Premier League)?" tutur Carra, sapaan akrab Carragher.
Meskipun, pria yang juga pandit Sky Sports tersebut memprediksi pandemi Covid-19 tak akan berakhir di daratan Inggris sampai Agustus nanti. Padahal, sebelumnya Premier League sudah percaya diri untuk memegang komitmen dengan UEFA. Yakni, menyudahi musim ini sampai 31 Juli. Laga-laga sisa direncanakan digelar dengan tanpa penonton.
Jurnalis senior Liverpool Echo Ian Doyle menganggap Premier League masih berpeluang mengikuti jejak Eredivisie. Itu terjadi kalau mereka belum juga menemukan solusi mengakhiri kompetisi musim ini sampai sebelum Agustus. Namun, dia sependapat dengan Carra terkait mahkota juara The Reds, julukan Liverpool. "Rekor selisih 25 angka di puncak bisa jadi alasan. Hanya dengan cara yang realistislah Liverpool bisa kehilangan gelarnya," klaim Doyle.
Sebenarnya, Eredivisie bukan kompetisi domestik pertama yang memutuskan mengakhiri musim ini lebih dini. Liga utama Belgia Jupiler Pro League pun sempat melakukan langkah yang tak disarankan UEFA tersebut. Mereka melakukannya pada 1 April lalu. Bedanya, ketika itu Club Brugge yang berada di puncak klasemen yang ditunjuk jadi juaranya.
Meski, sampai saat ini statusnya masih menunggu finalisasi dari Dewan Liga Belgia. Finalisasi tersebut seharusnya sudah diambil setelah rapat Dewan Liga Belgia dengan klub-klub kontestan Jupiler Pro League, Jumat malam (24/4) waktu setempat. Sayangnya, seperti laporan Voetbal Nieuws, sampai berakhirnya rapat, belum ada konfirmasi resmi dari Pro League, operator Jupiler Pro League, atau Federasi Sepak Bola Belgia (KBVB).
Setidaknya, pengalaman dari Eredivisie bisa jadi patokan bagi kompetisi domestik lain di Eropa seperti Premier League atau Jupiler Pro League dalam menentukan langkahnya. Apalagi, Eredivisie banjir kecaman setelah keputusannya itu. Terutama dari tim Ajax. "Omong kosong apa lagi ini," kecam attacking midfielder Ajax Hakim Ziyech kepada AD.
Dia mencontohkan saat PSV Eindhoven jadi kampiun Eredivisie 13 tahun silam. Ketika itu PSV berbagi poin sama dan hanya unggul satu gol atas Ajax. Musim ini Ajax unggul delapan gol! "Kami memang bukan juara (karena poinnya sama dengan AZ). Akan tetapi, jika Anda saat ini harus menunjuk klub sebagai juara, kamilah juara itu," tambah calon pemain Chelsea musim depan itu.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal