SIAK (RRIAUPOS.CO) — Serangan lalat menimbulkan keresahan warga Banjar Seminai. Tiada hari tanpa lalat yang jumlahnya tak terhitung. Situasi itu sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir.
Lalat lalat hinggap di mana saja, di makanan, di lantai, dinding, termasuk di badan.
“Kami merasa lingkungan kami ini sudah tidak sehat. Bahkan saya sampai tidak berselera makan dalam waktu yang cukup lama, atas banyaknya lalat ini,” ungkap Dedi, salah seorang warga sekaligus anggota Bapekam Banjar Seminai.
Menurutnya, upaya untuk membasmi sudah dilakukan, namun lalat tatap saja datang dan semakin hari jumlahnya semakin banyak. Jadi jangan heran jika warga jarang membuka pintu rumahnya, hal itu agar lalat tidak masuk. Pintu baru akan dibuka jika ada keperluan, seperti ada tamu atau lainnya.
Hal berbeda disampaikan pedagang bakso dan mi ayam bernama Tini. Pernah sampai pelanggannya yang datang menggunakan mobil, baru duduk dan belum sempat pesan malah beranjak pergi, setelah melihat banyaknya lalat hinggap di meja. Mereka pergi dengan alasan ada keperluan mendadak.
“Saat itu bukan main sedihnya saya. Sebab pelanggan saya berkurang dan saya yakin mereka enggak bakal mau balik lagi. Dan yang membuat saya prihatin tentu mereka menilai saya yang kurang bersih, padahal lihatlah lingkungan saya ini, kurang bersih apa lagi,” ucap Tini.
Saat ditelusuri, ternyata penyebabnya adalah karena banyaknya kandang ayam yang dibangun di sejumlah titik di dalam kebun sawit di kampung itu.
Menurut Penghulu Banjar Seminai Siti Aminah, kandang kandang ayam itu menyebar di empat dusun, Banjar Agung, Banjar Tengah, Sukajaya dan Dusun Inti Dua.
“Kami sudah beberapa kali duduk bersama Asosiasi Peternak Ayam yang diketuai Budi, namun sampai sejauh ini belum ada solusi konkret, sementara warga semakin resah,” ungkap Siti yang turun langsung ke kandang ayam.
Ada beberpa kesepakatan yang dibuat, Seperti menyemprot menggunakan disinfektan, kapur, dolomit, serbuk dan lainnya, namun belum terlaksana dengan baik. Terlebih terkait kebersihan lingkungan kandang, yang harus bebas rumput beberapa meter dari kandang, karena rumput menjadi tempat hinggap lalat.
“Saya ingin lingkungan dan warga saya sehat. Tapi sebaliknya kandang ayam itu juga banyak menyerap tenaga kerja. Makanya hal ini perlu ada solusi,” ungkap Siti.
Makanya pihak desa memberikan pelatihan cara membersihkan kandang dan mencarikan solusi berupa studi banding ke Sumatera Barat. Di sana kenapa bebas lalat, padahal peternakan dekat dari permukiman. Namun, sampai sejauh ini belum ada jawaban dari peternak.
Ditanya apakah ada kontribusi pemilik kandang ayam terhadap warga melalui desa. Siti menjawab sejauh ini belum ada kesepakatan ke arah sana. Saat ini yang paling utama adalah bagaimana kandang bersih, sehingga lalat tidak sampai ke desa dan warga menjadi sehat.
Ketua Asosiasi Peternak Ayam Banjar Seminai, Budi mengatakan dirinya sudah berusaha koordinasi dengan pemilik kandang yang ada di 18 titik, satu titik bisa sampai dua sampai lima kandang, namun sebagian masih belum melaksanakan kesepakatan untuk membersihkan kandang dan lingkungan sekitar. Padahal, itu yang membuat lalat bersarang dan menyebar ke permukiman dan berdampak pada kesehatan warga.
Saya akan koordinasikan ulang. Dan kami siap jika pihak desa melakukan pertemuan ulang jika itu menyangkut untuk kepentingan orang banyak. Sebab, warga adalah kerabat, teman, dan tetangga saya sendiri, saya ingin semua baik baik saja,” ungkapnya.
Terkait kontribusi ke desa untuk kepentingan warga memang belum ada. Usaha yang sudah digarap beberapa tahun ini menurutnya baru memberikan kontribusi berupa batu koral itupun hanya satu kali.
Disinggung, bagaimana sistem peternakan yang dilakukan pihaknya. Ternyata ada perusahaan dari Pekanbaru yang memasok bibit dan pakan, serta vaksin untuk ternak. Namun untuk disinfektan yang per 400 gram seharga Rp800 ribu mereka harus beli sendiri. Padahal disinfektan itu yang dapat mengurangi penyebaran lalat, setelah masa panen. Sementara untuk satu kandang tidka cukup hanya satu, sebab dia berbentuk butiran, cara kerjanya dilarutkan ke air lalu disemprotkan ke sekitar kandang.
Disinfektan kami beli sendiri dan relatif berat tentunya. Sedangkan ayam sistem bagi hasil, per kandang 5.000 ekor untuk satu periode. Satu titik bisa dua sampai enam kandang.
Disinggung upah, satu periode pekerja bersih mendapat Rp2-3 juta. Jumlah itu belum ditambah dari upah penjualan kotoran ayam yang biasa digunakan untuk pupuk di kebun sayur dan lainnya.(mng)