RAMADAN merupakan penamaan bagi bulan kesembilan dalam tahun Hijriah, yang artinya sangat panas. Bulan ini adalah bulan yang sangat mulia, sehingga memiliki banyak nama dan julukan, di antaranya Syahr Ash-Shiyam (bulan melaksanakan puasa), Syahr Al-Qur’an (bulan penurunan Alquran), Syahr An-Najah (bulan pelepasan dari azab neraka), Syahr at-Tilawah (bulan membaca dan memahami Alquran), Syahr Ash-Shabr (bulan melatih diri bersabar atas penderitaan yang dihadapi dalam melaksanakan tugas-tugas agama), Syahr Ar-Rahmah (bulan pelimpahan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya), dan Syahr Al-‘Id (bulan yang dirayakan hari berbuka dari padanya).
Ramadan terpilih sebagai bulan untuk melakukan ibadah besar dan mulia, yaitu puasa. Kemuliaan dan kelebihan dari ibadah puasa yang dilakukan pada Ramadan, telah menjadikan Ramadan sebagai bulan yang suasananya berbeda bila dibandingkan dengan bulan lain. Pada bulan ini, keharmonisan hidup beragama dirasa sangat kental bila dibandingkan dengan bulan lainnya.
Bentuk Keharmonisan Hidup Beragama
1. Keharmonisan dalam Kehidupan Bermasyarakat
Ramadan sebagai bulan yang mulia menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri senantiasa mengingatkan sahabat agar mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Ramadan ini. Sebelum datangnya Ramadan, hendaknya semua umat Islam memuliakan orang tua, menyayangi yang muda, menyambung silaturrahmi, menjaga lidah, mengendalikan pandangan, menyayangi anak yatim, bertaubat, dan berdoa. Semua ini telah melatih diri manusia untuk hidup dengan baik, disiplin dan harmonis.
Selain melatih diri, puasa juga memiliki sisi pendidikan sosial, apalagi dalam kewajiban puasa Ramadan, seluruh umat Islam di dunia diwajibkan berpuasa, tanpa terkecuali; baik yang kaya atau miskin, pria atau wanita, kecuali bagi mereka yang ada uzur. Di sinilah letak pendidikan sosial, mereka sama di hadapan perintah Allah, sama dalam merasakan lapar dan dahaga, dan sama dalam ketundukan terhadap perintah Allah.
Puasa juga dapat membiasakan umat untuk hidup dalam kebersamaan, bersatu, cinta keadilan dan persamaan. Begitupun juga melahirkan kasih sayang kepada orang-orang miskin, sehingga orang-orang yang mampu dan kaya merasakan apa yang diderita oleh orang-orang fakir dan miskin serta mau memberi dari rizki yang Allah anugerahkan kepadanya. Sehingga dari sinilah diharapkan timbul rasa persaudaraan dan solidaritas.
Sebagaimana dalam puasa Ramadan disunnahkan untuk memperbanyak sedekah karena sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadan. Bersedekah bukan hanya memberi uang , tetapi termasuk di dalamnya memberi pertolongan, mengajak berbuka puasa kepada fakir miskin, memberi perhatian, bahkan memberi seulas senyum pun sudah termasuk suatu sedekah.
Jika konsep memberi -secara luas- ini diterapkan secara maksimal selama Ramadan, maka akan luar biasa pengaruhnya pada pribadi kita. Sikap kikir menyingkir dan sikap ketergantungan menghilang. Dengan memberi sedekah setahap demi setahap harga diri akan meningkat. Karena, sesungguhnya ketika kita memberi, seseorang akan memperoleh. Dengan demikian, dalam konsep memberi terkandung esensi cinta-kasih.
Adanya kewajiban zakat fitrah (zakatul fitri) dalam bulan Ramadan merupakan bukti lain adanya tarbiyah ijtima’iyah (pendidikan sosial kemasyarakatan) yang dibangun dalam bulan Ramadan, yaitu zakat atau sedekah yang dihubungkan dengan Idulfitri. Pada saat itu, tiap-tiap orang Islam diwajibkan membayar zakat fitrah berupa bahan makanan yang jumlahnya telah ditentukan, baik berupa gandum, beras, atau apa saja yang menjadi bahan makanan pokok daerah setempat. Besarnya dihitung menurut jumlah keluarga, termasuk orang tua, anak-anak, laki-laki, dan perempuan.
Dan dalam berpuasa juga ditanamkan sifat tenggang rasa dan solidaritas dalam kehidupan yang memilki keragaman etnis, warna kulit dan ras. Apalagi sesama muslim yang memiliki keragaman mazhab, kelompok dan golongan yang berasal dari keragaman pemahaman dalam mengambil intisari dari ajaran Islam. Perbedaan kelompok, mazhab, dan golongan adalah merupakan hal yang lumrah. Namun yang patut kita sadari bahwa dengan adanya perbedaan tersebut kita (umat Islam) tidak boleh terpecah belah dan tetap bersatu.
Namun, hal ini hendaknya bisa dijadikan sarana untuk memupuk persaudaraan, dan membangun bangunan Islam agar lebih kokoh lagi, sehingga dengannya tidak akan terjadi saling gontok-gontokkan, mencela, menuding dan menghina karena hanya permasalahan sepele dan furuk saja.
2. Keharmonisan dalam Bentuk Akhlak Mulia
Puasa juga mendidik manusia untuk memiliki akhlak yang mulia dan terpuji, sabar dan jujur serta tegar terhadap segala ujian dan cobaan, hal ini terlihat dari arahan Rasulullah SAW, bahwa orang yang berpuasa wajib meninggalkan akhlak yang buruk. Segala tingkah lakunya harus bercermin pada budi yang luhur. Ia wajib menjaga diri, jangan sampai melakukan ghibah (mempergunjingkan diri orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang tiada berguna, sehingga Allah berkenan menerima puasanya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. yang artinya: "Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: "Aku ini sungguh sedang puasa". Dalam hadits lain disebutkan yang artinya: "Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka" (HR Bukhari dan Abu Dawud).
3. Keharmonisan dalam Pengendalian Nafsu
Puasa bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus belaka, namun lebih dari itu adalah menahan hawa nafsu dan jiwa yang kotor agar tidak terjerumus pada melakukan perbuatan dan mengeluarkan ucapan yang dapat mengurangi dan menghilangkan pahala dan nilai puasa. Dan tentunya itu semua memerlukan jihad (usaha yang sungguh) menahan hawa nafsu sehingga tidak terkendali dan pada akhirnya terjerumus pada perbuatan yang dapat menghapus atau mengurangi nilai puasa.
Puasa Ramadan diwajibkan Allah SWT adalah untuk mendidik manusia agar mampu dapat mengendalikan hawa nafsu, entah nafsu makan, minum, serakah, seks, dan lain-lainnya. Untuk itulah bagi siapa yang mampu menahan serangan nafsu-nafsu itu berarti ia telah mampu menjalani puasa dengan baik dan pasti memperoleh derajat yang baik disisi Allah.
Sebaliknya bagi yang gagal menahan hawa nafsu maka sangsinya amat berat sekali. Pernah di zaman Rasulullah SAW terjadi, ada seorang sahabat Rasul tergesa-gesa mendatangi Rasul dengan wajah penuh penyesalan karena dia tidak mampu menahan keinginan seksualnya sampai akhirnya terjadi peristiwa yang amat dikhawatirkan itu.
Maka setelah diceritakan peristiwa secara panjang lebar, Rasul memberikan sanksi kepadanya. Ditawarkan untuk sanksi pertama, agar si pelanggar tersebut menebusnya dengan berpuasa berturut-turut, kemudian ia menyatakan ketidak sanggupannya dengan alasan kalau yang sedikit hari saja tidak mampu apalagi sampai dua bulan. Selanjutnya Rasul menyajikan sanksi yang kedua, agar si pelanggar membebaskan budak. Dengan nada lemas dia katakan kepada Rasul, bagaimana saya mampu untuk membebaskan seorang budak yang sangat mahal ditebusnya sedangkan saya miskin.
Berikutnya Rasul memberikan sanksi yang ketiga agar si pelanggar melakukan atau memberikan makan kepada 60 fakir miskin, namun karena kepapaan si pelaku, dia tidak sanggup untuk menerima sanksi-sanksi berat tersebut. Lalu kemudian Rasul memberikan kepada dia segantang kurma untuk dibagikan kepada fakir miskin lain termasuk dia di dalamnya.
Melihat begitu berat sanksi terhadap pelanggaran dalam ibadah puasa hendaklah kita harus waspada menghadapinya. Dengan kata lain kita harus siap menjalani ibadah puasa dengan penuh persiapan jasmani dan rohani, melalui persiapan itu walaupun seribu nafsu menghadang kita pasti dapat mengatasinya.
Dengan begitu puasa yang diwajibkan Allah merupakan senjata ampuh untuk meredam keinginan-keinginan manusia yang tidak terpuji. Melalui ibadah puasa yang kita lakukan dengan penuh keimanan dan keikhlasan akan muncul orang-orang yang bertalwa.
Sabar menjalani perintah maupun larangan Allah SWT. Insya Allah puasa kita betul-betul menjadi benteng untuk menjaga perbuatan-perbuatan yang tercela, yang menimbulkan musibah-musibah besar di dalam kehiduan umat manusia dimana mereka berada.
Akibat yang ditimbulkan dari nafsu serakah akan menjadi jurang yang sangat mencolok antara si kaya dan si miskin. Bencana yang dimunculkan dari nafsu dan penyimpangan seksual akan merambat pada suatu penyakit yang amat berbahaya seperti AIDS yang amat ditakuti manusia di jagat raya ini.
Untuk itulah sebagai pembendung datangnya marabahaya yang amat mengerikan, maka kita harus menjadikan puasa sebagai jihadul akbar, atau menjadikan ibadah puasa sebagai pengekang aneka kemauan atau hawa nafsu kita yang senantiasa mengaja kepada kejahatan. Dan kita harapkan ibadah puasa yang kita jalani ini senantiasa mengucurkan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka.
Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa puasa telah membentuk keharmonisan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, kepribadian (akhlak) nya dan nafsu yang ada pada dirinya, di samping keharmonisan manusia dengan Allah SWT melalui ibadah-ibadah yang dijalankannya.***