“Demi Lestari Codet di Bumi”

Kisah upaya pelestarian gajah sumatera, secara gigih, meskipun menghadapi tantangan yang tak sedikit. Perlu dukungan semua pihak, Pertamina ambil bagian dalam peran besar itu.

Laporan: Zulfadhli

- Advertisement -

Gajah betina itu tak berdaya. Tenaganya habis, tiada kuat lagi menopang tubuh bongsornya untuk bergerak. Hanya ada tarikan lemah menghela napas, naik turun. Batas hidup dan mati berderap di secebis dinding nan tipis. Sebuah pembusukan menyelinap di bagian dada, yang sepertinya sudah diidap lama menunjukkan kondisi yang kian mengkhawatirkan.

Penampakan itu terjadi pada satu hari yang tenang, dimana sekelompok anak-anak muda pencinta alam melakukan aktifitas susur sungai di alur kecil yang merupakan bagian dari anak sungai Mandau. Mereka terserobok dengan sang gajah malang,

- Advertisement -

Tatapan mata Zulhusni Syukri, salah seorang peserta bagai terpaku melihat sosok hewan raksasa nan perasa tersebut. Kalimat prihatin, terlontar dari teman-temannya sesama rombongan.

"Itulah pertemuan saya melihat langsung gajah," tutur Zulhusni, pekan lalu. Anak-anak muda yang gabung dalam Himpunan Pengiat Alam (Hipam) itu bergerak mendekat. Bagai tak terusik gajah nihil respon. Penasaran, Husni mencari tau ke warga di sekitar.

"Ternyata gajah sering di lokasi tersebut, dalam jangka waktu lama. Masyarakat tidak berani mengambil tindakan," tutur Husni, panggilannya. Mereka memantau kondisi gajah, dari diskusi bersama para pencinta alam, diketahui urusan penanganan Mamalia Bongsor melibatkan Balai Besar Konversasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.

"Kami laporkan, ditangapi, terus gajah itu diobati tapi mati. Ada pembusukan di bagian payudara dan sudah sampai ke hati juga.." cetus Husni.

Hipam, komunitas yang digeluti Husni kala itu merupakan kelompok pemuda dari Duri, Bengkalis yang punya hobi mendaki gunung.

"Saking seringnya mandaki dan berkumpul di atas gunung, mereka buat satu komunitas yang giat melestarikan lingkungan," begitu post Nurul Fitria (jikalahari.or.id) mengisahkan tentang awal terbentuknya Hipam pada 2006. Komunitas ini lanjutnya semacam mahasiswa pecinta alam yang ada di kampus. Bedanya, mereka berasal dari beragam profesi. Mulai mahasiswa, guru hingga polisi.
tambahDirektur Rimba Satwa Foundation Zulhusni Syukri

Pada 2009, pengurus Hipam memperhatikan keadaan gajah di Kabupaten Bengkalis. Terutama di hutan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja yang jadi jalur perlintasan hewan mamalia ini.

Pasca mendapati gajah sakit, pengurus Hipam menghubungi pegawai BBKSDA Riau. Tim dari BBKSDA turun. Mereka memeriksa kondisi gajah. Hasilnya, gajah diketahui terkena kanker payudara. Inilah yang diceritakan Zulhusni.

Rentetan peristiwa itu bukannya memadamkan justru kian memupuk kadar cinta pria kelahiran Payakumbuh, 1983 tersebut dan kawan-kawan tentang alam. Tidak lagi sekedar menjelajah, camping, masuk hutan keluar hutan, turun-naik gunung sekedar menyalurkan hobi. Mereka belajar mengenai satwa, berkomunikasi dengan banyak pihak tentang konservasi, mengali informasi lebih dalam dengan WWF dan lain-lain. Ternyata gajah itu cetus Husni, merupakan hewan yang penting untuk diselamatkan karena populasi yang kian berkurang dan habitat menipis.

Hipam bergerak secara swadaya menjalankan kegiatan yang diistilahkan Zulhusni dengan tek-tekan (iuran-red) melibatkan 72 orang didalamnya. Hipam membentuk divisi Konservasi dan mulai berkegiatan patroli dan monitoring ke lapangan. Mereka juga melakukan pendekatan ke masyarakat,, memberikan informasi dalam rangka meminimalisir perang’ terhadap gajah.

Tak Putus Dirundung Konflik
Kala itu, masyarakat petani, pekebun lazim memandang hitam-putih dalam menangani konflik gajah. Akibatnya tak jarang ada yang menempuh cara barbar agar lahannya aman dari gangguan gajah dengan memasang jerat, memberikan racun pada buah Semangka atau Nenas yang menjadi favorit gajah. Caranya simpel, bagian dalam buah dikerok dan dimasukkan racun.

"Disatu sisi memang gajah merusak tanaman, bisa dibayangkan kenapa warga marah. Misalnya ada satu hektar tanaman ketika masuk kawanan gajah, itu bisa habis separuhnya dirusak. Sementara warga sudah mengeluarkan biaya, tenaga untuk merawat kebun dan dalam satu malam hancur," kata Husni.

Dilematis memang. Tak heran jika sebelum 2016, kasus konflik gajah di Duri sebut Husni, bisa dibilang terjadi setiap hari. Bahkan ada kejadian saking jengkelnya dengan gajah, warga turut mengumpatkan kekesalan pada personil yang di lapangan.

"Bawa tuh gajah kalian keluar, merusak kebun saja."

"Ambil gajah kalian dari kebun kami..".

Sebagai pengelana tangguh, gajah dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya ngeloyor dari satu tempat ke tempat lain, namun dengan jalur relatif sama mencari sumber makanan dan imbasnya kebun warga.

Menurut Husni dalam rentang 2010-2015 angka gajah yang mati cukup tinggi dipicu sejumlah kasus seperti ada penembakan gajah di Giam Siak Kecil, kena setrum, kena racun bahkan ada seekor gajah yang sudah dipasangi GPS Collar mati kena racun,

Ada pula gajah yang pincang karena salah satu kakiya luka dan membusuk. Deretan cerita buram yang dialami gajah, diperburuk lagi dengan perburuan gading,  setidaknya ada dua kasus yang menonjol yakni pada 2015 dan 2019.

Perburuan gading gajah menjadi faktor yang paling ekstrim mempercepat kepunahan hewan herbivora tersebut.

"Gajah sumatera yang bergading itu jantannya, kalau jantan terus diburu habis udah, bagaiman mau reproduksi," suara Husni terdengar lirih. Persoalan yang dihadapi gajah sebagai mahluk hidup yang sama ruang dengan makhluk lainnya terutama manusia, kian kompleks.

Disebabkan adanya pembangunan infrastruktur jalan, pemukiman. Hamparan jelajah gajah makin sempit, ketersediaan pakan berkurang, sumber air mengering dengan adanya pembangunan kanal dan lain-lain. Hutan alam menipis, sementara konflik gajah versus manusia terutama pemilik tanaman sawit yang menjadi primadona gajah terus mengurita.

"Yah, akhirnya gajah kian tersudutkan.." ucap Husni. Husni menyebutkan tantangan gajah untuk bertahan hidup mungkin sama berat dengan bobot tubuh hewan itu sendiri. Informasi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia terangnya dalam rentang waktu 20 tahun lebih dari 50 persen populasi sang Belalai Panjang lenyap.

Organisasi Perlindungan Satwa, WWF-Indonesia dalam siaran persnya, 10 Maret 2013, melansir data lebih dari 100 Gajah Sumatera (Elephas Maximus) mati di Riau sejak 2004. Pada 2012 saja terdapat 15 ekor gajah mati. Angka kematian terus terjadi, Konflik terjadi karena perburuan, konflik akibat kerusakan perkebunan warga dan sakit atau mati alami.

Dari Hipam ke RSF
Keprihatinan melihat kenyataan makin menurunnya populasi gajah khususnya di kantong Balai Raja, Bengkalis terus disuarakan Hipam.

Agar lebih fokus pada penyelamatan satwa, pada 2016 tiga inisiator yakni Zulhusni Syukri, Solfarina dan Ade Kurniawan sebulat tekad membentuk Yayasan Rimba Satwa, lebih dikenal dengan Rimba Satwa Foundation (RSF).

Konsen yang sama mensolidkan trio warriors ini, meskipun dari latar belakang yang berbeda. Solfarina seorang guru di Duri, Ade Kurniawan bekerja di salah sau perusahaan dan Zulhusni sendiri pemilik jasa audio/sound system mobil.

Mereka mengebrak, layaknya Kham, dalam film Tom Yum Goong 2, seorang ahli bela diri yang bertarung memberantas mafia demi menyelamatkan gajah kesayangannya. Bedanya tentu saja tidak ada aksi jumpalitan seperti tokoh yang diperankan actor,Tony Jaa tersebut.

RSF membuat gebrakan dengan rencana komprehensif, dimana untuk tahap awal lebih banyak pada penguatan kapasitas personil. Ini penting dilakukan mengingat kata Husni mereka bukan orang yang punya basis konservasi atau dengan disiplin ilmu terkait kehutanan dan sejenisnya.

RSF lahir dari fisosofi yang sederhana, dengan dasar kecintaan terhadap hewan. Dengan misi yakni pelestarian habitat satwa (gajah) dari ancaman yang ada, Misi berikutnya membuat tim yang ditugaskan untuk melakukan patroli di kawasan habitat satwa liar untuk menghilangkan jerat, racun dan memastikan satwa dalam kondisi aman. Menyatakan perang melawan perburuan dan perdagangan satwa liar illegal serta mendidik generasi penerus, melestarikan hutan sebagai habitat satwa liar dan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk pelestarian alam yang seimbang dengan pembangunan.

Mitigasi, Penangkal Konflik
Zulhusni, sang direktur RSF, menguraikan, dari pengalaman yang ada diketahui solusi penting mencegah terjadi konflik perlu mitigasi yang memudahkan pemantauan keberadaan kelompok gajah. Perangkat penunjang deteksi dini itu bernama GPS Collar.

Saat itu penghujung 2020, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang punya konsen terkait lingkungan, melibatkan Perkumpulan Gajah Indonesia (PGI) dan RSF dalam upaya menyelamatkan gajah melalui pemantauan populasi dan pembinaan habitat gajah.

Data RSF, seperti dilansir Zulhusni, hingga Oktober 2020 ada tiga unit GPS Collar telah terpasang pada gajah,, dua di Balai Raja dan satu di Giam Siak Kecil (GSK).

Kisah upaya pelestarian gajah sumatera, secara gigih, meskipun menghadapi tantangan yang tak sedikit. Perlu dukungan semua pihak, Pertamina ambil bagian dalam peran besar itu.

Laporan: Zulfadhli

Gajah betina itu tak berdaya. Tenaganya habis, tiada kuat lagi menopang tubuh bongsornya untuk bergerak. Hanya ada tarikan lemah menghela napas, naik turun. Batas hidup dan mati berderap di secebis dinding nan tipis. Sebuah pembusukan menyelinap di bagian dada, yang sepertinya sudah diidap lama menunjukkan kondisi yang kian mengkhawatirkan.

Penampakan itu terjadi pada satu hari yang tenang, dimana sekelompok anak-anak muda pencinta alam melakukan aktifitas susur sungai di alur kecil yang merupakan bagian dari anak sungai Mandau. Mereka terserobok dengan sang gajah malang,

Tatapan mata Zulhusni Syukri, salah seorang peserta bagai terpaku melihat sosok hewan raksasa nan perasa tersebut. Kalimat prihatin, terlontar dari teman-temannya sesama rombongan.

"Itulah pertemuan saya melihat langsung gajah," tutur Zulhusni, pekan lalu. Anak-anak muda yang gabung dalam Himpunan Pengiat Alam (Hipam) itu bergerak mendekat. Bagai tak terusik gajah nihil respon. Penasaran, Husni mencari tau ke warga di sekitar.

"Ternyata gajah sering di lokasi tersebut, dalam jangka waktu lama. Masyarakat tidak berani mengambil tindakan," tutur Husni, panggilannya. Mereka memantau kondisi gajah, dari diskusi bersama para pencinta alam, diketahui urusan penanganan Mamalia Bongsor melibatkan Balai Besar Konversasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.

"Kami laporkan, ditangapi, terus gajah itu diobati tapi mati. Ada pembusukan di bagian payudara dan sudah sampai ke hati juga.." cetus Husni.

Hipam, komunitas yang digeluti Husni kala itu merupakan kelompok pemuda dari Duri, Bengkalis yang punya hobi mendaki gunung.

"Saking seringnya mandaki dan berkumpul di atas gunung, mereka buat satu komunitas yang giat melestarikan lingkungan," begitu post Nurul Fitria (jikalahari.or.id) mengisahkan tentang awal terbentuknya Hipam pada 2006. Komunitas ini lanjutnya semacam mahasiswa pecinta alam yang ada di kampus. Bedanya, mereka berasal dari beragam profesi. Mulai mahasiswa, guru hingga polisi.
tambahDirektur Rimba Satwa Foundation Zulhusni Syukri

Pada 2009, pengurus Hipam memperhatikan keadaan gajah di Kabupaten Bengkalis. Terutama di hutan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja yang jadi jalur perlintasan hewan mamalia ini.

Pasca mendapati gajah sakit, pengurus Hipam menghubungi pegawai BBKSDA Riau. Tim dari BBKSDA turun. Mereka memeriksa kondisi gajah. Hasilnya, gajah diketahui terkena kanker payudara. Inilah yang diceritakan Zulhusni.

Rentetan peristiwa itu bukannya memadamkan justru kian memupuk kadar cinta pria kelahiran Payakumbuh, 1983 tersebut dan kawan-kawan tentang alam. Tidak lagi sekedar menjelajah, camping, masuk hutan keluar hutan, turun-naik gunung sekedar menyalurkan hobi. Mereka belajar mengenai satwa, berkomunikasi dengan banyak pihak tentang konservasi, mengali informasi lebih dalam dengan WWF dan lain-lain. Ternyata gajah itu cetus Husni, merupakan hewan yang penting untuk diselamatkan karena populasi yang kian berkurang dan habitat menipis.

Hipam bergerak secara swadaya menjalankan kegiatan yang diistilahkan Zulhusni dengan tek-tekan (iuran-red) melibatkan 72 orang didalamnya. Hipam membentuk divisi Konservasi dan mulai berkegiatan patroli dan monitoring ke lapangan. Mereka juga melakukan pendekatan ke masyarakat,, memberikan informasi dalam rangka meminimalisir perang’ terhadap gajah.

Tak Putus Dirundung Konflik
Kala itu, masyarakat petani, pekebun lazim memandang hitam-putih dalam menangani konflik gajah. Akibatnya tak jarang ada yang menempuh cara barbar agar lahannya aman dari gangguan gajah dengan memasang jerat, memberikan racun pada buah Semangka atau Nenas yang menjadi favorit gajah. Caranya simpel, bagian dalam buah dikerok dan dimasukkan racun.

"Disatu sisi memang gajah merusak tanaman, bisa dibayangkan kenapa warga marah. Misalnya ada satu hektar tanaman ketika masuk kawanan gajah, itu bisa habis separuhnya dirusak. Sementara warga sudah mengeluarkan biaya, tenaga untuk merawat kebun dan dalam satu malam hancur," kata Husni.

Dilematis memang. Tak heran jika sebelum 2016, kasus konflik gajah di Duri sebut Husni, bisa dibilang terjadi setiap hari. Bahkan ada kejadian saking jengkelnya dengan gajah, warga turut mengumpatkan kekesalan pada personil yang di lapangan.

"Bawa tuh gajah kalian keluar, merusak kebun saja."

"Ambil gajah kalian dari kebun kami..".

Sebagai pengelana tangguh, gajah dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya ngeloyor dari satu tempat ke tempat lain, namun dengan jalur relatif sama mencari sumber makanan dan imbasnya kebun warga.

Menurut Husni dalam rentang 2010-2015 angka gajah yang mati cukup tinggi dipicu sejumlah kasus seperti ada penembakan gajah di Giam Siak Kecil, kena setrum, kena racun bahkan ada seekor gajah yang sudah dipasangi GPS Collar mati kena racun,

Ada pula gajah yang pincang karena salah satu kakiya luka dan membusuk. Deretan cerita buram yang dialami gajah, diperburuk lagi dengan perburuan gading,  setidaknya ada dua kasus yang menonjol yakni pada 2015 dan 2019.

Perburuan gading gajah menjadi faktor yang paling ekstrim mempercepat kepunahan hewan herbivora tersebut.

"Gajah sumatera yang bergading itu jantannya, kalau jantan terus diburu habis udah, bagaiman mau reproduksi," suara Husni terdengar lirih. Persoalan yang dihadapi gajah sebagai mahluk hidup yang sama ruang dengan makhluk lainnya terutama manusia, kian kompleks.

Disebabkan adanya pembangunan infrastruktur jalan, pemukiman. Hamparan jelajah gajah makin sempit, ketersediaan pakan berkurang, sumber air mengering dengan adanya pembangunan kanal dan lain-lain. Hutan alam menipis, sementara konflik gajah versus manusia terutama pemilik tanaman sawit yang menjadi primadona gajah terus mengurita.

"Yah, akhirnya gajah kian tersudutkan.." ucap Husni. Husni menyebutkan tantangan gajah untuk bertahan hidup mungkin sama berat dengan bobot tubuh hewan itu sendiri. Informasi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia terangnya dalam rentang waktu 20 tahun lebih dari 50 persen populasi sang Belalai Panjang lenyap.

Organisasi Perlindungan Satwa, WWF-Indonesia dalam siaran persnya, 10 Maret 2013, melansir data lebih dari 100 Gajah Sumatera (Elephas Maximus) mati di Riau sejak 2004. Pada 2012 saja terdapat 15 ekor gajah mati. Angka kematian terus terjadi, Konflik terjadi karena perburuan, konflik akibat kerusakan perkebunan warga dan sakit atau mati alami.

Dari Hipam ke RSF
Keprihatinan melihat kenyataan makin menurunnya populasi gajah khususnya di kantong Balai Raja, Bengkalis terus disuarakan Hipam.

Agar lebih fokus pada penyelamatan satwa, pada 2016 tiga inisiator yakni Zulhusni Syukri, Solfarina dan Ade Kurniawan sebulat tekad membentuk Yayasan Rimba Satwa, lebih dikenal dengan Rimba Satwa Foundation (RSF).

Konsen yang sama mensolidkan trio warriors ini, meskipun dari latar belakang yang berbeda. Solfarina seorang guru di Duri, Ade Kurniawan bekerja di salah sau perusahaan dan Zulhusni sendiri pemilik jasa audio/sound system mobil.

Mereka mengebrak, layaknya Kham, dalam film Tom Yum Goong 2, seorang ahli bela diri yang bertarung memberantas mafia demi menyelamatkan gajah kesayangannya. Bedanya tentu saja tidak ada aksi jumpalitan seperti tokoh yang diperankan actor,Tony Jaa tersebut.

RSF membuat gebrakan dengan rencana komprehensif, dimana untuk tahap awal lebih banyak pada penguatan kapasitas personil. Ini penting dilakukan mengingat kata Husni mereka bukan orang yang punya basis konservasi atau dengan disiplin ilmu terkait kehutanan dan sejenisnya.

RSF lahir dari fisosofi yang sederhana, dengan dasar kecintaan terhadap hewan. Dengan misi yakni pelestarian habitat satwa (gajah) dari ancaman yang ada, Misi berikutnya membuat tim yang ditugaskan untuk melakukan patroli di kawasan habitat satwa liar untuk menghilangkan jerat, racun dan memastikan satwa dalam kondisi aman. Menyatakan perang melawan perburuan dan perdagangan satwa liar illegal serta mendidik generasi penerus, melestarikan hutan sebagai habitat satwa liar dan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk pelestarian alam yang seimbang dengan pembangunan.

Mitigasi, Penangkal Konflik
Zulhusni, sang direktur RSF, menguraikan, dari pengalaman yang ada diketahui solusi penting mencegah terjadi konflik perlu mitigasi yang memudahkan pemantauan keberadaan kelompok gajah. Perangkat penunjang deteksi dini itu bernama GPS Collar.

Saat itu penghujung 2020, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang punya konsen terkait lingkungan, melibatkan Perkumpulan Gajah Indonesia (PGI) dan RSF dalam upaya menyelamatkan gajah melalui pemantauan populasi dan pembinaan habitat gajah.

Data RSF, seperti dilansir Zulhusni, hingga Oktober 2020 ada tiga unit GPS Collar telah terpasang pada gajah,, dua di Balai Raja dan satu di Giam Siak Kecil (GSK).

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya