JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kejaksaan Agung (Kejagung) memutuskan mengambil alih kasus kerugian PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Keputusan ini diambil karena kasus tersebut sangat besar dan melibatkan 13 perusahaan. Pada tahap awal, Kejagung telah membentuk tim khusus dengan jumlah 16 orang.
"Kami telah menyusun tim sebanyak 16 orang, jadi anggota 12 orang, kemudian pimpinan timnya ada 4 level. Itu yang akan menangani," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman di kantor Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu (18/12).
Pembentukan tim khusus ini atas pertimbangan besarnya kasus Jiwasraya. Dan cakupan wilayah nasabahnya cukup luas, sehingga diperlukan pemusatan penyidikan.
Adi mengatakan, saat ini penyidik sudah masuk tahap penyidikan. Oleh sebab itu, terkait teknis penyidikan tidak bisa diungkap kepada publik karena dikhawatirkan bisa mengganggu proses pengungkapan.
"Kami tidak bisa mengatakan hasil penyidikan dana dan sebagainya, karena itu termasuk strategi kami dalam pengungkapkan kasus ini. Pada saatnya nanti pasti kami sampaikan pada teman-teman wartawan," imbuhnya.
Adi hanya menyebut saat ini penyidik masih mengumpulkan alat bukti. Penyidik juga masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait guna menghitung kerugian negara pada kasus Jiwasraya.
"Tentang pasalnya apa dan lain sebagainya, ini masih proses. Saya minta teman-teman pers untuk bersabar yang penting kasus asuransi Jiwasraya ini sedang kami tangani dan saat ini sudah dalam tahap penyidikan," pungkas Adi.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, kerugian Jiwasraya timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi.
Hal ini terlihat dari pelanggaran prinsip-prinsip kehati-hatian berinvestasi yang dilakukan oleh Jiwasraya dengan cara banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high grade atau keuntungan tinggi. Berupa penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai 5,7 triliun, namun mayoritas saham tersebut dikelola oleh perusahaan dengan kinerja buruk.
"Dari aset finansial dan jumlah tersebut 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik. Dan sebanyak 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk," imbuh Burhanuddin.
Penyebab kebangkrutan Jiwasraya lainnya yakni penempatan reksadana sebanyak 59,1 persen senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tesebut, hanya 2 persen yang dikelola oleh manajer investasi Indonesia dengan kerja baik. Sedangkan 98 persen dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk.
"Sebagai akibat transaksi tersebut, PT Asuransi Jiwasraya Persero sampai dengan bulan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara sebesar Rp 13,7 triliun. Hal ini merupakan perkiraan awal, dan diduga ini akan lebih dari itu," pungkas Burhanuddin.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal