JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Heboh tentang tagihan beasiswa terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM), Veronica Koman, ditanggapi oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Veronicamengaku ditagih pengembalian uang beasiswa senilai Rp773 juta untuk pendidikan master di Australia pada 2016.
LPDP menegaskan bahwa keputusan yang dilakukan terhadap Veronica merupakan serangkaian proses yang mesti dilakukan kepada para penerima beasiswa yang tidak memenuhi kontrak dan kewajiban kembali ke Indonesia.
"Setelah menjadi alumni, VKL (Veronica Koman Liau, red) tidak memenuhi kewajibannya kembali dan berkarya di Indonesia," bunyi pernyataan LPDP dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/8/2020).
Veronica, dalam data yang diperoleh LPDP, lulus pada Juli 2019 dan baru melaporkan kelulusan pada aplikasi sistem monitoring dan evaluasi LPDP pada tanggal 23 September 2019.
"Namun belum disampaikan secara lengkap," lanjut pernyataan tersebut.
Selanjutnya, pada 24 Oktober 2019 telah diterbitkan Surat Keputusan Direktur Utama tentang Sanksi Pengembalian Dana Beasiswa LPDP sebesar Rp773.876.918. Pada tanggal 22 November 2019, telah diterbitkan Surat Penagihan Pertama Veronica Koman.
"Pada tanggal 15 Februari 2020, VKL mengajukan Metode Pengembalian Dana Beasiswa dengan cicilan 12 kali. Cicilan pertama telah disampaikan ke kas negara pada April 2020 sebesar Rp64,5 juta. Cicilan selanjutnya belum dibayarkan hingga diterbitkannya surat penagihan terakhir pada tanggal 15 Juli 2020," lanjut pernyataan tersebut.
LPDP menegaskan jika belum dipenuhi mengenai kewajiban pengembalian dana tersebut, maka penagihan selanjutnya diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
"Pengenaan sanksi terhadap penerima beasiswa LPDP yang tidak memenuhi kontrak dan tidak memenuhi kewajiban kembali dan berkontribusi di Indonesia, tidak ada kaitan dengan politik dan tidak terkait dengan pihak manapun," tutup pernyataan tersebut
Mengaku Diancam Bungkam
Sebelumnya, terkait tagihan itu, Veronica mengklaim agar dirinya berhenti berbicara dalam mengadvokasi isu-isu HAM di Papua.