JAKARTA (RIAUPOS.CO) – MENJELANG waktu pendaftaran calon Pilkada di Indonesia, Mahkamah Konstitusi mengubah aturan terkait ambang batas pencalonan kepala daerah melalui putusan 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan, Selasa (20/8). Keputusan ini pun bakal membuat konstelasi politik atau peta pencalonan kepala daerah di seluruh Indonesia juga ikut berubah. Pilkada pun diprediksi bakal meriah dengan banyak calon.
Mulanya, ambang batas pencalonan dalam UU Pilkada ditetapkan sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Kedua opsi itu berlaku hanya untuk partai yang memiliki kursi di DPRD.
Dalam putusan terbaru, MK mengubah ketentuan dengan memberi hak yang sama untuk semua partai. Adapun ambang batas pencalonan, dibuat berbeda antar daerah bergantung dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing.
Skema tersebut disamakan dengan aturan pada calon dari jalur perseorangan. Putusan itu sendiri merupakan uji materi pasal 40 ayat 3 UU Pilkada yang dimohonkan Partai Gelora dan Partai Buruh.
Mereka meminta ada norma yang memberi ruang partai yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengusung calon. Sebab, partai politik merupakan peserta pemilu.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan jika frasa yang membatasi hak pencalonan hanya untuk partai yang memiliki kursi DPRD sebagai pasal yang inkonstitusional. Hal itu merujuk pada putusan MK nomor 5/PUU-V/2007.
Namun sayangnya, pembentuk UU tetap memberlakukan norma itu saat menyusun UU Pilkada. Pelarangan partai yang tidak memiliki kursi dinilai melanggar hak yang dijamin konstitusi. Padahal, partai tersebut juga memiliki suara dalam Pemilu.
“Suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya,” ujar hakim MK Enny Nurbaningsih.
Di sisi lain, UU Pilkada juga telah memberikan ruang alternatif pencalonan melalui jalur perseorangan. Oleh karenanya, untuk menghasilkan persyaratan yang adil, maka persentase syarat bagi jalur partai politik juga mesti disamakan. Jika tidak, sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan.
Selain mengubah ambang batas pencalonan, MK dalam putusan lainnya memberikan tafsir terkait waktu penentuan usia kepala daerah. Dalam pertimbangan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menyatakan syarat usia minimum calon kepala daerah terhitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Permohonan itu sendiri diajukan dua orang mahasiswa pasca adanya putusan MA yang mengubah penentuan usia dari saat penetapan menjadi saat pelantikan. MK menegaskan, norma dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada dinilai sudah jelas. Sehingga tidak perlu ada tafsir lain, selain yang diatur dalam UU Pilkada.
“Penting bagi Mahkamah menegaskan, titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,” kata hakim MK Saldi Isra.
Saldi mengingatkan, PKPU tentang pencalonan harus dibuat sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Bagi MK, pemaknaan atas regulasi tersebut mengikat semua penyelenggara.
Jika KPU tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan, Saldi mengingatkan MK berwenang menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. “Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” tegasnya.
Dalam memutus, komposisi hakim terjadi perbedaan. Dalam perkara ambang batas, putusan mengalami perbedaan pendapat terdapat pada dua hakim. Yakni Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah.
Sementara pada perkara usia kepala daerah, delapan hakim memutus secara bulat. Kecuali hakim Anwar Usman yang tidak dikutsertakan karena punya potensi konflik kepentingan dengan ponakannya, Kaesang Pangarep yang berpeluang maju Pilkada.
Angin Segar
Putusan MK tersebut, menjadi angin segar untuk sejumlah partai dan tokoh tertentu. Salah satu yang diuntungkan adalah PDIP. Seperti diketahui, PDIP berpeluang hanya menjadi penonton di Pilkada Jakarta. Sebab, PDIP tidak bisa menggenapkan jumlah kursi dukungan minimal 20 persen akibat gagal mendapat kawan koalisi.
Namun dengan putusan ini, PDIP dipastikan bisa mengusung calonnya sendiri. Dalam Pemilu 2024, di Jakarta PDIP meraih 14 persen suara.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengaku senang mengenai putusan MK terbaru itu. Keputusan itu secara langsung akan menghentikan berbagai upaya di daerah-daerah, khususnya DKI Jakarta untuk membentuk calon tunggal tidak dimungkinkan lagi. “Justru kami tersenyum karena keputusan MK tersebut,” terangnya di Gedung Merah Putih KPK, kemarin.
Dengan putusan itu setidaknya PDI Perjuangan bisa mengusung calonnya sendiri di Jakarta. Namun, saat disinggung siapa calon di Jakarta, termasuk apakah mengusung Anies dan Hendar ?, Hasto tak menjawab secara langsung. “Tunggu tanggal mainnya,” katanya seraya tersenyum.
Meski begitu, Hasto membenarkan soal PDI Perjuangan yang terus menjalin komunikasi dengan Anies. Salah satunya, komunikasi itu dilakukan lewat Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah. Yang jelas, PDI Perjuangan akan tetap mendengarkan aspirasi masyarakat dan partai dalam penentuan calon nanti. Di singgung isi pertemuan itu, Hasto tak menjawab terang. “Saya kan nggak bicara ketemu Pak Anies. Pak Basarah yang sudah ketemu dan melakukan komunikasi politik,” katanya.
Dengan peluang putusan MK ini, Hasto mengatakan pihaknya tak gentar melawan 12 partai yang tergabung di KIM Plus di Jakarta. “Kami kan bersama dengan rakyat,” katanya.
Tak hanya di Jakarta, putusan MK itu juga berpeluang mengubah peta politik dan konfigurasi di daerah. Termasuk di wilayah Provinsi Banten dan Jatim. Hasto pun menjawab soal Pilkada di ujung barat pulau Jawa itu. “Soal urung dicalonkannya Airin di Banten itu kewenangan Partai Golkar. Tapi aspirasi dari masyarakat memang banyak buat deklarasi untuk Airin dan Adr Sumardi,” terangnya.
Pun dengan Pilkada di Jatim. Soal koalisi PDI Perjuangan dengan PKB di wilayah itu tak tertutup. Sebab, PDI Perjuangan tetap akan mempertimbangkan secara empiris setiap calon yang dimajukan dalam kontestasi politik. Koalisi partai di daerah bisa saja terjadi. “Kerja sama PDI Perjuangan itu ada dengan Golkar, Gerindra, dan kemudian PKB. Juga ada PAN, PPP, bahkan Hanura,” katanya.
Hasto juga memberi respon mengenai peluang gagalnya Kaesang untuk maju di Pilkada lantaran tersandung batas minimal umur yang diputuskan MK kemarin. “Saya nggak dengar. Gimana,” ucapnya bertanya ulang kepada awak media.
Selain PDIP, putusan ini juga menguntungkan Anies yang nasibnya sempat diujung tanduk. Juru Bicara Anies Baswedan, Sahrin Hamid menyambut baik putusan MK. “Ini merupakan angin segar bagi iklim demokrasi kita,” ujarnya.
Imbas putusan ini, dia meyakini kontestasi Pilkada, khususnya di Jakarta berlangsung lebih kompetitif. Dengan Pilkada yang lebih kompetitif, dia berhapan akan muncul calon-calon kepala daerah yang ide, gagasan dan programnya relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. “Kami melihat rakyat perlu diberikan pilihan-pilihan,” ujarnya.
Tak hanya itu, selain memberi manfaat bagi rakyat dan calon, partai juga akan merasakan manfaat putusan ini. Sebab, akan membuat manuver partai lebih dinamis dalam memilih calon yang diusung “Dengan batas waktu sampai 29 Desember saya rasa dinamikanya akan semakin menarik,” tandas Sahrin.
Ditemui di sela-sela Munas Golkar, bakal calon gubernur Jakarta dari Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) Ridwan Kamil menghormati putusan MK. Baginya, putusan tersebut positif dan menguntungkan masyarakat termasuk yang di Jakarta.
“Karena warga akan disuguhi oleh adu gagasan makin banyak gagasan yang solutif, untuk permasalah wilayahnya kan makin bagus,” ujarnya.
Soal peluangnya, RK mengaku tidak ambil pusing. Sebab, ini bukan kali pertama harus berkontestasi dengan banyak paslon. Saat maju di Pemilihan Walikota Bandung, kontestasi diikuti 8 paslon. Kemudian di Pilkada Jawa Barat 2018 diikuti 4 paslon. “Tidak ada masalah,” tegasnya.
Dari KIM Plus, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menganggap putusan MK mengejutkan. Sebab mengubah sistem yang paling mendasar yakni pencalonan sepekan sebelum pendaftaran.
Putusan itu, lanjut dia, dipastikan berpeluang mengubah konstelasi politik. Bukan hanya di Jakarta, melainkan hampir diseluruh Indonesia. Dengan ambang batas yang kecil, bukan tidak mungkin partai menghitung ulang.
“Secara politik, secara strategi, begitu peraturan berubah, begitu peta kekuatan berubah, ya tentu kita harus menyesuaikan diri,” ujarnya.
Untuk sikap Golkar dan KIM sendiri, dipastikan bakal ada pembicaraan. Doli enggan terburu-buru mengingat putusan MK baru diketahui. “Kalau kami dari Golkar, dari KIM tentu ini harus akan ada rapat,” ujarnya. Doli masih optimis, KIM akan tetap solid. Sebab sudah teruji dan punya success story di pilpres.
Putus Dominasi Partai Besar
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah menuai banyak pujian. Putusan itu dinilai menjadi harapan di tengah kian masifnya skenario calon tunggal maupun koalisi gemuk.
Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai putusan MK dalam perkara 60 2024 sangat progresif. Dengan syarat yang lebih moderat dan memberi hak pada semua partai bisa membuat kontestasi pilkada akan lebih adil.
Kemudian dari sisi kepentingan publik, pemilih juga akan diuntungkan. Sebab berpeluang disajikan keragaman pilihan politik. “Putusan ini progresif. Wajib kita dukung dan apresiasi,” ujarnya kemarin.
Kini, bola ada di partai politik. Titi berharap, partai politik bisa mengambil peluang ini dan tidak menyia-nyiakan ruang yang tersedia. Sehingga kader terbaik partai bisa dicalonkan. Hal itu sekaligus membantu pemilih tidak berhadapan dengan fenomena calon tunggal atau calon yang diusung koalisi gemuk.
Praktik calon tunggal ataupun koalisi gemuk, lanjut Titi, sangat beresiko bagi kehidupan daerah ke depannya. Sebab, dengan dukungan yang dimonopoli, jalannya pemerintahan daerah berpotensi diktator. Mengingat lemahnya akan fungsi dan peran kontrol dari partai politik lain yang mestinya menjadi oposisi di parlemen. “Juga bisa melemahkan efektivitas parlemen kita,” imbuhnya.
Titi juga mengingatkan, putusan MK wajib berlaku di pilkada serentak 2024. Sebab, MK tidak mengatur soal syarat pengecualian baru bisa berlaku di 2029. Karakteristik putusan kemarin, sama dengan putusan 90 tahun 2023 tentang syarat usia presiden/wakil presiden yang menjadi tiket bagi Gibran Rakabuming Raka.
“Apalagi pendaftaran calon kan baru akan dilakukan pada tanggal 27 sampai 29 Agustus 2024. Jadi waktunya masih sangat memadai untuk dilakukan penyesuaian,” kata dia. KPU, lanjutnya, harus menindaklanjuti putusan ini dengan segera. Jangan sampai hak konstitusional partai politik menjadi tercederai akibat tidak dilaksanakannya putusan ini. (far/elo/jpg)
Laporan JPG dan YUSNIR, Jakarta