RENGAT (RIAUPOS.CO) – Kejaksaan Agung RI secara resmi telah mengumumkan status hukum Kepala Kejaksaan Negeri Inhu Provinsi Riau berinisial HS bersama dua anak buahnya yakni Kasi Pidsus berinisial OAP dan Kasubsi Barang Bukti berinisial RFR.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (14/8/2020) pukul 21.00 WIB lalu ditahan Sabtu (15/8/2020) sekitar pukul 04.30 WIB di Rutan Kelas I Salemba cabang Kejaksaan Agung Jakarta.
Penetapan status hukum tersebut dilakukan Kejaksaan Agung setelah memperoleh dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menjeratnya dalam kasus dugaan pemerasan terhadap 63 kepala SMP di Inhu terkait dana bantuan operasional sekolah (BOS).
"Terhadap para tersangka disangka kan pasal 12e atau pasal 11 atau pasal 5 ayat 2 jo ayat 1 huruf b UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono SH MH saat konferensi pers Selasa (18/8/2020) sore.
Dikonfirmasi terpisah Hari menyebutkan bahwa penyidik menggunakan pasal tersebut sebagai sangkaan alternatif.
"Pasal sangkaannya itu alternatif," jawab Hari Setiyono.
Berdasarkan penelusuran, mengenai jenis sangkaan atau dakwaan alternatif sesuai Surat Edaran Jaksa Agung RI nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan diartikan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan pada lapisan lainnya.
Bentuk alternatif ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan tetapi hanya satu dakwaan saja akan membuktikannya.
Mengutip UU Pemberantasan Korupsi, bunyi pasal 12 adalah Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Untuk huruf e berbunyi pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, dengan maksud menguntungkan diri sendiriatau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemudian pasal 11 berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungandengan jabatannya.
Sedangkan pasal 5 berbunyi: 1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Laporan: Fopin A Sinaga (Rengat)
Editor: Eka G Putra