Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Yang Kuat di Batang Nilo

Layaknya masyarakat sungai, kawasan di sekitar Batang Nilo atau Sungai Nilo juga tinggal masyarakat adat yang masih menjaga kekayaan tradisinya.  Salah satunya dengan cara menggelar Festival Budaya.

(RIAUPOS.CO) – FESITIVAL Budaya ini diberi nama Festival Tesso Nilo. Dalam festival ini dilaksanakan berbagai kegiatan. Ada perlombaan dan juga wisata budaya. Kegiatan yang bisa disaksikan dalam festival ini di antaranya, Silat Pangean, persembahan Lagu Melayu, Masakan tradisional, Gasing, Ekspedisi Nyanyian Panjang, Ekspedisi Manumbai (panen madu hutan secara tradisional) dan tarian tradisional Melayu.

Bukan hanya untuk melestarikan budaya, kegiatan ini juga mampu menarik wisatawan yang datang dari berbagai daerah, baik dari Kabupaten Pelalawan maupun kabupaten lain di Riau. Kegiatan ini dilaksanakan di kawasan flying squad, Resort Air Hitam, SPTN Wilayah I Lubuk Kembang Bunga oleh Taman Nasonal (TN) Tesso Nilo bersama masyarakat. Selain lomba, juga ada wisata budaya seperti menyaksikan Potang Mogang.

Potang Mogang Basamo Gajah
Seperti di daerah lain, seperti di Kabupaten Kampar, di kawasan TN Tesso Nilo juga ada Potang Mogang, yakni tradisi membersihkan diri sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadan. Potang Mogang ini dilaksanakan setiap tahun pada sore hari, sehari sebelum puasa. Sungai Nilo yang berada di desa ini menjadi lokasi Potang Mogang. Seluruh masyarakat keluar, mandi dan turun bersama ke sungai setelah melalui prosesi adat yang dipimpin tokoh adat.

Prosesi ini antara lain, tokoh adat bersama tokoh agama menyiramkan air bersih yang sudah dicampur dengan limau kepada pimpinan desa atau seseorang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dan hadir pada acara ini. Sebelum disiramkan, air limau ini didoakan terlebih dulu. Setelah tokoh atau pimpinan tadi disiram secara simbolis, baru seluruh masyarakat boleh turun ke sungai. Mereka menyiramkan diri sendiri dengan air limau tersebut yang dibuat banyak, bisa dua atau tiga drum, atau ada juga yang membuat sendiri di rumah.

Tradisi ini kemudian yang dikolaborasi antara mayarakat dengan TN Tesso Nilo menjadi Potang Mogang Basamo Gajah. Gajah ikut dalam kegiatan bahkan prosesi tradisi tersebut. Kemeriahan ini mampu mengundang wisatawan dari berbagai daerah di Riau karena dinilai unik tapi tetap menjaga keagungan tradisi masyarakat lokal.

‘‘Festival Tesso Nilo ini biasanya kita laksanakan di Bulan November. Tapi beberapa tahun belakangan tidak dilaksanakan karena Covid,’’ ujar Firdaus, salah satu tokoh masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga. Firdaus kemudian menjelaskan berbagai kegiatan yang dilaksanakan di Festival Tesso Nilo.

Silat Pangean
Silat Pangean, kata Firdaus, banyak pengikutnya. Seperti di Desa Lubuk Kembang Bunga atau yang dikenal dengan LKB. Silat Pangean di desa ini bukan hanya sebagai olah raga bela diri tapi juga seni tradisi yang sering dimunculkan atau dipertontonkan kepada wisatawan yang datang. Salah satunya saat Festival Tesso Nilo dilaksanakan. Apalagi LKB merupakan desa terdekat dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Selain sebagai upaya pelestarian tradisi, juga bisa sebagai sumber penghasilan dari dampak ekowisata yang dikembangkan TNTN sambil memperkenalkan kekayaan tradisi yang dimiliki.

Silat Pangean ini bisa dipelajari siapa saja; anak muda, orang tua, lelaki atau perempuan. Bertingkat pula, sesuai dengan ilmu yang didapat sejak awal dan seterusnya. Tidak sembarang pula proses belajarnya. Ada doa-doa yang harus dibaca setiap kali akan memulai silat ini. Doa ini dimaksudkan agar saat bersilat atau berlatih, tidak ada yang cidera, sakit, patah dan sebagainya. Ada pula syarat yang harus dipenuhi setiap tahun agar ilmu yang didapat tidak luntur dan mudah dilupa. Syarat tersebut yakni, memberi sedekah seikhlasnya kepada tuan guru yang mengajarkan silat tersebut.

Seseorang yang memang berniat hendak belajar Silat Pangean, harus bertemu guru terlebih dulu dan menyampaikan niat bahwa ia ingin belajar. Tidak hanya itu, tapi juga harus membawa syarat yang sudah ditentukan. Antara lain, membawa cincin satu, baju sepasang, dan pisau yang diberikan kepada guru. Kemudian membawa ayam lalu disembelih dan dimakan bersama murid-murid yang lain di halaman rumah atau tempat berlatih.

Baca Juga:  Ternyata Ini Penyebab Orang dengan Penyakit Hipertensi Rentan Terkena Covid-19

Syarat ini adalah simbol. Ada yang diberikan secara khusus kepada guru, seperti cincin, pakaian dan pisau adalah bentuk penghormatan kepada tuan guru, orang yang akan mengajarkan Silat Pangean dengan ikhlas, sehingga berkah dan bisa digunakan dengan baik. Sedangkan ayam yang disembelih dan dimakan bersama sebagai simbol bahwa begitulah rasa syukur yang harus ditunjukkan kepada anggota lain yang sudah menjadi keluarga besar dalam satu perguruan.

Silat Pangean selalunya dilaksanakan pada malam hari. Ada pula tingkatannya. Pertama, silat tangan di laman rumah. Ini untuk murid-murid yang baru masuk ke perguruan dan pertama mengenali Silat Pangean. Bisa siapa saja; lelaki, perempuan, tua atau muda, yang jelas baru pertama belajar. Kedua, silat pedang, bisa diganti denga memakai rotan atau besi. Silat ini juga dilaksanakan di halaman rumah, tapi setelah melewati proses yang pertama. Sedangkan yang ketiga, silat di rumah, yakni dilakukan di dalam rumah.

Silat di rumah atau yang ketiga ini merupakan tingkatan tertinggi dalam Silat Pangean. Tidak boleh dilihat, kecuali oleh sesama pesilat, itupun hanya empat orang paling banyak. Silat tidak dengan tangan kosong, tapi menggunakan pedang atau pisau. Silat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak hati-hati, bisa saling melukai. Itulah yang dimaksud kenapa sebelum silat dimulai harus di awali dengan doa, yakni, agar terlepas dari bahaya yang tidak sengaja.

Untuk menjaga kelestarian Silat Pangean, selalu dibuka kelas baru untuk murid baru di Desa LKB ini. Puluhan pelajar mengikuti pelatihan silat tersebut. Dilanjutkan hingga tingkatan menengah dan atas. Orang tua banyak yang belajar. Pada umumnya, mereka yang sudah sampai ke tingkat ketiga atau silat di rumah adalah orang tua.

Sutan, adalah guru Silat Pangean di desa ini. Ia mengajarkan silat tersebut sejak lama. Sudah ada ratusan orang yang diajarnya dan mahir membawakan Silat pangean. Dia sendiri belajar dari guru yang berasal dari Pangean. Apa yang didapatkan dari guru besarnya, ia berikan kepada murid-muridnya.

Karena Silat Pangean pada dasarnya adalah untuk bela diri, tapi tidak boleh sembarang digunakan, apalagi sampai melukai orang lain, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya, yang bersangkutan hendak dilukai, maka jurus Silat Pangean yang menggunakan pedang atau pisau pun boleh digunakan. Tapi jika tidak, sangat pantang dikeluarkan, karena di dalam silat ini ada pelajaran mengendalikan diri dan emosi serta bagaimana seharusnya berbudi pekerti.

Manumbai
Hal lain yang bisa dinikmati wisatawan saat datang ke Tesso Nilo adalah melihat proses manumbai yakni panen madu hutan atau madu sialang. Lebah madu ini hidup dan menempel di pohon-pohon besar dan tinggi. Banyak jenisnya. Jika pohon ini dibuahi oleh lebah atau dijadikan sarang oleh lebah, pohon ini disebut dengan pohon sialang. Sedangkan madunya disebut dengan madu sialang.

Lebah sialang bukan diambil begitu saja. Ada tradisi dan doa-doa yang harus dibaca oleh juragannya atau si pemanen lebah. Dilakukan hanya pada malam hari dengan menggunakan obor tanpa api atau hanya bunga apinya saja. Alat ini disebut dengan tunam. Berbentuk bulat panjang dan diikat beberapa bagiannya agar menyatu atau tidak terlerai.

Juragan mengambil lebah madu dengan memanjat pohon sialang dan dibantu oleh beberapa orang. Tangga untuk sampai ke atas juga dibuat sedemikian rupa. Dibuat selama memanjat sambil melantunkan mantra-mantra lebah. Ritual tradisi ini sangat terasa terlebih saat melihat percikan bunga api yang berjatuhan turun ke bawah setelah juragan mengibaskannya sambil terus naik dan terus melantunkan mantra-mantra tadi. Wisata yang sangat unik. Kaya tradisi lokal. Hal ini bisa disaksikan oleh wisatawan jika menginap di TN Tesso Nilo.

Baca Juga:  Main Gadget Lebih dari 2 Jam Sehari Berbahaya Bagi Anak

Nyanyi Panjang
Nyanyi panjang merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat asli Pelalawan, yakni Suku Petalangan. Tradisi sastra lisan ini bercorak naratif atau bercerita yang ditunjukkan kepada khalayak ramai oleh seorang tukang nyanyi panjang atau disebut Pebilang Nyanyian Panjang. Sesuai dengan namanya Nyanyi Panjang, nyanyi ini memang berdurasi panjang. Kadang lebih dari satu malam.

Banyak nada dalam tradisi lisan ini.  Banyak kisah yang diceritakan dalam tradisi lisan ini. Mulai dari persoalan adat, budaya, alam lingkungan, norma-norma sosial, pesan-pesan moral tentang nilai luhur budaya hingga asal-usul persukuan. Persukuan yang memiliki Nyanyian Panjang di wilayah ini dulunya antara lain, Melayu, Piliang, Domo, Pelabi, Bangkak, Medang, Singo Bono, Mandailing, Payung, Penyabungan, Bintan, Lubuk, Pematan dan Sengerih.

Nyanyian Panjang ini sudah tidak banyak lagi yang bisa melantunkan. Hanya beberapa orang saja dan sudah tua. TN Tesso Nilo dengan masyarakat tempatan menjadikan Nyanyian Panjang ini sebagai salah satu persembahan untuk wisatawan yang datang, salah satunya ditampilkan dalam Festival Tesso Nilo. Tentu tidak sepanjang yang seharusnya atau secukupnya saja. Selain untuk menunjukkan tradisi khas lokal kepada wisatawan, juga sebagai jalan menjaga warisan ini agar tetap bertahan.

Gasing
Permainan tradisional yang bisa dilihat langsung oleh wisatawan saat berkunjung ke TN Tesso Nilo adalah gasing. Permainan khas Melayu ini menjadi permainan sehari-hari masyarakat tempatan. Gasing juga menjadi salah satu pertunjukan dan permainan tradisi masyarakat yang dipertandingkan dalam Festival Tesso Nilo.

Tidak semua orang bisa memainkan gasing. Ada teknisnya, mulai dari cara membelitkan tali ke tubuh gasing hingga melemparkannya ke tanah dan berpusing lama. Bisa dimainkan dua orang dengan cara berlawanan. Gasing yang sudah berputar di tanah, di pangkah oleh gasing lawan. Jika bertahan atau tidak tumbang, maka pemilik gasing pertama sebagai pemenang.

Gasing tidak dibuat dari sembarang kayu. Perlu kayu keras dan berat. Ada ukuran tertentu pula pada gasing sehingga keseimpangan atara kepala dan bagian bawah gasing, tepat. Ketika dimainkan, gasingpun seimbang saat berputar. Ukuran gasing ada yang besar dan sedang. Biasanya ada ukuran kecil dan dibuat dari kayu-kayu biasa, tapi untuk buah tangan, bukan dipakai dalam permainan atau pertandingan.  

Tari Melayu Tradisi
Tari Persembahan namanya. Ini adalah salah satu tari tradisi Melayu yang juga berkembang dan dipelajari masyarakat di sekitar kawasan TN Tesso Nilo. Tari ini selalu dipentaskan atau ditampilkan saat ada tamu, tari untuk menyambut tamu. Jika wisatawan datang, mereka juga bisa menyaksikan tarian tradisional ini, kekayaan masyarakat tempatan.

Tari ini dibawakan oleh gadis-gadis. Jumlahnya harus ganjil. Bisa lima, tujuh atau sembilan bahkan 11 orang. Tergantung kebutuhan atau kesepakatan antar penari itu sendiri. Para penari menggunakan pakaian seragang, lengkap dengan sunting atau hiasaan di kepala, ciri khas orang Melayu. Pakaian ini hanya dipakai saat tari ini dibawakan saja.

Gerak dalam tari ini sangat lembut. Diawali dengan semmbah sepuluh jari gerak saat duduk, berdiri, duduk hingga berdiri lagi. Di akhir tarian, beberapa penari akan meju ke depan, mencari tamu atau wisatawan kehormatan dan menyodorkan tepak yang berisi sirih pinang. Tamu atau wisatawan tersebut harus mengambilnya. Inilah tari yang syarat dengan salam perkenalan dan ucapan selamat datang di tanah yang mereka pijak saat itu.***

Lapaoran KUNNI MASROHANTI, Pelalawan

 

Layaknya masyarakat sungai, kawasan di sekitar Batang Nilo atau Sungai Nilo juga tinggal masyarakat adat yang masih menjaga kekayaan tradisinya.  Salah satunya dengan cara menggelar Festival Budaya.

(RIAUPOS.CO) – FESITIVAL Budaya ini diberi nama Festival Tesso Nilo. Dalam festival ini dilaksanakan berbagai kegiatan. Ada perlombaan dan juga wisata budaya. Kegiatan yang bisa disaksikan dalam festival ini di antaranya, Silat Pangean, persembahan Lagu Melayu, Masakan tradisional, Gasing, Ekspedisi Nyanyian Panjang, Ekspedisi Manumbai (panen madu hutan secara tradisional) dan tarian tradisional Melayu.

- Advertisement -

Bukan hanya untuk melestarikan budaya, kegiatan ini juga mampu menarik wisatawan yang datang dari berbagai daerah, baik dari Kabupaten Pelalawan maupun kabupaten lain di Riau. Kegiatan ini dilaksanakan di kawasan flying squad, Resort Air Hitam, SPTN Wilayah I Lubuk Kembang Bunga oleh Taman Nasonal (TN) Tesso Nilo bersama masyarakat. Selain lomba, juga ada wisata budaya seperti menyaksikan Potang Mogang.

Potang Mogang Basamo Gajah
Seperti di daerah lain, seperti di Kabupaten Kampar, di kawasan TN Tesso Nilo juga ada Potang Mogang, yakni tradisi membersihkan diri sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadan. Potang Mogang ini dilaksanakan setiap tahun pada sore hari, sehari sebelum puasa. Sungai Nilo yang berada di desa ini menjadi lokasi Potang Mogang. Seluruh masyarakat keluar, mandi dan turun bersama ke sungai setelah melalui prosesi adat yang dipimpin tokoh adat.

- Advertisement -

Prosesi ini antara lain, tokoh adat bersama tokoh agama menyiramkan air bersih yang sudah dicampur dengan limau kepada pimpinan desa atau seseorang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dan hadir pada acara ini. Sebelum disiramkan, air limau ini didoakan terlebih dulu. Setelah tokoh atau pimpinan tadi disiram secara simbolis, baru seluruh masyarakat boleh turun ke sungai. Mereka menyiramkan diri sendiri dengan air limau tersebut yang dibuat banyak, bisa dua atau tiga drum, atau ada juga yang membuat sendiri di rumah.

Tradisi ini kemudian yang dikolaborasi antara mayarakat dengan TN Tesso Nilo menjadi Potang Mogang Basamo Gajah. Gajah ikut dalam kegiatan bahkan prosesi tradisi tersebut. Kemeriahan ini mampu mengundang wisatawan dari berbagai daerah di Riau karena dinilai unik tapi tetap menjaga keagungan tradisi masyarakat lokal.

‘‘Festival Tesso Nilo ini biasanya kita laksanakan di Bulan November. Tapi beberapa tahun belakangan tidak dilaksanakan karena Covid,’’ ujar Firdaus, salah satu tokoh masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga. Firdaus kemudian menjelaskan berbagai kegiatan yang dilaksanakan di Festival Tesso Nilo.

Silat Pangean
Silat Pangean, kata Firdaus, banyak pengikutnya. Seperti di Desa Lubuk Kembang Bunga atau yang dikenal dengan LKB. Silat Pangean di desa ini bukan hanya sebagai olah raga bela diri tapi juga seni tradisi yang sering dimunculkan atau dipertontonkan kepada wisatawan yang datang. Salah satunya saat Festival Tesso Nilo dilaksanakan. Apalagi LKB merupakan desa terdekat dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Selain sebagai upaya pelestarian tradisi, juga bisa sebagai sumber penghasilan dari dampak ekowisata yang dikembangkan TNTN sambil memperkenalkan kekayaan tradisi yang dimiliki.

Silat Pangean ini bisa dipelajari siapa saja; anak muda, orang tua, lelaki atau perempuan. Bertingkat pula, sesuai dengan ilmu yang didapat sejak awal dan seterusnya. Tidak sembarang pula proses belajarnya. Ada doa-doa yang harus dibaca setiap kali akan memulai silat ini. Doa ini dimaksudkan agar saat bersilat atau berlatih, tidak ada yang cidera, sakit, patah dan sebagainya. Ada pula syarat yang harus dipenuhi setiap tahun agar ilmu yang didapat tidak luntur dan mudah dilupa. Syarat tersebut yakni, memberi sedekah seikhlasnya kepada tuan guru yang mengajarkan silat tersebut.

Seseorang yang memang berniat hendak belajar Silat Pangean, harus bertemu guru terlebih dulu dan menyampaikan niat bahwa ia ingin belajar. Tidak hanya itu, tapi juga harus membawa syarat yang sudah ditentukan. Antara lain, membawa cincin satu, baju sepasang, dan pisau yang diberikan kepada guru. Kemudian membawa ayam lalu disembelih dan dimakan bersama murid-murid yang lain di halaman rumah atau tempat berlatih.

Baca Juga:  Cegah Penyakit dengan Buah Pepaya

Syarat ini adalah simbol. Ada yang diberikan secara khusus kepada guru, seperti cincin, pakaian dan pisau adalah bentuk penghormatan kepada tuan guru, orang yang akan mengajarkan Silat Pangean dengan ikhlas, sehingga berkah dan bisa digunakan dengan baik. Sedangkan ayam yang disembelih dan dimakan bersama sebagai simbol bahwa begitulah rasa syukur yang harus ditunjukkan kepada anggota lain yang sudah menjadi keluarga besar dalam satu perguruan.

Silat Pangean selalunya dilaksanakan pada malam hari. Ada pula tingkatannya. Pertama, silat tangan di laman rumah. Ini untuk murid-murid yang baru masuk ke perguruan dan pertama mengenali Silat Pangean. Bisa siapa saja; lelaki, perempuan, tua atau muda, yang jelas baru pertama belajar. Kedua, silat pedang, bisa diganti denga memakai rotan atau besi. Silat ini juga dilaksanakan di halaman rumah, tapi setelah melewati proses yang pertama. Sedangkan yang ketiga, silat di rumah, yakni dilakukan di dalam rumah.

Silat di rumah atau yang ketiga ini merupakan tingkatan tertinggi dalam Silat Pangean. Tidak boleh dilihat, kecuali oleh sesama pesilat, itupun hanya empat orang paling banyak. Silat tidak dengan tangan kosong, tapi menggunakan pedang atau pisau. Silat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak hati-hati, bisa saling melukai. Itulah yang dimaksud kenapa sebelum silat dimulai harus di awali dengan doa, yakni, agar terlepas dari bahaya yang tidak sengaja.

Untuk menjaga kelestarian Silat Pangean, selalu dibuka kelas baru untuk murid baru di Desa LKB ini. Puluhan pelajar mengikuti pelatihan silat tersebut. Dilanjutkan hingga tingkatan menengah dan atas. Orang tua banyak yang belajar. Pada umumnya, mereka yang sudah sampai ke tingkat ketiga atau silat di rumah adalah orang tua.

Sutan, adalah guru Silat Pangean di desa ini. Ia mengajarkan silat tersebut sejak lama. Sudah ada ratusan orang yang diajarnya dan mahir membawakan Silat pangean. Dia sendiri belajar dari guru yang berasal dari Pangean. Apa yang didapatkan dari guru besarnya, ia berikan kepada murid-muridnya.

Karena Silat Pangean pada dasarnya adalah untuk bela diri, tapi tidak boleh sembarang digunakan, apalagi sampai melukai orang lain, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya, yang bersangkutan hendak dilukai, maka jurus Silat Pangean yang menggunakan pedang atau pisau pun boleh digunakan. Tapi jika tidak, sangat pantang dikeluarkan, karena di dalam silat ini ada pelajaran mengendalikan diri dan emosi serta bagaimana seharusnya berbudi pekerti.

Manumbai
Hal lain yang bisa dinikmati wisatawan saat datang ke Tesso Nilo adalah melihat proses manumbai yakni panen madu hutan atau madu sialang. Lebah madu ini hidup dan menempel di pohon-pohon besar dan tinggi. Banyak jenisnya. Jika pohon ini dibuahi oleh lebah atau dijadikan sarang oleh lebah, pohon ini disebut dengan pohon sialang. Sedangkan madunya disebut dengan madu sialang.

Lebah sialang bukan diambil begitu saja. Ada tradisi dan doa-doa yang harus dibaca oleh juragannya atau si pemanen lebah. Dilakukan hanya pada malam hari dengan menggunakan obor tanpa api atau hanya bunga apinya saja. Alat ini disebut dengan tunam. Berbentuk bulat panjang dan diikat beberapa bagiannya agar menyatu atau tidak terlerai.

Juragan mengambil lebah madu dengan memanjat pohon sialang dan dibantu oleh beberapa orang. Tangga untuk sampai ke atas juga dibuat sedemikian rupa. Dibuat selama memanjat sambil melantunkan mantra-mantra lebah. Ritual tradisi ini sangat terasa terlebih saat melihat percikan bunga api yang berjatuhan turun ke bawah setelah juragan mengibaskannya sambil terus naik dan terus melantunkan mantra-mantra tadi. Wisata yang sangat unik. Kaya tradisi lokal. Hal ini bisa disaksikan oleh wisatawan jika menginap di TN Tesso Nilo.

Baca Juga:  Jangan Pernah Akses PayPal Pakai VPN, Ini Alasannya

Nyanyi Panjang
Nyanyi panjang merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat asli Pelalawan, yakni Suku Petalangan. Tradisi sastra lisan ini bercorak naratif atau bercerita yang ditunjukkan kepada khalayak ramai oleh seorang tukang nyanyi panjang atau disebut Pebilang Nyanyian Panjang. Sesuai dengan namanya Nyanyi Panjang, nyanyi ini memang berdurasi panjang. Kadang lebih dari satu malam.

Banyak nada dalam tradisi lisan ini.  Banyak kisah yang diceritakan dalam tradisi lisan ini. Mulai dari persoalan adat, budaya, alam lingkungan, norma-norma sosial, pesan-pesan moral tentang nilai luhur budaya hingga asal-usul persukuan. Persukuan yang memiliki Nyanyian Panjang di wilayah ini dulunya antara lain, Melayu, Piliang, Domo, Pelabi, Bangkak, Medang, Singo Bono, Mandailing, Payung, Penyabungan, Bintan, Lubuk, Pematan dan Sengerih.

Nyanyian Panjang ini sudah tidak banyak lagi yang bisa melantunkan. Hanya beberapa orang saja dan sudah tua. TN Tesso Nilo dengan masyarakat tempatan menjadikan Nyanyian Panjang ini sebagai salah satu persembahan untuk wisatawan yang datang, salah satunya ditampilkan dalam Festival Tesso Nilo. Tentu tidak sepanjang yang seharusnya atau secukupnya saja. Selain untuk menunjukkan tradisi khas lokal kepada wisatawan, juga sebagai jalan menjaga warisan ini agar tetap bertahan.

Gasing
Permainan tradisional yang bisa dilihat langsung oleh wisatawan saat berkunjung ke TN Tesso Nilo adalah gasing. Permainan khas Melayu ini menjadi permainan sehari-hari masyarakat tempatan. Gasing juga menjadi salah satu pertunjukan dan permainan tradisi masyarakat yang dipertandingkan dalam Festival Tesso Nilo.

Tidak semua orang bisa memainkan gasing. Ada teknisnya, mulai dari cara membelitkan tali ke tubuh gasing hingga melemparkannya ke tanah dan berpusing lama. Bisa dimainkan dua orang dengan cara berlawanan. Gasing yang sudah berputar di tanah, di pangkah oleh gasing lawan. Jika bertahan atau tidak tumbang, maka pemilik gasing pertama sebagai pemenang.

Gasing tidak dibuat dari sembarang kayu. Perlu kayu keras dan berat. Ada ukuran tertentu pula pada gasing sehingga keseimpangan atara kepala dan bagian bawah gasing, tepat. Ketika dimainkan, gasingpun seimbang saat berputar. Ukuran gasing ada yang besar dan sedang. Biasanya ada ukuran kecil dan dibuat dari kayu-kayu biasa, tapi untuk buah tangan, bukan dipakai dalam permainan atau pertandingan.  

Tari Melayu Tradisi
Tari Persembahan namanya. Ini adalah salah satu tari tradisi Melayu yang juga berkembang dan dipelajari masyarakat di sekitar kawasan TN Tesso Nilo. Tari ini selalu dipentaskan atau ditampilkan saat ada tamu, tari untuk menyambut tamu. Jika wisatawan datang, mereka juga bisa menyaksikan tarian tradisional ini, kekayaan masyarakat tempatan.

Tari ini dibawakan oleh gadis-gadis. Jumlahnya harus ganjil. Bisa lima, tujuh atau sembilan bahkan 11 orang. Tergantung kebutuhan atau kesepakatan antar penari itu sendiri. Para penari menggunakan pakaian seragang, lengkap dengan sunting atau hiasaan di kepala, ciri khas orang Melayu. Pakaian ini hanya dipakai saat tari ini dibawakan saja.

Gerak dalam tari ini sangat lembut. Diawali dengan semmbah sepuluh jari gerak saat duduk, berdiri, duduk hingga berdiri lagi. Di akhir tarian, beberapa penari akan meju ke depan, mencari tamu atau wisatawan kehormatan dan menyodorkan tepak yang berisi sirih pinang. Tamu atau wisatawan tersebut harus mengambilnya. Inilah tari yang syarat dengan salam perkenalan dan ucapan selamat datang di tanah yang mereka pijak saat itu.***

Lapaoran KUNNI MASROHANTI, Pelalawan

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari