Wabah Covid-19 telah mengubah dan mendisrupsi banyak aspek kehidupan kita, termasuk ekonomi, kesehatan, politik, sosial budaya, keagamaan, dan pendidikan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, Corona telah memaksa jutaan sekolah tutup secara fisik. Data UNESCO (2020) melaporkan bahwa 91,3% atau sekitar 1,5 milyar siswa di dunia tidak bisa masuk sekolah seperti biasa akibat dampak Covid. Mereka harus belajar dari rumah melalui berbagai media yang ada. Mereka ini termasuk sekitar 60 juta siswa dan 4 juta guru di 565 ribu sekolah di Indonesia yang mengalami nasib yang sama.
Sejak pandemi Covid, pembelajaran daring tidak lagi menjadi pilihan. Daring menjadi kewajiban yang tak terelakkan. Dia menjadi pilihan satu-satunya untuk memastikan pembelajaran berjalan. SKB 4 Menteri terakhir menegaskan bahwa pembelajaran daring di mayoritas wilayah Indonesian bakal diperpanjang sampai akhir tahun. Hal ini tentu menambah tantangan baru bagi setiap pelaku pendidikan di Indonesia. Kewajiban belajar daring ini telah menambah kompleksnya permasalahan pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah kompleks.
Diantara masalah pembelajaran daring di Indonesia adalah besarnya gap akses masyarakat terhadap ketersediaan layanan internet di Indonesia (digital divide). Masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa cukup beruntung karena relatif meratanya infrastruktur internet, tetapi semakin ke luar Jawa, apalagi Indonesia bagian timur, akses internet semakin memprihatinkan (Statistik Indonesia, 2018). Ada lebih 40 ribu sekolah di Indonesia bahkan berada di wilayah blankspot, wilayah yang sama sekali belum ada jaringan seluler.
Selain masalah infrastruktur jaringan internet yang belum merata di Indonesia, masalah pembelajaran daring di Indonesia juga terkait dengan gap kompetensi (competency divide) di kalangan guru. Cukup banyak guru dan bahkan dosen yang belum sepenuhnya siap untuk melakukan pembelajaran daring ini. Data dari beberapa penelitian semisal studi Widodo & Riandi (2013 sebagaimana dikutip dalam Koh et al, 2018) menunjukkan bahwa kemampuan guru terkait penguasaan ICT sangat jomplang antar satu wilayah di Indonesia. Survey dari Kemendikbud (2020) juga mengungkap bahwa lebih 76% guru mengaku lemah dari sisi penguasaan teknologi digital untuk pembelajaran.
Karena ketidaksiapan ini, di awal-awal Covid tak sedikit guru yang secara sederhana melakukan pembelajaran daring dengan memberikan tugas yang bertumpuk kepada siswa. Survey dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 menunjukkan bahwa mayoritas guru lebih banyak melakukan pembelajaran daring dengan memberikan penugasan kepada siiswa melalaui beberapa platform seperti whatsapp di awal-awal kewajiban belajar daring. Survey KPASI juga melaporkan bahwa 58,8% guru yang disurvey mengaku bahwa mereka memberikan tugas yang sama untuk semua siswa tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan personal siswa.
Memperhatikan beberapa fenomena di atas, menjadi sangat penting dan relevan bagi guru dan dosen untuk membekali diri mereka dengan teori dan prinsip pembelajaran daring sebelum melaksanakannya. Guru dan dosen wajib terus belajar menningkat pemahaman dan kompetensi mereka terkait pembelajaran daring ini dengan segala variannya.
3 M (Media, Metode, dan Materi)
Pada beberapa webinar terkait pembelajaran daring selama pandemic yang saya isi, saya hampir selalu mengingatkan pentingnya guru/dosen saat ini fokus menguasai 3 M di atas. Agar pembelajaran bisa berjalan dengan relatif baik. Bukan 3 milyar, tapi media, metode, dan materi.
Media adalah terkait dengan platform apa saja yang bisa digunakan guru untuk memastikan pembelajaran daring bisa berjalan. Sudah sangat banyak webinar yang membahas ini. Baik yang dilakukan pemerintah, maupun beberapa lembaga swasta, dalam maupun luar negeri.
Saya menduga guru dan dosen kita saat ini sudah semakin kaya dengan berbagai alternatif media atau platform yang bisa digunakan. Baik yang sederhana, maupun platform yang lebih canggih. Misalnya, what'sapp, blog, zoom, webex, google meet, messengger, instagram live, youtube live, g suite, moodle, edmudo, dan banyak lagi yang lain. Beberapa sekolah bahkan mungkin sudah memiliki dan membangun sistem e-learning sendiri. That's good!
Setelah mengenal berbagai alternatif platform atau media pembelajaran online, yang tidak kalah penting untuk dipelajari para guru/dosen dalam pelaksanaan pembelajaran daring adalah terkait M berikutnya, metode. Ini terkait bagaimana guru/dosen men-deliver konten secara efektif. Bagaimana guru/dosen bisa menyusun strategi pembelajaran (instructional strategies) daring yang notabene berbeda dengan pembelajaran luring ini secara efektif.
Penting diingat bahwa berbagai macam platform itu, mulai dari yang sederhana seperti whatsapp sampai beberapa LMS yang agak kompleks seperti Moodle dan G Suite itu hanyalah media atau alat untuk memfasilitasi pembelajaran. Bukan penentu keberhasilan. Sementara kualitas hasil pembelajaran tetap ditentukan oleh bagaimana guru men-deliver materi pembelajarannya. Tidak ada hubungan langsung antara kualitas hasil pembelajaran dengan keren tidaknya platform yang digunakan.
Ke depan, setelah mengenal berbagai macam media pembelajaran daring, berbagai webinar atau pelatihan yang diadakan perlu memperbanyak pembahasan 'bagaimana', tak lagi sekedar 'apa'. Guru dan dosen mesti memperkaya diri dengan berbagai ide kreatif tentang bagaimana membelajarkan siswa secara efektif dengan bertumpu pada jaringan internet dan komunikasi maya.
Terkait desain pembelajara daring, penting bagi guru untuk memastikan adanya interaksi, ada umpan balik, ada komunikasi yang terencana antar siswa dengan guru atau antara satu siswa dengan siswa yang lain selama masa pandemi. Dengan interkasi dan komunikasi yang efektif diharapkan tumbuhnya sense of community diantara siswa dan guru. Guru juga perlu mendesain aktivitas pembelajaran yang variatif. Tidak hanya bertumpu pada video konferensi yang sinkronous, tetapi juga platform belajar dengan moda asinkronous. Guru juga perlu mempertimbangkan pemakaian teknologi yang hightech atau lowtech yang nanti akan berakibat pada pemakaian data siswa.
Pada saat yang sama, guru tentu perlu memperkaya M berikutnya, materi atau resources (materi ajar). Guru juga harus bergerak dan mengakselerasi kemampuannya untuk mencari atau bahkan membuat materi ajar digital. Setidaknya pandai mendigitalisasi materi yang sebelumnya manual. Pelatihan pembuatan konten digital menjadi juga penting dilakukan. Guru atau dosen perlu membekali diri mereka dengan skill video editing, misalnya. Termasuk bagaimana menyimpan dan mendesiminasi konten digital mereka melalui berbagai platform yang tak hanya bisa diakses secara terbatas oleh siswa atau mahasiswa mereka, tetapi juga oleh siswa dan mahasiswa lain.
Sampai di sini porsi webinar yang biasanya lebih banyak 'satu arah' perlu dikurangi. Kegiatan seperti pelatihan (workshop) online yang memungkinkan peserta bekerja dan berlatih perlu diperbanyak.
Mari terus bersemangat untuk belajar. Jadikan keterbatasan karena Covid sebagai peluang untuk mempelajari banyak hal. Semakin banyak yang dipelajari guru, semakin besar peluangnya untuk melaksanakan pengajaran yang lebih efektif. Tetap terus bergerak. Jika pandemi ini adalah badai, maka cara terbaik bertahan di tengah badai adalah dengan tetap bergerak ke depan. Bukan diam. Apalagi mundur. Pun, begitu dengan kita para insan pendidikan Indonesia. Terus belajar 3M di atas adalah cara kita bertahan di tengah badai pandemi.
Wallahua’lam.
Editor: Arif Oktafian