Sungguh, permainan tradisi atau permainan zaman dulu, merupakan upaya untuk mengenali siapa dirinya. Alat yang digunakan dalam permainan ini selalu mendekatkan si pemain (anak-anak) kepada alam. Sedangkan proses bermainnya selalu menunjukkan sikap tenggangrasa.
(RIAUPOS.CO) – PERMAINAN tradisi dapat digolongkan sebagai permainan rakyat yang bersumber dari 'mata air' kecerdasan lokal, atau kreativitas lokal dengan semangat melibatkan kerarifan lokal demi menggerakkan semangat kolektivisme penggunanya (kanak-kanak tempatan). Ia semacam mainan 'ulikan' atau 'pengulit/pengulik' demi memanja-manjakan masa kanak-kanak dalam jenis asupan permainan, sekaligus mengembangkan kecerdasan otak, keterampilan fisikal, kecerdasan berkelompok, berkaum dan sekaligus pembentuk identitas diri (kolektif). Dengan demikian terbangun sebuah peradaban yang sejalan dengan alam yang melingkupi kehidupan sehari-hari.
Permainan ini mengusung semangat dan 'moral' universum dari kaidah-kaidah yang terjangkau oleh perkakas-perkakas yang ada di sekitar mereka (bahan baku, model, formasi atau bentuk, fungsi, ragam hias yang menyertainya, termasuk ukuran metrik yang digunakan sebagai 'size' terhadap benda permainan itu. Termasuk pula ukuran medan laga dari permainan itu. Aktivitas sebagain besar outdoor (di luar rumah) yang terkadang melibatkan kehadiran orang tua terutama ibu-ibu dalam suasana terang bulan (jika permainan itu memanfaatkan momentum, permainan lunarian), seperti permainan 'galah panjang', 'main sembunyi-sembunyian' (petak umpat) dan sejenisnya. Melibatkan orang lain dalam permainan ini adalah semangat kolektivitas bangsa timur.
Berbeda dengan permainan sekarang atau zaman now yang terkesan membangun kepercayaan diri dengan kuat, menggunakan alat (tool) serba kecil, portable, yang saat ini digolongkan sebagai gadget yang berpembawaan individual. Tool gadget ini juga sebagai permainan yang melibatkan kelompok (orang-orang lain) misalnya permainan perang-perangan lewat tampilan screen yang lebih atraktif. Karena penuh warna, dan terkadang berdimensi, melibatkan emosi pertarung yang lebih 'firm' sebagaimana tampilan yang dilihat anak-anak dalam tokoh-tokoh bintang mereka dalam peran-peran film laga. Selain melibatkan emosi, gadget ini juga menjadikan kanak-kanak beristana dalam sangkar maya, bukan kehidupan sebenarnya. Bukan kehidupan yang berlangsung dalam 'raga' natural. Dia dikemas menjadi makhluk artifisial (makhluk buatan) yang mengedepankan sejumlah animasi-animasi yang 'hidup'.
Jenis permainan gadget ini semuanya berbasis internet. Pembawaannya global dan mengubah keadaan. Pemaknaan waktu hanya dalam ukuran 'detik'. Sehingga kebaruan dan masa lalu hanya diukur dari 'detik'. Jenis permainan yang berbasis internet ini, amat rentan terhadap 'penyusupan' anasir-anasir kebudayaan luar yang berpembawaan destruktif bagi tumbuh kembang mental dan emosi anak, termasuk kecerdasan sosial. Sehingga anak-anak menjadi makhluk soliter (penyendiri); berkaum dengan diri sendiri dan menghabiskan hari-harinya di dalam kamar, sehingga minim interaksi dengan anggota keluarga lainnya. Malah, mereka berinteraksi dengan kaum-kaum jauh lintas nasional. Dalam permainan-permainan ini, nilai-nilai ekstremitas tak sedikit hadir dalam kemasan-kemasan tak terduga yang mungkin belum tercerna oleh akal sehat pertumbuhan mental kanak-kanak. Kecenderungan permainan modern ini amat terkesan individual dan indoor. Berjarak dengan alam.
Demikian disampaikan budayawan Riau, Prof Yusmar Yusuf. Ia juga menjelaskan bagaimana kekuatan positif dalam permainan tradisi dibandingkan permainan modern. "Semua permainan tradisi sangat dekat dengan alam. Bahannya dari kayu, seperti gasing, patuk lele, congkak, bakiak dan masih banyak lainnya. Mainnya di luar rumah, melibatkan banyak orang. Begitulah permainan yang berkaum. Sedangkan permainan modern cenderung individual, di dalam kamar atau di ruang tertentu. Kalau senyum, ya senyum sendiri. Ini berbahaya," katanya.
Kelebihan permainan tradisi, beber Yusmar, mampu membentuk dan membangun imajinasi kanak-kanak dalam takungan nilai serba lokalitas untuk bertarung dalam pergaulanan dunia yang luas. Karena dalam nilai lokal itu sendiri terkandung kesemestaan 'daya hidup' yang berpembawaan universal. Permainan tradisi juga merupakan bagian dari persemaian dan cara 'bertanam tradisi' kepada tunas bangsa, sehingga dia menjadi makhluk yang tak sama dengan makhluk yang dibesarkan oleh ruang-ruang yang berbeda. Atas perbedaan itu pula, tugas lanjutannya adalah kemampuan manusia untuk mejahit ragam 'perbedaan' lokalitas itu setelah menjadi sebuah simponi kesemestaan dunia yang asembel.