(RIAUPOS.CO) — Tradisi disebut sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat yang memengaruhi tingkah laku (aksi dan reaksi) kehidupan sehari-hari empunya (Coomans, 1987:73). Odok adalah tradisi rakyat, wujudnya berupa nyanyian yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut sebagai bentuk aksi dan reaksi manusia dalam kehidupan sosialnya di kawasan perladangan, semak belukar, hutan, dan sungai. Tradisi odok yang terdapat di hulu Siak -dalam kalangan orang-orang Melayu- mengandung beberapa nilai yang terpelihara di dalamnya, yakni nilai berbagi -sedikit sama dikenyam, bila banyak sama dilapah,- komunikatif (silaturahmi), tolong menolong, dan hiburan.
Ada juga unsur kompetisi dan motivasi dalam tradisi odok. Misalnya, wujud kompetisi dan motivasi itu ada pada usaha menyelesaikan pekerjaan di ladang, secepat mungkin. Namun, kedua unsur ini implisit dalam esensi utamanya atau hanya sekadar saja. Sebab, yang diutamakan dari nilai pokoknya adalah ibadah. Mereka yang dapat membantu orang lain di antara kesibukannya, dipercaya mendapat nilai pahala jauh lebih besar dibanding mereka yang membantu hanya ketika waktu lapang saja.
Awalnya, odok lebih sering terdengar pada musim berladang. Sepanjang tahun dalam masa berladang, hadir sebagai bagian penting dan tak pernah terlewatkan. Pada tahap menugal misalnya, tetangga yang mendengar odok, akan memberikan jawaban tentang kabar serupa. Bila pekerjaan menugal di ladang telah selesai, sedangkan tetangganya belum selesai, maka mereka yang sudah selesai akan membantu yang belum selesai. Begitu seterusnya, hingga semua ladang dalam satu banjar menyelesaikan tahap menugal. Pada tahap lain, odok juga berperan seperti pada tahap menugal. Hal demikian telah menjadi kebiasaan sejak dari nenek moyang mereka.
Odok berladang sudah jarang dan bahkan tidak terdengar lagi. Sejak kawasan perladangan, rimba kepungan sialang, hingga hutan simpanan di wilayah hulu Siak menjadi lahan HGU perusahaan BUMN, orang-orang Melayu tidak lagi berladang dan odok turut menghilang. Olrik (1992:62) menjelaskan bahwa tradisi lisan berpeluang bertahan, berkembang, dan punah. Kepunahan dapat disebabkan karena terlampau lama tradisi itu tidak diingat dan digunakan oleh empunya, sehingga tak pernah terdengar lagi. Walau tak pernah terdengar lagi, namun nilai kemanusiaan seperti berbagi, komunikatif, dan tolong menolong, tetap hidup dalam masyarakat di kawasan tersebut. Meski kini nilai-nilai itu tidak dihantarkan melalui odok.
Odok masih hidup dalam tradisi meramu –mencari cendawan, pandan, kayu api, dll.–dan mencari ikan. Dalam kegiatan ini, cenderung digunakan sebagai alat berkomunikasi –saling menjaga dalam kejauhan– dan hiburan untuk melawan kesunyian. Namun, sikap berbagi dan tolong menolong (piaghi) tetap melekat. Tradisi ini lazim digunakan kaum perempuan untuk melawan cengkeraman sunyi ketika berada di semak belukar, hutan, dan suak serta rawang sungai. Odok yang mendapat balasan dirasa menghilangkan rasa takut dan membangkitkan keberanian bagi pelakunya. Tradisi ini tidak lazim digunakan kaum laki-laki. Sebab, lelaki dipandang maskulin, berani menghadapi kesunyian dan bahayanya.
Ooooo dooookkk…
Ada juga cendawan tiung di musim tahun ini, dooook!
Lantunan odok Andak Simah (54) di tengah perkebunan kelapa sawit milik negara, memecah sunyi. Tentang kabar gugusan cendawan tiung yang ia temukan pada musim meramu kali ini. Namun, lantunannya tak mendapat balasan. Sunyi terlampau tangguh untuk dikalahkan. Tak banyak memang cendawan yang ia temukan, sebab cendawan tiung sulit bertumbuh di lahan perkebunan sawit. Tak seperti 30 tahun yang lalu, pada musim hujan cendawan tiung sangat banyak ditemukan tumbuh di semak belukar. Namun, dengan jumlah cendawan yang sedikit itu, ia tetap ingin berbagi pada orang-orang yang mungkin juga mencari cendawan tiung pada pagi itu.
Di suak lain, Ilong Ina (57) dan Utih Mardiah (52) berlabuh di rawang sungai yang agak jauh dari perkampungan. Dalam musim hujan, sungai-sungai pasang besar dan merawang. Pada masa ini, biasanya ikan selais dan beberapa jenis ikan lainnya menetaskan telur di semak yang terendam air pasang. Kaum perempuan membentuk rombongan mengail. Dalam satu perahu biasanya ada dua orang. Satu rombongan mengail, ada dua hingga lima perahu. Mereka berangkat mengail sebelum pagi menjelang. Setiba di rawang tujuan, mereka berpencar, tetapi tetap dalam kawasan tanjung yang sama. Antara satu perahu dengan perahu yang lain saling berkabar tentang keadaannya. Komunikasi dimaksudkan selain untuk saling menjaga dari bahaya, berbagi, juga sebagai hiburan.
Ooooo dooookkk…
Macam mana keadaan di situ, dok?
Keadaan di sini mau menangkap, dok!
Ilong Ina mulai melantunkan odok pada temannya dalam satu rombongan mengail. Kabarnya tentang hasil tangkapannya yang lumayan banyak. Maksudnya, jika ikan di suak tempat temannya mengail tidak mau menangkap umpan, datanglah ke suak tempatnya mengail. Kabar darinya dijawab Alang Inur dengan suara yang lantang dan cukup merdu. Rawang menjadi ramai dan meriah.
Oiiii, dooookkk…
Apa ikan di situ, dok?
Ben-Amos (1992:112) menjelaskan pendapatnya tentang pertunjukan seni, pada dasarnya memiliki esensi yang sama dengan percakapan, yaitu sebagai alat komunikasi menggunakan bahasa sebagai medianya. Pertunjukan odok di atas tampak sebagai bentuk percakapan. Ditampilkan sebagai alat berkomunikasi, berbagi dengan sesama, dan juga sebagai hiburan (pelipur lara). Tempat pertunjukan kesenian rakyat ini sebenarnya lebih khusus dibandingkan kesenian kontemporer. Odok sifatnya terikat ruang dan waktu. Tidak dapat dipentaskan di tengah perkampungan atau di tengah keramaian dan juga tidak boleh dilakukan pada malam hari. Ia hanya dipertunjukkan pada pentas khusus –ladang, semak belukar, hutan, dan sungai– dan waktunya dalam rentang pada pagi hingga petang.
Keterikatan odok berdampak pada perkembangannya, kini dan masa mendatang. Ketiadaan tradisi berladang dan kecenderungan anak-anak gadis Melayu yang jarang mengisi waktu luangnya untuk meramu dan mengail berpengaruh terhadap eksistensi odok. Jikalau melakukan kegiatan meramu atau mengail, mereka enggan atau mungkin malu menggunakannya. Sebab itulah, odok di masa sekarang kian jarang terdengar. Kebiasaan generasi muda dalam masa liburan, lebih cenderung rekreasi dan bersosial media tentu kian mempersulit perkembangannya. Melihat gerusan zaman semacam ini, bukan tidak mungkin tradisi odok akan benar-benar punah dari kehidupan orang Melayu di hulu Siak.***
Syaiful Anuar, Penulis dan Pengkaji Budaya Melayu