PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Wabah virus corona (Covid-19) yang hingga kini belum ada tanda-tanda akan berakhir di Indonesia, membuat banyak pihak terdampak. Baik kreativitas, pekerjaan, hingga ekonomi. Hal itu juga dialami salah seorang seniman muda Riau, Deni Afriadi. Namun dia tetap melakukan pekerjaan kreatif, termasuk menginspirasi orang dengan kerja filantropis.
Dia menjelaskan, sebagai pekerja seni yang beraktivitas pada kesenian kolektif tentu tidak dapat beraktivitas seperti biasa lagi. Baik latihan teater, melatih teater, atau memproduksi film-film pendek dengan teman-teman seperti biasa. Aktivitas kesenian yang dilakukan hanya bersifat pribadi seperti menulis di rumah. Menurut lelaki kelahiran Desa Sanglar, Reteh, Indragiri Hilir (Inhil) pada 19 Januari ini, dampak ekonomi ini juga dirasakan oleh semua orang di berbagai kalangan.
“Meskipun saya juga bekerja sebagai tenaga harian lepas (THL) namun selama ini tidak menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Untuk menutupinya saya mengajar dan melatih teater di beberapa sekolah. Dengan tidak adanya aktivitas sekolah saat ini juga memberikan dampak kepada saya,” jelas Deni kepada Riaupos.co.
Namun, meski berada dalam kondisi yang tidak normal seperti sekarang, Deni masih sempat bekerja untuk kemanusiaan di saat wabah corona mengganas. Dia menggalang dana untuk pembuatan alat pelindung diri (APD) face shield. APD itu disumbangkan kepada tenaga medis yang ada di Pekanbaru.
Dijelaskannya, pembuatan dan penggalangan dana dari para donatur itu awalnya dari kerisauan tidak ada aktivitas kreatif seperti biasa. Kegiatan lebih banyak dihabiskan di rumah. Maka tercetus ide untuk membuat aktivitas kreatif namun juga bermanfaat di masa pandemi ini. Katanya, terpikirlah untuk membuat APD face shield. Dia bersama seniman muda lainnya, Jumadi, bekerja keras menghasilkan beberapa face shield. Lalu dia mencoba menawarkan ke media sosial berupa penggalangan dana dari para donatur barangkali ada yang mau memberikan donasi pembelian bahan baku.
“Alhamdulillah, dari keseluruhan donasi selama ini dapat diproduksi 446 buah face shield dan sudah diserahkan ke tiga rumah sakit (RS) di Riau. Yakni RSUD Petala Bumi, RSUD Arifin Achmad, dan RSUD Tengku Sulung, Reteh, Inhil. Saat ini produksi terhenti karena tidak adanya dana donasi yang masuk,” jelas lelaki yang menamatkan S1 di FKIP Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR) ini.
Ditambahkan Deni, dalam memproduksi face shield dia dibantu oleh kawan-kawan di lingkungan kesenian. Mereka adalah Jumadi dan istri, salah seorang pelaku teater yang tunak membuat properti-properti panggung selama ini. Lalu dengan adanya donasi yang masuk, dia mencoba menawarkan bantuan relawan di mesos. Lalu mendapat tanggapan oleh Yudi Yongke (pemusik) dan Aning (penari). Kata Deni, teman-temannya itu ingin ikut memberikan subangsih di masa pandemi ini.
Ditanya apakah Pemerintah Indonesia dan Riau sudah berperan dalam membantu seniman, sastrawan, budayawan agar berkarya dan memperoleh pendapatan di masa pandemi ini, Deni menjelaskan bahwa bantuan itu ada, meskipun untuk menjalani hidup panjang di masa pandemi ini memang kurang.
“Saya mendengar Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud, mengadakan pementasan online untuk membantu kreativitas dan ekonomi seniman. Namun tentunya kegiatan tersebut dalam lingkup yang terbatas. Sempat ada pendataan online, namun tidak ada kabar kelanjutan sampai di mana. Sementara dari pihak Pemprov Riau sempat ada bantuan berupa sembako. Alhamdulillah cukup membantu kebutuhan rumah bagi seniman, walau tentunya dengan jangka waktu yang terbatas,” ujar Deni yang menyelesaikan S-2 Pengkajian Seni Teater di Pascasarjana ISI Padangpanjang tersebut.
Deni menyadari, kondisi yang amat sulit ini tidak hanya dirasakan oleh kalangan seniman, namun juga semua kalangan yang menggantungkan hidup pada rejeki harian. Oleh sebab itu, dia mengharapkan perumusan yang matang oleh pihak pengambil kebijakan agar dapat mengantisipasi kebutuhan masyarakatnya.
“Dalam kondisi ekonomi yang sulit saat ini tentunya harapan saya pemerintah bijak dalam merumuskan dan mengambil keputusan,” jelas Deni lagi.
Dalam membantu seniman ini, kata dosen bantu di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak ini, tidak perlu terlalu susah. Misalnya cukup memberikan ruang kreativitas entah via daring yang memberikan timbal-balik kepada senimannya. Dia mengistilahkan karya berbayar. Seniman memproduksi karyanya dihargai dengan bayaran, sehingga setidaknya dari dana yang didapatkan itu dapat membantu kebutuhan ekonomi seniman. Namun juga harus dibarengi dengan konsep yang lebih baik, tidak hanya menyentuh pada kalangan seniman tertentu, tetapi merata.
Menurut dia, untuk bertahan hidup, pelaku seni sekarang ini memang harus bertindak. Tidak dapat hanya mengharapkan dari menunggu bantuan. Sebab yang namanya harapan, kata dia, tidak tahu akan ada atau tidak. Jika pun ada, tidak dapat diukur waktu datang dan habisnya. Bertahan tersebut entah bercocok tanam kecil-kecilan atau berdagang.
“Kedengarannya sedikit lucu memang, namun ya apa boleh dibuat di masa yang serba sulit sekarang ini. Setidaknya itu dapat membantu kebutuhan perut terlebih dahulu. Memang semuanya perlu modal. Kalau berdagang harus punya uang, kalau bertani punya modal tanah,” kata lelaki yang selama ini memproduksi pertunjukan-pertunjukan teater baik sebagai sutradara maupun aktor di Teater Matan dan Komunitas Seni Jelaga ini mengakhiri.
Laporan/Editor: Hary B Koriun