Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Puasa Ramadan dari Moralitas Syari’yah ke Moralitas Fadhilah

IBADAH sesungguhnya tidak saja berfungsi untuk semakin mendekatkan  dan memperkokoh keyakinan serta ketaatan kepada Allah SWT, juga untuk menumbuh-kembangkan  perilaku moral bagi pelakunya. Tegasnya ibadah yang diperintahkan agama selain bentuk implementasi dari habblun min al-Allah juga habblun min an-Nas.

Dalam perspektif `ilm Akhlaq, Raghib al-Isfahani, seorang filsuf Muslim abad kejayaan Islam, menyebutkan bahwa ibadah fardhu yang disebutnya dengan ahkam syari`ah merupakan ibadah-ibadah yang telah ditentukan apa adanya, bagi Muslim yang tidak melaksanakannya mendapat gelar dhalim (orang zalim) sedangkan  bagi Muslim yang melaksakannya mendapat gelar `adil (orang adil). Sementara ibadah-ibadah di luar kategori ahkam syari`ah disebutnya dengan makarim syari`ah, yakni ibadah yang sangat diharapkan untuk dilaksanakan, baik dalam bentuk pengembangan dari nilai-nilai ibadah ahkam syari`ah maupun  ibadah di luarnya. Oleh karena itu, ibadah-ibadah pada kategori makarim syari`ah ini jauh lebih luas bila dibandingkan dengan ibadah pada ahkam syari`ah. Jika pada ibadah makarim syari`ah ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka pada ibadah ahkam syari`ah justru terikat oleh ruang dan waktu.

Kecuali relasi dan fungsi ibadah makarim syari`ah seperti diungkap di atas juga ibadah kelompok ini berfungsi untuk menyempurkan, memperindah dan mengisi keterbatasan pada ibadah kelompok pertama. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa makarim syariah dibangun dan didasari pada ahkam syariah atau ibadah makarim syariah baru akan fungsional bila telah melaksanakan ibadah ahkam syari`ah dan ditujukan untuk semakin men-smart-kan ibadah dalam kehidupan sosial dalam Islam.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa ibadah-ibadah pada kategori pertama merupakan ibadah-ibadah yang telah diwajibkan oleh agama, sedangkan pada ibadah-ibadah pada kategori kedua dapat dikatakan ibadah-ibadah yang disunahkan, yang secara fungsional ia bersifat menyempurnakan kualitas ibadah pada kategori pertama. Nah, pada tataran ini, maka fungsi dari ibadah makarim syari`ah  dapat pula disebut dengan fadhilah.

Baca Juga:  Ketua MA: Jurnalis Tetap Bisa Liput Sidang, dengan Syarat

Mengingat setiap ibadah secara fungsional mampu menumbuhkembangkan  perilaku moral, maka perilaku moral yang akan dilahirkan oleh ibadah pada kategori ahkam syari`ah tentunya dapat sebut dengan perilaku moral syar`iyah, sedangkan perilaku moral yang akan lahir dari ibadah pada kategori makarim syari`ah, dapat sebut dengan  perilaku moral  fadhilah.

Jika moralitas syar’iyah lahir dari adanya tuntutan kewajiban, yakni dari ahkam Syar’iyah, sebaliknya moralitas fadhilah lahir dari proses kesadaran yang tulus atas ibadah makarim Syari’yah yang ia laksanakan. Di sinilah kemudian sebuah ibadah tidak lagi dilihat secara given, pemberian kewajiban mutlak atas dirinya, melainkan sebagai sebuah kebutuhan spritual.

Seseorang yang sudah sampai pada posisi ini, maka akan melahirkan moralitas ibadah yang tidak lagi didasarkan pada kewajiban yang datang dari luar dirinya. Para pelaku ibadah ahkam syar’iah, yang telah sampai pada makarim syar’iah, akan menjadikan ibadah ahkam syar’iah sebagai sebuah kemestian dan kebutuhan. Ia tidak akan lagi dipengaruhi oleh "janji" dan "ancaman". Karena seringkali, kita melakukan ibadah atas dorongan rasa takut akan hukuman dan siksaan Tuhan, ketimbang sebagai sebuah anugerah dan keindahan relasi antara hamba dengan Tuhannya.

Inilah yang disebut dengan perilaku moral fadhilah, yakni perilaku moral yang dilahirkan tidak lagi perilaku moral yang dipaksakan atau diwajibkan, akan tetapi perilaku moral yang lahir atas dasar kesediaan dan keniscayaan mardhatillah- insaniyah.

Meneguhkan Moralitas Fadhilah dalam Berpuasa
Sebagai sebuah Ibadah yang ditegaskan dalam arkan al-Islam, rukun Islam, ibadah puasa di bulan ramadhan jika dilihat dari pembagian ibadah sebagaiman disebutkan di atas, berada pada kategori ahkam syari`ah dan makarim syari`ah sekaligus. Sebagai ahkam syari`ah, karena puasa di bulan ramadhan merupakan ibadah yang diwajibkan, sedangkan dikategorikan makarim syari`ah, karena sasaran ideal dari ibadah puasa di bulan ramadhan adalah muttaqun, orang yang bertakwa.

Baca Juga:  Elton John Kehilangan Suara

Secara fungsional Fazrurrahman misalnya mengungkapkan bahwa taqwa  adalah melindungi diri dari sesuatu atau khawatir dan selalu menjaga diri akan tanggung jawab. Makna ini, menggiring kita pada pemahaman bahwa muttaqun, orang yang bertakwa, dalam konteks puasa di bulan ramadhan adalah mereka yang mampu melindungi dan menjaga tanggung jawab atas apa yang mereka peroleh dari moralitas syar`iyah yang telah mereka tunaikan selama satu bulan penuh di bulan Ramadan.

Proses itu, harus berlanjut di luar Ramadan. Artinya, moralitas syar’iyah yang diperoleh, harus dirawat, dijaga, bahkan diimplementasikan setelah bulan Ramadan berahir, dengan berpegang teguh pada keseimbangan dan kekokohan moral yang telah ditetapkan Allah SWT. Oleh karena itu, apapun moralitas syar’iyah yang diperoleh selama bulan Ramadan, harus menjadi manifestasi lahirnya perilaku moralitas fadhilah di luar ramadhan, sebagai bentuk eksistensi taqwa di dalam diri yang bersangkutan.

Sehingga, tidaklah heran jika kemudian ada yang berpendapat bahwa keberhasilan ibadah puasa di bulan ramadhan di ukur oleh sejauhmana ia mampu menjaga, merawat, dan menumbuhkembangkan moralitas fadhilah itu setelah ramadhan, bukan pada saat ramadhan. Tidak sedikit diantara kita, yang justru tidak mampu menjaga dan merawat moralitas ini, sehingga sebagaimana yang dikatakan Nabi, "Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ath Thobroniy). ***

Amril M
Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Pascasarjana UIN Suska Riau

IBADAH sesungguhnya tidak saja berfungsi untuk semakin mendekatkan  dan memperkokoh keyakinan serta ketaatan kepada Allah SWT, juga untuk menumbuh-kembangkan  perilaku moral bagi pelakunya. Tegasnya ibadah yang diperintahkan agama selain bentuk implementasi dari habblun min al-Allah juga habblun min an-Nas.

Dalam perspektif `ilm Akhlaq, Raghib al-Isfahani, seorang filsuf Muslim abad kejayaan Islam, menyebutkan bahwa ibadah fardhu yang disebutnya dengan ahkam syari`ah merupakan ibadah-ibadah yang telah ditentukan apa adanya, bagi Muslim yang tidak melaksanakannya mendapat gelar dhalim (orang zalim) sedangkan  bagi Muslim yang melaksakannya mendapat gelar `adil (orang adil). Sementara ibadah-ibadah di luar kategori ahkam syari`ah disebutnya dengan makarim syari`ah, yakni ibadah yang sangat diharapkan untuk dilaksanakan, baik dalam bentuk pengembangan dari nilai-nilai ibadah ahkam syari`ah maupun  ibadah di luarnya. Oleh karena itu, ibadah-ibadah pada kategori makarim syari`ah ini jauh lebih luas bila dibandingkan dengan ibadah pada ahkam syari`ah. Jika pada ibadah makarim syari`ah ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka pada ibadah ahkam syari`ah justru terikat oleh ruang dan waktu.

- Advertisement -

Kecuali relasi dan fungsi ibadah makarim syari`ah seperti diungkap di atas juga ibadah kelompok ini berfungsi untuk menyempurkan, memperindah dan mengisi keterbatasan pada ibadah kelompok pertama. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa makarim syariah dibangun dan didasari pada ahkam syariah atau ibadah makarim syariah baru akan fungsional bila telah melaksanakan ibadah ahkam syari`ah dan ditujukan untuk semakin men-smart-kan ibadah dalam kehidupan sosial dalam Islam.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa ibadah-ibadah pada kategori pertama merupakan ibadah-ibadah yang telah diwajibkan oleh agama, sedangkan pada ibadah-ibadah pada kategori kedua dapat dikatakan ibadah-ibadah yang disunahkan, yang secara fungsional ia bersifat menyempurnakan kualitas ibadah pada kategori pertama. Nah, pada tataran ini, maka fungsi dari ibadah makarim syari`ah  dapat pula disebut dengan fadhilah.

- Advertisement -
Baca Juga:  Sebagian Daerah Kampar Diguyur Hujan Singkat

Mengingat setiap ibadah secara fungsional mampu menumbuhkembangkan  perilaku moral, maka perilaku moral yang akan dilahirkan oleh ibadah pada kategori ahkam syari`ah tentunya dapat sebut dengan perilaku moral syar`iyah, sedangkan perilaku moral yang akan lahir dari ibadah pada kategori makarim syari`ah, dapat sebut dengan  perilaku moral  fadhilah.

Jika moralitas syar’iyah lahir dari adanya tuntutan kewajiban, yakni dari ahkam Syar’iyah, sebaliknya moralitas fadhilah lahir dari proses kesadaran yang tulus atas ibadah makarim Syari’yah yang ia laksanakan. Di sinilah kemudian sebuah ibadah tidak lagi dilihat secara given, pemberian kewajiban mutlak atas dirinya, melainkan sebagai sebuah kebutuhan spritual.

Seseorang yang sudah sampai pada posisi ini, maka akan melahirkan moralitas ibadah yang tidak lagi didasarkan pada kewajiban yang datang dari luar dirinya. Para pelaku ibadah ahkam syar’iah, yang telah sampai pada makarim syar’iah, akan menjadikan ibadah ahkam syar’iah sebagai sebuah kemestian dan kebutuhan. Ia tidak akan lagi dipengaruhi oleh "janji" dan "ancaman". Karena seringkali, kita melakukan ibadah atas dorongan rasa takut akan hukuman dan siksaan Tuhan, ketimbang sebagai sebuah anugerah dan keindahan relasi antara hamba dengan Tuhannya.

Inilah yang disebut dengan perilaku moral fadhilah, yakni perilaku moral yang dilahirkan tidak lagi perilaku moral yang dipaksakan atau diwajibkan, akan tetapi perilaku moral yang lahir atas dasar kesediaan dan keniscayaan mardhatillah- insaniyah.

Meneguhkan Moralitas Fadhilah dalam Berpuasa
Sebagai sebuah Ibadah yang ditegaskan dalam arkan al-Islam, rukun Islam, ibadah puasa di bulan ramadhan jika dilihat dari pembagian ibadah sebagaiman disebutkan di atas, berada pada kategori ahkam syari`ah dan makarim syari`ah sekaligus. Sebagai ahkam syari`ah, karena puasa di bulan ramadhan merupakan ibadah yang diwajibkan, sedangkan dikategorikan makarim syari`ah, karena sasaran ideal dari ibadah puasa di bulan ramadhan adalah muttaqun, orang yang bertakwa.

Baca Juga:  Gawat, Suhu di Arab Bisa 50 Derajat, Jemaah Haji Diminta Harus Fit

Secara fungsional Fazrurrahman misalnya mengungkapkan bahwa taqwa  adalah melindungi diri dari sesuatu atau khawatir dan selalu menjaga diri akan tanggung jawab. Makna ini, menggiring kita pada pemahaman bahwa muttaqun, orang yang bertakwa, dalam konteks puasa di bulan ramadhan adalah mereka yang mampu melindungi dan menjaga tanggung jawab atas apa yang mereka peroleh dari moralitas syar`iyah yang telah mereka tunaikan selama satu bulan penuh di bulan Ramadan.

Proses itu, harus berlanjut di luar Ramadan. Artinya, moralitas syar’iyah yang diperoleh, harus dirawat, dijaga, bahkan diimplementasikan setelah bulan Ramadan berahir, dengan berpegang teguh pada keseimbangan dan kekokohan moral yang telah ditetapkan Allah SWT. Oleh karena itu, apapun moralitas syar’iyah yang diperoleh selama bulan Ramadan, harus menjadi manifestasi lahirnya perilaku moralitas fadhilah di luar ramadhan, sebagai bentuk eksistensi taqwa di dalam diri yang bersangkutan.

Sehingga, tidaklah heran jika kemudian ada yang berpendapat bahwa keberhasilan ibadah puasa di bulan ramadhan di ukur oleh sejauhmana ia mampu menjaga, merawat, dan menumbuhkembangkan moralitas fadhilah itu setelah ramadhan, bukan pada saat ramadhan. Tidak sedikit diantara kita, yang justru tidak mampu menjaga dan merawat moralitas ini, sehingga sebagaimana yang dikatakan Nabi, "Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ath Thobroniy). ***

Amril M
Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Pascasarjana UIN Suska Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari