Rabu, 27 November 2024
spot_img

Koalisi Jokowi Masih Incar Posisi Ketua MPR

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan demokrasi di Indonesia sangat menarik karena kompetisi elektoralnya bertingkat.

Menurut dia, pemilihan presiden (pilpres) bukan satu-satunya kompetisi yang melibatkan banyak parpol. Setelah pilpres, masih banyak peristiwa lain yang membuat parpol bekerja sama. Baik itu yang bersama atau berkoalisi di pilpres atau bukan.

Karena itu, kata Adi, jangan memaknai pilpres sebagai satu-satunya wadah untuk berkompetisi. “Makanya saya sejak awal selalu berbicara tentang memaknai politik seperti pilpres itu biasa-biasa saja. Karena setelah pilpres usai, parpol yang sering bertarung punya kecenderungan berkoalisi dalam begitu banyak event,” kata Adi dalam diskusi Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR  di gedung parlemen, Jakarta, Senin (22/7).

Dia menegaskan bahwa friksi antarparpol selama ini hanya terjadi saat jelang pilpres. Sebab, setelah pemilu dengan penentuan komposisi kabinet, partai-partai yang semula seakan-akan seperti terjadi perang, malah punya kecenderungan untuk berkoalisi.

“Yurisprudensinya ini terjadi sejak lama, 2004, 2009, dan 2014 partai pengusung yang kala itu kecenderungan selain diajak juga berpotensi untuk lompat pagar,” ujarnya.

Nah, kata Adi, hal inilah menariknya kenapa politik Indonesia selalu ramai. Belum selesai bicara komposisi kabinet, sekarang sudah mulai ramai paket pemilihan pimpinan MPR.

Baca Juga:  Bunga Jelitha Resmi Dinikahi Syamsir Alam

Menurut Adi, hal ini ramai bukan saja karena PKB dan Partai Golkar begitu agresif memperebutkan posisi ini, tetapi ada keinginan partai Gerindra seakan-akan ingin menyertakan klausul rekonsiliasi berbasiskan akomodasi politik berbasis sharing power.

“Soal apa kemungkinan-kemungkinannya, wallahualam bissawaab. Ini yang saya kira bahwa kecenderungan dengan Gerindra akan jadi ketua MPR mungkin, dengan satu catatan teman-teman PDIP mau tidak? Selesai urusan,” ungkapnya.

Menurut dia, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sederhana saja, karena ingin mengakomodasi kelompok luar pemerintahan yang satu-satunya itu diperankan oleh PDI Perjuangan. Kebetulan, lanjut dia, figur PDI Perjuangan Taufiq Kiemas, kalau itu cukup acceptable, dikenal di semua kalangan. “Jadi, tidak perlu repot-repot,” tegasnya.

Padahal, ujar dia, posisi kemenangan SBY sebesar 62 persen kalau itu sebenarnya membuat pemerintahannya tidak membutuhkan partai di luar pemerintahan menjadi bagian koalisi. Hanya saja, kata Adi, karena desain ketatanegaraan Indonesia berdasar filosofis menjaga harmoni keseimbangan, maka PDI Perjuangan yang konsisten jadi oposisi relatif didukung untuk menjadi pimpinan MPR.

Adi menambahkan, untuk 2014 kasusnya mungkin berbeda. Saat itu, kata Adi, pendukung Prabowo yang saat itu mayoritas di parlemen merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Menurutnya, hal itulah yang menjelaskan kenapa DPR itu ketuanya dari partai bukan pemenang pemilu, dan bukan dikuasai PDI Perjuangan yang pada 2014 menjadi juara.

Baca Juga:  Jangan sampai Ada Posko yang Kosong

Lebih lanjut Adi menilai apa yang terjadi di 2009 dan 2014, tidak mungkin terulang pada pemilihan paket pimpinan MPR periode 2019-2024. Peluang revisi UU MD3 sangat kecil, karena sebentar lagi sudah pelantikan anggota DPR, MPR dan DPD terpilih. Mayoritas parlemen juga dikuasai pendukung Jokowi.

Nah, kata Adi, komposisi MPR ke depan ini sebenarnya bagian dari politik yang biasa-biasa saja. Menurut dia, justru yang menarik adalah maukah PKB yang sejak awal pemilu ditetapkan memberikan kelegawaan kepada Partai Golkar yang merasa sebagai partai pemenang kedua dianggap proporsional menempati posisi itu.  Yang jelas, dia meyakini, pimpinan MPR akan tetap diambil oleh partai pengusung Jokowi.

“Saya cukup yakin itu, kecenderungannya itu. Kalaupun toh Partai Gerindra mau, mungkin tidak di pimpinan (ketua), di wakil atau di tempat yang lain sebagai bagian dari akomodasi politik, “ katanya. (boy)

Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan demokrasi di Indonesia sangat menarik karena kompetisi elektoralnya bertingkat.

Menurut dia, pemilihan presiden (pilpres) bukan satu-satunya kompetisi yang melibatkan banyak parpol. Setelah pilpres, masih banyak peristiwa lain yang membuat parpol bekerja sama. Baik itu yang bersama atau berkoalisi di pilpres atau bukan.

Karena itu, kata Adi, jangan memaknai pilpres sebagai satu-satunya wadah untuk berkompetisi. “Makanya saya sejak awal selalu berbicara tentang memaknai politik seperti pilpres itu biasa-biasa saja. Karena setelah pilpres usai, parpol yang sering bertarung punya kecenderungan berkoalisi dalam begitu banyak event,” kata Adi dalam diskusi Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR  di gedung parlemen, Jakarta, Senin (22/7).

- Advertisement -

Dia menegaskan bahwa friksi antarparpol selama ini hanya terjadi saat jelang pilpres. Sebab, setelah pemilu dengan penentuan komposisi kabinet, partai-partai yang semula seakan-akan seperti terjadi perang, malah punya kecenderungan untuk berkoalisi.

“Yurisprudensinya ini terjadi sejak lama, 2004, 2009, dan 2014 partai pengusung yang kala itu kecenderungan selain diajak juga berpotensi untuk lompat pagar,” ujarnya.

- Advertisement -

Nah, kata Adi, hal inilah menariknya kenapa politik Indonesia selalu ramai. Belum selesai bicara komposisi kabinet, sekarang sudah mulai ramai paket pemilihan pimpinan MPR.

Baca Juga:  SCB: Penyair Perempuan Harus Lebih Hebat

Menurut Adi, hal ini ramai bukan saja karena PKB dan Partai Golkar begitu agresif memperebutkan posisi ini, tetapi ada keinginan partai Gerindra seakan-akan ingin menyertakan klausul rekonsiliasi berbasiskan akomodasi politik berbasis sharing power.

“Soal apa kemungkinan-kemungkinannya, wallahualam bissawaab. Ini yang saya kira bahwa kecenderungan dengan Gerindra akan jadi ketua MPR mungkin, dengan satu catatan teman-teman PDIP mau tidak? Selesai urusan,” ungkapnya.

Menurut dia, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sederhana saja, karena ingin mengakomodasi kelompok luar pemerintahan yang satu-satunya itu diperankan oleh PDI Perjuangan. Kebetulan, lanjut dia, figur PDI Perjuangan Taufiq Kiemas, kalau itu cukup acceptable, dikenal di semua kalangan. “Jadi, tidak perlu repot-repot,” tegasnya.

Padahal, ujar dia, posisi kemenangan SBY sebesar 62 persen kalau itu sebenarnya membuat pemerintahannya tidak membutuhkan partai di luar pemerintahan menjadi bagian koalisi. Hanya saja, kata Adi, karena desain ketatanegaraan Indonesia berdasar filosofis menjaga harmoni keseimbangan, maka PDI Perjuangan yang konsisten jadi oposisi relatif didukung untuk menjadi pimpinan MPR.

Adi menambahkan, untuk 2014 kasusnya mungkin berbeda. Saat itu, kata Adi, pendukung Prabowo yang saat itu mayoritas di parlemen merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Menurutnya, hal itulah yang menjelaskan kenapa DPR itu ketuanya dari partai bukan pemenang pemilu, dan bukan dikuasai PDI Perjuangan yang pada 2014 menjadi juara.

Baca Juga:  Pemerintah Ungkap Cara Menelusuri Jejak Pasien Positif Virus Corona

Lebih lanjut Adi menilai apa yang terjadi di 2009 dan 2014, tidak mungkin terulang pada pemilihan paket pimpinan MPR periode 2019-2024. Peluang revisi UU MD3 sangat kecil, karena sebentar lagi sudah pelantikan anggota DPR, MPR dan DPD terpilih. Mayoritas parlemen juga dikuasai pendukung Jokowi.

Nah, kata Adi, komposisi MPR ke depan ini sebenarnya bagian dari politik yang biasa-biasa saja. Menurut dia, justru yang menarik adalah maukah PKB yang sejak awal pemilu ditetapkan memberikan kelegawaan kepada Partai Golkar yang merasa sebagai partai pemenang kedua dianggap proporsional menempati posisi itu.  Yang jelas, dia meyakini, pimpinan MPR akan tetap diambil oleh partai pengusung Jokowi.

“Saya cukup yakin itu, kecenderungannya itu. Kalaupun toh Partai Gerindra mau, mungkin tidak di pimpinan (ketua), di wakil atau di tempat yang lain sebagai bagian dari akomodasi politik, “ katanya. (boy)

Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari