Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Jagalah Indonesia hingga Sehari sebelum Kiamat

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ahmad Syafii Maarif memang telah berpulang pada Jumat (27/5) lalu. Namun, kenangan tentang tokoh yang dikenal dengan nama Buya Syafii Maarif itu tak akan hilang dari sejarah Indonesia. Pesan dan gagasannya bahkan menjadi pegangan hidup bagi banyak orang hingga kini.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali kemarin (28/5) menyatakan, Buya Syafii Maarif merupakan orang yang gemar berdiskusi. Terutama saat masih sehat. "Kalau diskusi, justru beliau sering bertanya dan lebih banyak mendengarkan uraian lawan bicaranya," tuturnya. Jika pria kelahiran Sumatera Barat itu tertarik berdiskusi, akan dilanjutkan bertanya. Namun, jika kurang pas, Buya Syafii akan mengoreksinya. "Jadi, termasuk orang yang segan memberikan wejangan," katanya.

Dia menyatakan, kecintaan Buya pada Indonesia bukan hanya harga mati, melainkan suatu keharusan. ’’Beliau ingin bangsa Indonesia tetap utuh sampai satu hari menjelang kiamat," tuturnya.

"Satu hari menjelang kiamat," itu merupakan kalimat yang sering Buya Syafii ungkapkan. Entah dalam acara resmi maupun pembicaraan informal. "Beliau selalu mengatakan Indonesia ini negara yang sangat plural dan terdiri dari berbagai suku yang harus dijaga bersama, minimal satu hari menjelang kiamat," kenang Rohim.

Baca Juga:  Awas, Limbah Medis Covid-19!

Gagasan lain Buya Syafii, menurut Rohim, keindonesiaan itu tidak bisa dipertentangkan dengan keislaman dan kemanusiaan. Sebab, tiga hal tersebut harus selalu bersama dalam satu tarikan napas.

Direktur Program Maarif Institute M Shofan bercerita tentang pendirian Maarif Institute pada 2003 silam. Dia mengungkapkan, lembaga yang mengambil nama belakang dari Buya Syafii Maarif itu didirikan dengan tujuan utama menyosialisasikan ide-ide brilian Buya Syafii. "Awalnya, Buya tidak bersedia namanya dijadikan sebuah lembaga, dia (Buya Syafii) merasa tidak layak," ungkap Shofan kepada JPG. Akhirnya, Buya Syafii bersedia setelah diyakinkan bahwa pendirian Maarif Institute untuk merawat pemikiran dan ide-ide Buya Syafii.

Shofan menceritakan, sumbangan pemikiran Buya Syafii dalam ilmu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kebinekaan di Indonesia begitu besar. Buya Syafii juga punya peran sangat penting dalam melakukan kaderisasi intelektual sekaligus melembagakan gagasan yang bercita-cita sosial.

Buya Syafii menginspirasi sejumlah kegiatan di Maarif Institute. Khususnya kegiatan yang mengusung tema keislaman, toleransi, kebinekaan, dan kebangsaan. Kegiatan-kegiatan itu ditujukan bagi generasi penerus agar dapat mewarisi pemikiran-pemikiran Buya.

Baca Juga:  Tim Analisis Diskes Rohul Swab 165 ASN dan Masyarakat di Tiga Titik

Buya Syafii tak hanya dekat dengan satu kalangan. Seorang dokter yang aktif dalam penanganan Covid-19 di Jogjakarta, Jagaddhito Probokusumo, bahkan menyebutnya guru. Dhito, sapaannya, mengenal Buya pada Oktober 2016. ’’Waktu itu sedang ramai-ramainya pilgub DKI. Kami dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) mengundang beliau sebagai pembicara mengenai kesehatan sebagai bagian dari ketahanan nasional," kenangnya.

Namun, diskusi dengan Buya tidak berlanjut. Sebab, dikhawatirkan membuat situasi kampus panas. Sebagai orang yang mengundang langsung, Dhito pun menemuinya di Jogjakarta untuk meminta maaf. Tak disangka, Buya sangat memahami hal itu dan meminta Dhito mengikuti arahan kampus.

Dalam kunjungannya ke rumah Buya Syafii, Dhito malah diajak makan tongseng. Lalu, dia meminta Dhito mengingat sila ke-5 Pancasila. Dia berpesan bahwa sila itulah poin paling penting bagi seorang dokter. "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebagai dokter, Anda tidak diperkenankan memilah-milah pasien Anda. Begitu juga dengan sila ke-5. Hampir semua masalah yang ada di Indonesia akarnya adalah ketimpangan antara si kaya dan si miskin," kata Dhito menirukan ucapan Buya Syafii.(lyn/tyo/c6/oni/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ahmad Syafii Maarif memang telah berpulang pada Jumat (27/5) lalu. Namun, kenangan tentang tokoh yang dikenal dengan nama Buya Syafii Maarif itu tak akan hilang dari sejarah Indonesia. Pesan dan gagasannya bahkan menjadi pegangan hidup bagi banyak orang hingga kini.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali kemarin (28/5) menyatakan, Buya Syafii Maarif merupakan orang yang gemar berdiskusi. Terutama saat masih sehat. "Kalau diskusi, justru beliau sering bertanya dan lebih banyak mendengarkan uraian lawan bicaranya," tuturnya. Jika pria kelahiran Sumatera Barat itu tertarik berdiskusi, akan dilanjutkan bertanya. Namun, jika kurang pas, Buya Syafii akan mengoreksinya. "Jadi, termasuk orang yang segan memberikan wejangan," katanya.

- Advertisement -

Dia menyatakan, kecintaan Buya pada Indonesia bukan hanya harga mati, melainkan suatu keharusan. ’’Beliau ingin bangsa Indonesia tetap utuh sampai satu hari menjelang kiamat," tuturnya.

"Satu hari menjelang kiamat," itu merupakan kalimat yang sering Buya Syafii ungkapkan. Entah dalam acara resmi maupun pembicaraan informal. "Beliau selalu mengatakan Indonesia ini negara yang sangat plural dan terdiri dari berbagai suku yang harus dijaga bersama, minimal satu hari menjelang kiamat," kenang Rohim.

- Advertisement -
Baca Juga:  Terkendala Pendanaan, Banyak Riset Tak Sampai Komersialisasi

Gagasan lain Buya Syafii, menurut Rohim, keindonesiaan itu tidak bisa dipertentangkan dengan keislaman dan kemanusiaan. Sebab, tiga hal tersebut harus selalu bersama dalam satu tarikan napas.

Direktur Program Maarif Institute M Shofan bercerita tentang pendirian Maarif Institute pada 2003 silam. Dia mengungkapkan, lembaga yang mengambil nama belakang dari Buya Syafii Maarif itu didirikan dengan tujuan utama menyosialisasikan ide-ide brilian Buya Syafii. "Awalnya, Buya tidak bersedia namanya dijadikan sebuah lembaga, dia (Buya Syafii) merasa tidak layak," ungkap Shofan kepada JPG. Akhirnya, Buya Syafii bersedia setelah diyakinkan bahwa pendirian Maarif Institute untuk merawat pemikiran dan ide-ide Buya Syafii.

Shofan menceritakan, sumbangan pemikiran Buya Syafii dalam ilmu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kebinekaan di Indonesia begitu besar. Buya Syafii juga punya peran sangat penting dalam melakukan kaderisasi intelektual sekaligus melembagakan gagasan yang bercita-cita sosial.

Buya Syafii menginspirasi sejumlah kegiatan di Maarif Institute. Khususnya kegiatan yang mengusung tema keislaman, toleransi, kebinekaan, dan kebangsaan. Kegiatan-kegiatan itu ditujukan bagi generasi penerus agar dapat mewarisi pemikiran-pemikiran Buya.

Baca Juga:  KPK Yakin Hakim Tolak Praperadilan Andi Putra

Buya Syafii tak hanya dekat dengan satu kalangan. Seorang dokter yang aktif dalam penanganan Covid-19 di Jogjakarta, Jagaddhito Probokusumo, bahkan menyebutnya guru. Dhito, sapaannya, mengenal Buya pada Oktober 2016. ’’Waktu itu sedang ramai-ramainya pilgub DKI. Kami dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) mengundang beliau sebagai pembicara mengenai kesehatan sebagai bagian dari ketahanan nasional," kenangnya.

Namun, diskusi dengan Buya tidak berlanjut. Sebab, dikhawatirkan membuat situasi kampus panas. Sebagai orang yang mengundang langsung, Dhito pun menemuinya di Jogjakarta untuk meminta maaf. Tak disangka, Buya sangat memahami hal itu dan meminta Dhito mengikuti arahan kampus.

Dalam kunjungannya ke rumah Buya Syafii, Dhito malah diajak makan tongseng. Lalu, dia meminta Dhito mengingat sila ke-5 Pancasila. Dia berpesan bahwa sila itulah poin paling penting bagi seorang dokter. "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebagai dokter, Anda tidak diperkenankan memilah-milah pasien Anda. Begitu juga dengan sila ke-5. Hampir semua masalah yang ada di Indonesia akarnya adalah ketimpangan antara si kaya dan si miskin," kata Dhito menirukan ucapan Buya Syafii.(lyn/tyo/c6/oni/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari