JAKARTA (rIAUPOS.CO) — PEMERINTAH memastikan tunjangan hari raya (THR) bagi para PNS, TNI, Polri, dan pensiunan akan cair dalam waktu dekat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pencairan THR tersebut dilakukan sebelum tanggal 15 Mei 2020.
"Peraturan Pemerintah (PP) THR sudah dikeluarkan, sudah ditandatangani Pak Presiden. PMK (Peraturan Menteri Keuangan, red) juga akan keluar. Kami saat ini sedang menyiapkan satuan kerja untuk eksekusi THR dan diharapkan serentak paling lambat adalah pada hari Jumat ini tanggal 15," ujarnya melalui video conference di Jakarta, Senin (11/5).
Dia memerinci, pemerintah menyiapkan anggaran untuk pencairan THR senilai Rp29,38 triliun. Jumlah itu terdiri dari THR untuk ASN pada pemerintah pusat, TNI, dan Polri Rp 6,77 triliun, pensiunan Rp8,7 triliun, serta ASN pada pemerintah daerah sekitar Rp13,89 triliun. Seperti diketahui, nilai anggaran itu juga telah mengalami penghematan hingga Rp5,5 triliun. Penghematan itu dilakukan karena pemerintah sedang berhemat dan tak mengucurkan THR untuk presiden, wakil presiden, pejabat negara, hingga anggota DPR dan MPR.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, penerima THR tahun ini hanya akan diberikan kepada seluruh ASN, TNI, Polri, pensiunan, dan pegawai pelaksana setara eselon 3 ke bawah.
"Artinya pejabat eselon 1 dan 2 atau fungsional setara dengan eselon 1 dan 2 serta pejabat negara tidak mendapatkan THR," imbuh dia.
Dia berharap, pencairan THR itu dihadapkan bisa mendorong kosumsi dan daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung rampung. Seperti diketahui, selama kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi hanya 2,97 persen. Sementara, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,02 persen. Tren yang terjadi sebelumnya pun konsumsi rumah tangga bisa tumbuh di kisaran level 5 persen. Tertekannya konsumsi itu bisa menjadi lebih parah apabila kebijakan PSBB terus diperluas.
Saking tertekannya ekonomi nasional, Menkeu juga menyebut dampak Covid-19 lebih parah jika dibandingkan krisis yang terjadi pada 2008-2009 silam. Kala itu, terjadi krisis keuangan global yang disebabkan oleh subprime mortgage di AS. Ekonomi Indonesia terpukul karena dari sisi permintaan ikut tertekan perdagangan global yang runtuh saat itu.
Ani menjelaskan, kini RI harus menghadapi kenyataan hilangnya arus modal asing dari pasar keuangan dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan saat krisis tahun 2008 dan 2013. Dia memerinci, arus modal keluar dari pasar keuangan RI mencapai Rp145,28 triliun sepanjang triwulan I 2020 karena dampak Covid-19.
"Arus modal keluar tersebut jauh lebih besar dibandingkan periode krisis keuangan 2008 dan taper tantrum 2013,’’ tambahnya.
Dia memerinci, saat krisis 2008, modal asing yang keluar dari Indonesia tercatat sebesar Rp69,69 triliun. Sementara, pada taper tantrum 2013 lalu jumlah modal asing yang keluar mencapai Rp36 triliun. Taper tantrum adalah sebutan bagi ambruknya kurs sejumlah negara berkembang yang ditumbulkan karena pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve.
"Ini lebih dari dua kali lipat, magnitudenya menjadi perhatian KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang kemudian menjadi bahan dalam pembahasan kali pada pertemuan berkala,"’ jelas Ani.
Bank Indonesia (BI) pun mencatat, arus modal asing yang keluar dari Indonesia pada awal Mei 2020 mencapai Rp6,95 triliun. Jumlah itu tercatat keluar hanya dalam waktu tiga hari saja dari tanggal 4 sampai 6 Mei 2020. Ani menambahkan, pukulan terberat terjadi pada Maret lalu. Pertengahan Maret lalu, indeks volatilitas (VIX) menunjukkan tingkat kecemasan investor di pasar saham menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah.
Nilai tukar pada pekan kedua Maret tercatat melemah ke level Rp14.778 per dolar AS. Pelemahan berlanjut hingga menyentuh level terendah yakni Rp16.575 per dolar AS pada 23 Maret 2020.
"Akibatnya kinerja pasar saham di negara maju dan berkembang melemah tajam. Indeks kepercayaan konsumen dan bisnis global juga turun tajam, melebihi tingkat penurunan saat krisis keuangan global 2008," urainya.
Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengamini ucapan Menkeu. Bhima bahkan menyebut dampak ekonomi Covid-19 lebih parah dibandingkan krisis moneter 1998 silam.
"Karena 1998 dan 2008 itu memang krisis finansial, tapi UMKM cepat mengalami pemulihan karena UMKM masih bisa melakukan aktivitas ekonomi secara normal. Sementara, di 2020 ini baik sektor keuangan maupun UMKM sama-sama terdampak. Gimana mau jualan, ada PSBB juga," ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin (11/5).
Bhima menjelaskan, kedalaman krisis akibat pandemic Covid-19 memang lebih mengkhawatirkan dibanding krisis-krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Ke depan, lanjut dia, pemulihan ekonomi nasional amat ditentukan oleh dua hal yakni konsistensi kebijakan pemerintah dan besaran stimulus yang digelontorkan. Namun, akar masalah kembali muncul saat konsistensi kebijakan pemerintah menjadi longgar.
"Pandeminya belum selesai, korban positif masih meningkat, tapi PSBB sudah berencana akan dilonggarkan. Ini kontradiksi," jelasnya.
Pelonggaran PSBB di tengah pandemi yang masih berlangsung akan membuat para pelaku usaha menjalankan bisnisnya secara setengah-setengah. Masyarakat pun yang ingin beraktivitas di keramaian pun masih akan mengalami kekhawatiran terjangkit virus. Akibatnya, masyarakat lebih memilih menunda aktivitas di luar rumah.
Sementara, terkait dengan besaran stimulus disebutnya amat menjadi penentu pemulihan ekonomi. Besaran stimulus, ketepatan sasaran, dan kecepatan pemberian stimulus akan menjadi faktor penentu pemulihan ekonomi. Terkait dengan defisit yang terus melebar karena stimulus dan realokasi anggaran yang dilakukan pemerintah, Bhima menyebut bahwa pemerintah dapat mengambil beberapa alternatif solusi. Langkah berhutang ke lembaga multilateral disebutnya bukan menjadi solusi terbaik yang bisa diambil pemerintah.
Menurut Bhima, masih banyak anggaran kementerian/lembaga yang bisa dipangkas. Berdasar kalkulasi yang dilakukan, pemangkasan 20 persen belanja K/L saja bisa menghemat anggaran Rp300 triliun.
Kemudian, proyek infrastruktur dapat dialihkan kepada pemberian stimulus. "Ada Rp420 triliun yang bisa dihemat," jelasnya.
Selain itu, ada pula lembaga-lembaga yang bisa dibubarkan terlebih dahulu. Di antaranya yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) atau bahkan jabatan-jabatan staf khusus yang jumlahnya terlampau banyak. "Misalnya stafsus sampai ada 10 itu buat wakil presiden buat apa. Yang stafsus (Presiden) milennial apalagi. Kalau presiden hanya butuh teman diskusi kan hanya tinggal undang rapat via Zoom, nggak perlu menggaji miliaran per tahun," tuturnya.
Dengan pemangkasan anggaran-anggaran tersebut, Bhima yakin pemerian stimulus akan makin besar jumlahnya. Sehingga, pemerian stimulus bisa lebih besar daripada yang saat ini diberikan yakni 2,5 persen dari PDB. Sementara itu, pemerintah mulai menyiapkan skenario pemulihan ekonomi khususnya di sektor ketenagakerjaan. Mitigasi penyakit harus dijalankan bersamaan dengan mitigasi ekonomi. Agar orang yang terkena PHK tidak terus menerus bertambah. Karena akan menyulitkan perekonomian masyarakat di level mikro.
"Ini masih dalam bentuk kajian. Presiden telah menugaskan gugus tugas untuk melibatkan sejumlah pakar," terang Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo usai ratas virtual bersama Presiden Joko Widodo kemarin.
Baik pakar di bidang ekonomi, sosiologi, dan bidang lain yang terkait sehingga langkah yang akan diambil nantinya tepat.
Pegangan utamanya adalah skenario bahwa Covid-19 tidak bisa dinyatakan selesai sebelum vaksin tersedia. Maka, masyarakat harus paham berbagai risiko yang ada. Siapa saja yang berpotensi terpapar, siapa saja kelompok rentan, dan siapa yang diperkirakan mampu bertahan dalam pandemi.
Risiko terpapar Covid-19 bagi orang berusia 60 tahun ke atas mencapai 45 persen. Kemudian, orang usia 46-59 dengan penyakit komorbid memiliki risiko terpapar 40 persen. Bila kelompok rentan ini bisa dilindungi secara maksimal, maka bisa dikatakan sebagian besar warga telah terlindungi. Kelompok 45 tahun ke bawah tidak dimasukkan hitungan kelompok rentan. Karena sebagian besar dari mereka secara fisik sehat.
"Rata-rata kalau toh mereka terpapar, mereka belum tentu sakit. Mereka tidak ada gejala," lanjutnya.
Karena itu, kelompok tersebut akan diberikan ruang untuk bisa beraktivitas lebih banyak lagi. Sehingga potensi terkapar secara ekonomi karena PHK bisa dikurangi.
Masyarakat yang terdampak secara ekonomi akan kehilangan pendapatan, sehingga tidak mampu melaksanakan aktivitas konsumsi yang berkualitas. Jangan sampai masyarakat mendapatkan dua risiko, terpapar Covid-19 dan terkapar (dee/byu/lyn/ted)
Laporan: JPG (Jakarta)
>>>Selengkapnya Baca Koran Riaupos Edisi 12 Mai 2020