Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Tranformasi K3 sang Pembalak

Pembalakan liar tentu saja tanpa standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Berhadapan dengan ganasnya rimba hingga hewan buas jadi tantangan tersendiri bagi para pembalak ini. Tapi mereka yang biasa kerja di hutan pun bisa berubah. Mereka mampu bertransformasi, kendati tidak mudah. Seperti apa?

Laporan Muhammad Amin, Pelalawan

Bagi Ujang Leni (62), mengambil pekerjaan berisiko yang mengancam keselamatan, kesehatan, bahkan nyawa sudah biasa. Sejak masih umur kepala dua dia sudah mulai membalak. Tentu ilegal alias balak liar. Kehidupan masa itu, di kampung asalnya Desa Pelalawan,  Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, memang identik dengan hutan dan alam.

Beberapa warga memilih pekerjaan dengan risiko kecil seperti nelayan atau berkebun. Kadang sesekali berburu di hutan atau mencari madu Sialang. Sialang merupakan pohon besar yang dihinggapi lebah untuk bersarang. Madunya kerap diambil warga tempatan secara periodik. Banyak kearifan lokal warga ketika mengambilnya, di antaranya dengan mantra atau pantun. Mereka menyebutnya menumbai. Kawasan tumbuh Sialang pun dipelihara secara adat. Risiko berburu atau mengambil madu Sialang tentu relatif tinggi. Ujang Leni menjadi sedikit di antara orang kampung yang memilih profesi berisiko tinggi sejak awal, lebih dari sekadar risiko disengat lebah. Dia memilih risiko pekerjaan membalak.

“Kalau bertemu Tuk Belang itu biasa. Adalah sesekali. Hanya saja, alhamdulilah tidak terjadi apa-apa,” ujar Ujang Leni, akhir pekan lalu.

Baca Juga:  Kejagung Sita Aset PT DPG di Indragiri Hulu

Tuk Belang atau Datuk Belang adalah sebutan untuk harimau sumatra yang masih banyak di hutan-hutan Pelalawan. Bahkan hingga saat ini, keberadaan mereka masih cukup banyak di beberapa kawasan hutan seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Kerumutan. Jika bertemu sang Datuk, biasanya mereka akan menghentikan pekerjaan sesaat, lalu mengevaluasi diri. Dia akan bertanya ke anggota, ada atau tidak yang melanggar pantang larang ketika akan masuk ke hutan. Ujang Leni memiliki setidaknya 25 anggota. Tentu ada saja yang kelakuannya aneh-aneh yang tidak sesuai adat atau syariat.  Mereka diminta bertaubat. Tapi membalak sendiri bagi mereka bukan sesuatu yang tercela. Asalkan tidak menebang pohon yang dilarang secara adat, misalnya Sialang. Ada kerapatan adat Petalangan yang siap menghukum.

Ujang Leni dan rekan-rekannya mulai melakukan balak liar sekitar tahun 1978. Awalnya hanya kelompok kecil tiga hingga empat orang saja, lalu berkembang menjadi 25 orang. Ada tiga kelompok yang dibentuknya, sehingga pekerjaan membalak lebih masif. Awal pekerjaan, mereka hanya menggunakan beliung atau kapak. Belum ada mesin chainshaw. Risiko pekerjaan tentu jauh lebih besar. Apalagi mereka hanya mengandalkan naluri tanpa ada standar operasional prosedur (SOP). Kecelakaan kerja, seperti terkena pohon tumbang, tergores parang, bahkan kapak, risiko bertemu hewan buas atau bersengat tentu besar.

“Tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Belum ada kecelakaan fatal yang misalnya merenggut nyawa,” ujar Ujang Leni.

Baca Juga:  Tak Terima dengan Hasil Sidang

Celana Pendek tanpa Alas Kaki

Pembalakan biasanya dilakukan dengan masuk hutan dan melakukan survei terlebih dahulu. Sekali membalak bisa menghabiskan waktu hingga tiga bulan, sejak survei kayu hingga menebang dan membawanya. Kayu yang dipilih tentunya yang sudah besar dengan diameter paling kurang 40 cm. Kadang berdiameter 50-60 cm. Beberapa jenis yang biasa ditebang adalah meranti, bintangur, resak, keruing, semenai, mahang, mersawa, kulim, dan beberapa jenis lainnya.

Setelah survei dilakukan, maka dirintislah jalan terdekat untuk mengeluarkan kayu. Perintisan jalan ini disebut ongkok. Jalan setapak selebar paling tidak 2,5 meter itu dibersihkan dari pohon kecil hingga ilalang. Setelah itu dibuat semacam bantalan rel untuk membawa kayu. Bantalan rel itu dibentuk dari potongan kayu diameter 5-10 cm sepanjang 1,8 meter yang dibariskan sepanjang jalan. Jarak masing-masing kayu sekitar satu meter. Memang mirip bantalan rel kereta. Hanya saja tanpa relnya. Kayu gelondongan biasanya dibuatkan semacam penyangga atau papan seluncur berbentuk kotak seukuran kayu bulat (log). Kayu diletakkan di atas papan seluncur itu. Lalu kayu itu bisa diseret menggunakan tali, dibantu dengan dorongan juga. Salah satu yang memudahkan penarikan kayu adalah adanya minyak ongkak. Minyak ini merupakan campuran minyak tanah dan getah karet yang dimasak.

Pembalakan liar tentu saja tanpa standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Berhadapan dengan ganasnya rimba hingga hewan buas jadi tantangan tersendiri bagi para pembalak ini. Tapi mereka yang biasa kerja di hutan pun bisa berubah. Mereka mampu bertransformasi, kendati tidak mudah. Seperti apa?

Laporan Muhammad Amin, Pelalawan

- Advertisement -

Bagi Ujang Leni (62), mengambil pekerjaan berisiko yang mengancam keselamatan, kesehatan, bahkan nyawa sudah biasa. Sejak masih umur kepala dua dia sudah mulai membalak. Tentu ilegal alias balak liar. Kehidupan masa itu, di kampung asalnya Desa Pelalawan,  Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, memang identik dengan hutan dan alam.

Beberapa warga memilih pekerjaan dengan risiko kecil seperti nelayan atau berkebun. Kadang sesekali berburu di hutan atau mencari madu Sialang. Sialang merupakan pohon besar yang dihinggapi lebah untuk bersarang. Madunya kerap diambil warga tempatan secara periodik. Banyak kearifan lokal warga ketika mengambilnya, di antaranya dengan mantra atau pantun. Mereka menyebutnya menumbai. Kawasan tumbuh Sialang pun dipelihara secara adat. Risiko berburu atau mengambil madu Sialang tentu relatif tinggi. Ujang Leni menjadi sedikit di antara orang kampung yang memilih profesi berisiko tinggi sejak awal, lebih dari sekadar risiko disengat lebah. Dia memilih risiko pekerjaan membalak.

- Advertisement -

“Kalau bertemu Tuk Belang itu biasa. Adalah sesekali. Hanya saja, alhamdulilah tidak terjadi apa-apa,” ujar Ujang Leni, akhir pekan lalu.

Baca Juga:  Mobil Jarang Terpakai Karena PSBB, Lakukan Hal Berikut

Tuk Belang atau Datuk Belang adalah sebutan untuk harimau sumatra yang masih banyak di hutan-hutan Pelalawan. Bahkan hingga saat ini, keberadaan mereka masih cukup banyak di beberapa kawasan hutan seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Kerumutan. Jika bertemu sang Datuk, biasanya mereka akan menghentikan pekerjaan sesaat, lalu mengevaluasi diri. Dia akan bertanya ke anggota, ada atau tidak yang melanggar pantang larang ketika akan masuk ke hutan. Ujang Leni memiliki setidaknya 25 anggota. Tentu ada saja yang kelakuannya aneh-aneh yang tidak sesuai adat atau syariat.  Mereka diminta bertaubat. Tapi membalak sendiri bagi mereka bukan sesuatu yang tercela. Asalkan tidak menebang pohon yang dilarang secara adat, misalnya Sialang. Ada kerapatan adat Petalangan yang siap menghukum.

Ujang Leni dan rekan-rekannya mulai melakukan balak liar sekitar tahun 1978. Awalnya hanya kelompok kecil tiga hingga empat orang saja, lalu berkembang menjadi 25 orang. Ada tiga kelompok yang dibentuknya, sehingga pekerjaan membalak lebih masif. Awal pekerjaan, mereka hanya menggunakan beliung atau kapak. Belum ada mesin chainshaw. Risiko pekerjaan tentu jauh lebih besar. Apalagi mereka hanya mengandalkan naluri tanpa ada standar operasional prosedur (SOP). Kecelakaan kerja, seperti terkena pohon tumbang, tergores parang, bahkan kapak, risiko bertemu hewan buas atau bersengat tentu besar.

“Tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Belum ada kecelakaan fatal yang misalnya merenggut nyawa,” ujar Ujang Leni.

Baca Juga:  Tak Peduli Wabah Corona, Rakyat Brazil Geram dengan Kelakuan Presiden Bolsonaro

Celana Pendek tanpa Alas Kaki

Pembalakan biasanya dilakukan dengan masuk hutan dan melakukan survei terlebih dahulu. Sekali membalak bisa menghabiskan waktu hingga tiga bulan, sejak survei kayu hingga menebang dan membawanya. Kayu yang dipilih tentunya yang sudah besar dengan diameter paling kurang 40 cm. Kadang berdiameter 50-60 cm. Beberapa jenis yang biasa ditebang adalah meranti, bintangur, resak, keruing, semenai, mahang, mersawa, kulim, dan beberapa jenis lainnya.

Setelah survei dilakukan, maka dirintislah jalan terdekat untuk mengeluarkan kayu. Perintisan jalan ini disebut ongkok. Jalan setapak selebar paling tidak 2,5 meter itu dibersihkan dari pohon kecil hingga ilalang. Setelah itu dibuat semacam bantalan rel untuk membawa kayu. Bantalan rel itu dibentuk dari potongan kayu diameter 5-10 cm sepanjang 1,8 meter yang dibariskan sepanjang jalan. Jarak masing-masing kayu sekitar satu meter. Memang mirip bantalan rel kereta. Hanya saja tanpa relnya. Kayu gelondongan biasanya dibuatkan semacam penyangga atau papan seluncur berbentuk kotak seukuran kayu bulat (log). Kayu diletakkan di atas papan seluncur itu. Lalu kayu itu bisa diseret menggunakan tali, dibantu dengan dorongan juga. Salah satu yang memudahkan penarikan kayu adalah adanya minyak ongkak. Minyak ini merupakan campuran minyak tanah dan getah karet yang dimasak.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari