Minggu, 10 November 2024

Risiko Penularan di Pesawat Terendah

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Penolakan terhadap tes RT-PCR sebagai syarat penerbangan terus bergulir. Rapid Antigen dinilai lebih praktis dan cost effective melihat fakta bahwa penularan Covid-19 di pesawat terbukti lebih rendah dari moda transportasi yang lain.

Epidemiolog dan Peneliti Pandemi Covid-19 dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa ada banyak contoh kejadian di mana tingkat penyebaran Covid-19 pesawat terbukti rendah. 

- Advertisement -

Laporan yang dimuat dalam The New England Journal of Medicine (NEJM), diceritakan bahwa pada 1 Februari 2020 lalu, sebuah operasi penerbangan dilakukan oleh angkatan udara Jerman untuk mengevakuasi 126 warga negara Jerman dari Hubei, Cina. Dari total 126 penumpang, 10 orang diisolasi karena kontak erat dan menunjukkan gejala. Namun hanya 2 orang yang positif Covid-19 setibanya di Jerman. Penelitian ini melaporkan hanya 1,8 persen tingkat infeksi dari 114 spesimen yang diambil.

Rendahnya tingkat penularan Covid-19 di dalam pesawat udara di antaranya disumbangkan oleh sistem filtrasi udara HEPA yang disuplai dalam kabin bertekanan selama penerbangan. Sistem sirkulasi udara ini dikatakan sama bagusnya dengan filter udara yang ada di rumah sakit rumah sakit.

Dicky mengatakan, bahwa jika merujuk pada manajemen pengendalian pandemi berbasis risiko, moda transformasi udara paling kecil risikonya. 

- Advertisement -

"Risiko terjadinya klaster pesawat sangat kecil bahkan paling kecil dibanding moda transportasi lainnya," kata Dicky pada Jawa Pos (JPG), kemarin (24/10).

Dicky menyebut hepafilter di pesawat setara dengan sirkulasi udara 20 kali dalam 1 jam. Sehingga menurunkan potensi penularan. Belum lagi dengan adanya penerapan prokes yang ketat. "Risikonya rendah bahkan sebelum ada vaksin. Kalau semua prokes diterapkan ketika penuh sekalipun pesawatnya tidak terjadi itu klaster penularan meskipun ada penumpang yang terindetifikasi positif," jelasnya.

Baca Juga:  Terganggu Pemberitaan soal Ekstremisme Islam, Macron Telpon Jurnalis NY Times

Tidak hanya ke Jerman, ada beberapa penerbangan evakuasi dari Wuhan ke negara-negara lain seperti Kanada pada awal-awal pandemi. Penularannya juga relatif rendah. Maka dari itu, dia setuju jika syarat screening tidak terlalu ketat. 

"Walaupun tidak dilonggarkan sama sekali tidak. Tapi kalau bicara PCR, ini kan satu alat konfirmasi diagnostik. Namanya konfirmasi ya sebelum itu ada screening. Yakni memakai antigen," kata Dicky. 

Menurut Dicky, SE Satgas yang sebelumnya boleh menggunakan antigen asalkan sudah divaksin adalah tepat. Syarat vaksinasi, tidak bergejala dan tidak dalam status kontak bisa dijadikan patokan dalam screening perjalanan. 

"Bahkan nanti kalau perjalanan domestik, antar daerah yang sudah populasinya di vaksin 80 persen. Penggunaan antigen pada syarat penerbangan bukan dalam maksud melonggarkan. Namun lebih mempertimbangkan cost effectiveness  dari tes," ujar Dicky.

PCR, kata Dicky, adalah opsi terakhir. Efektivitas cost ini harus dipenuhi tidak hanya soal murah, namun juga harus mudah, cepat dan memakan sumber daya yang lebih sedikit.  "Kecuali pemerintah mau memberi subsidi," katanya. 

Meski demikian, menurut mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, perjalanan udara tetap sebaiknya menggunakan tes PCR. 

"Karena memang tes PCR merupakan gold standard dengan tingkat akurasi yang paling tinggi. Artinya, hasil negatif tes PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19," katanya  

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai bahwa syarat wajib tes PCR untuk pesawat akan membuat traveling cost wisatawan membengkak. Hal tersebut pun berpotensi mengurangi minat orang untuk bermobilitas. 

Baca Juga:  Mayoritas Madrasah Kembali PJJ 50 Persen

"Pergerakan pasti terhambat. Hal ini pasti kembali menghantam pelaku wisata, perjalanan, dan perhotelan. Karena tes PCR itu masih sangat mahal harganya," ujar Sekjen PHRI Maulana Yusran.

Menurut Maulana, adanya syarat wajib tes PCR kontras dengan upaya mendorong pertumbuhan di sektor pariwisata. Lepas bulan Juli-Agustus, Maulana menyebutkan bahwa pelaku perhotelan mulai mendulang pemasukan lewat peningkatan yang terjadi di bulan September. 

"Dengan adanya pelonggaran kemarin itu daerah Jawa-Bali lumayan ada peningkatan 5-10 persen," tambahnya.

Maulana membeberkan bahwa biasanya kontribusi okupansi di kuartal ketiga dan keempat mayoritas datang dari kegiatan meeting, incentive, convention, and Exhibition (MICE) terutama sektor pemerintahan. Ditambah dengan periode liburan saat Natal dan tahun baru (Nataru). "Jika tes PCR memang menjadi persyaratan mutlak seharusnya hasil tes bisa di bawah 10 jam dan harganya bisa lebih murah agar tidak signifikan menambah traveling cost," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Indonesia National Air Carrier’s Association (INACA) Denon Prawiraatmadja juga mengeluhkan pengetatan perjalanan udara domestik melalui wajib tes PCR.

"Sejumlah daerah status PPKM turun tapi syarat perjalanan udara makin diperketat," ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perhubungan tersebut.

Denon menyebutkan bahwa perubahan persyaratan dari antigen menjadi PCR kurang sejalan dengan menurunnya level PPKM, serta tidak membantu program pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional. 

"Dampak yang lebih luas, bukan hanya kepada industri penerbangan tapi juga kepada kegiatan sosial ekonomi nasional. Kebijakan tes antigen untuk transportasi udara sudah cukup baik," pungkasnya. 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Penolakan terhadap tes RT-PCR sebagai syarat penerbangan terus bergulir. Rapid Antigen dinilai lebih praktis dan cost effective melihat fakta bahwa penularan Covid-19 di pesawat terbukti lebih rendah dari moda transportasi yang lain.

Epidemiolog dan Peneliti Pandemi Covid-19 dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa ada banyak contoh kejadian di mana tingkat penyebaran Covid-19 pesawat terbukti rendah. 

- Advertisement -

Laporan yang dimuat dalam The New England Journal of Medicine (NEJM), diceritakan bahwa pada 1 Februari 2020 lalu, sebuah operasi penerbangan dilakukan oleh angkatan udara Jerman untuk mengevakuasi 126 warga negara Jerman dari Hubei, Cina. Dari total 126 penumpang, 10 orang diisolasi karena kontak erat dan menunjukkan gejala. Namun hanya 2 orang yang positif Covid-19 setibanya di Jerman. Penelitian ini melaporkan hanya 1,8 persen tingkat infeksi dari 114 spesimen yang diambil.

Rendahnya tingkat penularan Covid-19 di dalam pesawat udara di antaranya disumbangkan oleh sistem filtrasi udara HEPA yang disuplai dalam kabin bertekanan selama penerbangan. Sistem sirkulasi udara ini dikatakan sama bagusnya dengan filter udara yang ada di rumah sakit rumah sakit.

- Advertisement -

Dicky mengatakan, bahwa jika merujuk pada manajemen pengendalian pandemi berbasis risiko, moda transformasi udara paling kecil risikonya. 

"Risiko terjadinya klaster pesawat sangat kecil bahkan paling kecil dibanding moda transportasi lainnya," kata Dicky pada Jawa Pos (JPG), kemarin (24/10).

Dicky menyebut hepafilter di pesawat setara dengan sirkulasi udara 20 kali dalam 1 jam. Sehingga menurunkan potensi penularan. Belum lagi dengan adanya penerapan prokes yang ketat. "Risikonya rendah bahkan sebelum ada vaksin. Kalau semua prokes diterapkan ketika penuh sekalipun pesawatnya tidak terjadi itu klaster penularan meskipun ada penumpang yang terindetifikasi positif," jelasnya.

Baca Juga:  Imam Nahrawi Saling Tuding dengan Gatot

Tidak hanya ke Jerman, ada beberapa penerbangan evakuasi dari Wuhan ke negara-negara lain seperti Kanada pada awal-awal pandemi. Penularannya juga relatif rendah. Maka dari itu, dia setuju jika syarat screening tidak terlalu ketat. 

"Walaupun tidak dilonggarkan sama sekali tidak. Tapi kalau bicara PCR, ini kan satu alat konfirmasi diagnostik. Namanya konfirmasi ya sebelum itu ada screening. Yakni memakai antigen," kata Dicky. 

Menurut Dicky, SE Satgas yang sebelumnya boleh menggunakan antigen asalkan sudah divaksin adalah tepat. Syarat vaksinasi, tidak bergejala dan tidak dalam status kontak bisa dijadikan patokan dalam screening perjalanan. 

"Bahkan nanti kalau perjalanan domestik, antar daerah yang sudah populasinya di vaksin 80 persen. Penggunaan antigen pada syarat penerbangan bukan dalam maksud melonggarkan. Namun lebih mempertimbangkan cost effectiveness  dari tes," ujar Dicky.

PCR, kata Dicky, adalah opsi terakhir. Efektivitas cost ini harus dipenuhi tidak hanya soal murah, namun juga harus mudah, cepat dan memakan sumber daya yang lebih sedikit.  "Kecuali pemerintah mau memberi subsidi," katanya. 

Meski demikian, menurut mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, perjalanan udara tetap sebaiknya menggunakan tes PCR. 

"Karena memang tes PCR merupakan gold standard dengan tingkat akurasi yang paling tinggi. Artinya, hasil negatif tes PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19," katanya  

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai bahwa syarat wajib tes PCR untuk pesawat akan membuat traveling cost wisatawan membengkak. Hal tersebut pun berpotensi mengurangi minat orang untuk bermobilitas. 

Baca Juga:  Mendiang BJ Habibie Dikebumikan Berdampingan dengan Pusara Sang Istri Tercinta

"Pergerakan pasti terhambat. Hal ini pasti kembali menghantam pelaku wisata, perjalanan, dan perhotelan. Karena tes PCR itu masih sangat mahal harganya," ujar Sekjen PHRI Maulana Yusran.

Menurut Maulana, adanya syarat wajib tes PCR kontras dengan upaya mendorong pertumbuhan di sektor pariwisata. Lepas bulan Juli-Agustus, Maulana menyebutkan bahwa pelaku perhotelan mulai mendulang pemasukan lewat peningkatan yang terjadi di bulan September. 

"Dengan adanya pelonggaran kemarin itu daerah Jawa-Bali lumayan ada peningkatan 5-10 persen," tambahnya.

Maulana membeberkan bahwa biasanya kontribusi okupansi di kuartal ketiga dan keempat mayoritas datang dari kegiatan meeting, incentive, convention, and Exhibition (MICE) terutama sektor pemerintahan. Ditambah dengan periode liburan saat Natal dan tahun baru (Nataru). "Jika tes PCR memang menjadi persyaratan mutlak seharusnya hasil tes bisa di bawah 10 jam dan harganya bisa lebih murah agar tidak signifikan menambah traveling cost," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Indonesia National Air Carrier’s Association (INACA) Denon Prawiraatmadja juga mengeluhkan pengetatan perjalanan udara domestik melalui wajib tes PCR.

"Sejumlah daerah status PPKM turun tapi syarat perjalanan udara makin diperketat," ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perhubungan tersebut.

Denon menyebutkan bahwa perubahan persyaratan dari antigen menjadi PCR kurang sejalan dengan menurunnya level PPKM, serta tidak membantu program pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional. 

"Dampak yang lebih luas, bukan hanya kepada industri penerbangan tapi juga kepada kegiatan sosial ekonomi nasional. Kebijakan tes antigen untuk transportasi udara sudah cukup baik," pungkasnya. 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari