JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Tanah mutiara hitam, Papua sempat kembali memanas. Pengerusakan fasilitas umum terjadi. Aksi bakar ban dan benda-benda lainnya tak terhindarkan. Kabarnya peristiwa ini latarbelakangi aksi rasisme kepada mahasiswa Papua di Malang, dan Surabaya, Jawa Timur. Akibatnya, saudara-saudara mereka di tanah kelahirannya tak terima, dan turun ke jalan menuntut keadilan.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Yohanes Jonga mengatakan, dari pandangannya, ada dua masalah utama dalam konflik yang terjadi sekarang. Pertama yaitu adanya rasisme berupa panggilan monyet kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur. Sehingga pihak keluarga merasa terhina, sanak saudaranya diperlakukan seperti itu.
“Menurut mereka, bukan baru pertama. Sudah beberapa kali. Sehingga kalau benar seperti itu, memang sangat memalukan apalagi jika terjadi di Jawa, di Surabaya yang kami anggap SDM intelektual sudah tinggi,” ujar Yohanes saat dihubungi JawaPos.com, Selasa (20/8).
Faktor kedua yang dia dengar dari masyarakat di Papua yakni kekecewaam mereka atas sikap pemerintah kepada masyarakat Papua khususnya yang berada di daerah pedalaman, seperti Nduga. “Semacam pemerintah membiarkan orang-orang Nduga mati sakit di hutan,” terangnya.
Yohanes membantah, jika unjuk rasa turut ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengakibatkan kerusuhan terjadi. “Masih murni keprihatinan orang tua dan masyarakat Papua terhadap anak-anak mereka yang sekarang ada di Jawa,” imbuhnya.
Nasi telah menjadi bubur. Situasi terlanjur chaos. Hanya solusi yang dibutuhkan sekarang. Menurut Yohanes, solusi pertama supaya kejadian ini tidak terulang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengeluarkan pernyataan yang mengedepankan persatuan dan menanamkan rasa kekeluargaan.
Kedua, aparat penegak hukum diminta agar meningkatkan profesionalisme dalam bekerja. Sehingga apabila ada kabar seperti di Surabaya yang menyebutkan mahasiswa Papua membuang bendera Merah Putih, bisa segera di mitigasi dan diselesaikan secara hukum. Dengan demikian dapat dihindarkan dari perilaku anarkis kelompok tertentu.
“Hukum harus ditegakkan. Kalau organisasi lain yang mengatur penegakkan hukum, ini sudah akibatnya terjadi macam-macam seperti itu,” ucup Yohanes.
Ketiga, menurut pria yang berprofesi sebagai Pastur di Papua itu, meminta semua instansi, baik ormas, pemerintah dan lain sebagainya agar bisa semakin dewasa dalam bertutur kata dalam menanggapi berbagai persoalan yang muncul. Hal itu guna mencegah adanya keributan satu sama lain.
“Keempat ini mungkin anak-anak Papua yang sudah selesai kuliah. Bagaimana juga supaya pengangkatan (PNS) dan lain sebagainya membawa anak Papua ke luar Papua juga. Artinya ada jatah mereka di daerah lain,” lanjutnya.
Peraih penghargaan Yap Thiam Hien 2009 itu menilai saat ini penyebaran PNS atau CPNS asal Papua belum mereta. Orang-orang asli Papua masih banyak terfokus di daerah asalnya. Hanya sedikit yang mendapat kesempatan di daerah lain. Padahal kebijakan ini penting, sebagai penanda setiap warga negara memiliki hak yang sama.
Solusi kelima, Yohanes meminta mahasiswa Papua yang berada di perantauan manapun, agar dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di daerah tersebut. Dengan demikian kerukunan antar warga bisa tercipta. “Jadi diberi tempat bagi mahasiswa Papua, (walaupun) mereka menolak tapi mereka diberi kesempatan,” tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal