Suri menceritakan pernah menangis waktu pertama kali bekerja. Ia tak bisa mencangkul. Namun, karena tuntutan hidup, seiring berjalannya waktu, kebiasaan menjadikannya terlatih. Bahkan kini pun telah bisa mencetak batu bata.
Laporan SOFIAH, PEKANBARU
“Waktu itu aku nangis. Terus dibilang kakak sama abang, macem orang bongak lah kau. Gitu aja pun nggak bisa,” katanya sambil mengulang kalimat saudara kandungnya saat itu.
Saat ditemui di tempatnya bekerja, Suri dan kakaknya mencangkul tanah liat. Sementara, kakak iparnya mencetak bata dan abang kandungnya menata bata ke tungku.
Bedeng batu bata itu telah ada sejak 20 tahun lalu. Dengan pemilik bernama Bustami (50) asal Pariaman, Sumatera Barat. “Ceritanya dulu coba-coba. Karena ada rezeki akhirnya lanjut sampai sekarang. Pertama kali harga satu batu bata Rp19. Sekarang Rp230 di kota. Luar kota beda harga,” katanya.
Rumahnya tak jauh dari bedeng miliknya. Letaknya berada di sebelah kanan, depan.
Pria paruh baya berkumis itu mengisahkan, proses bisa menjadi batu bata normalnya dua pekan. Namun, jika musim penghujan bisa satu bulan.
“Saya memiliki tiga tungku. Per tungku bisa menghasilkan bermacam-macam mulai dari 30 ribu batu bata, sampai 50 ribu batu bata,” tuturnya.
Bahan lain untuk bisa menjadikan bata keras yaitu kayu. Bustami menggunakan kayu karet untuk memasak bata di tungku.
“Kayu karet dari Bangkinang. Dua mobil untuk sekali bakar satu tungku. Enam mobil.
Harga kayu satu mobil Rp1,5 juta,” terangnya.
Saat ditanya pemesan dari mana saja? Bustami sebut dari luar kota di Sungai Pagar dan Siak. Banyak terima untuk proyek dan rumah. Sekali antar enam ribu batu bata.(ade)