JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Tim kuasa hukum gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke persidangan. Sebab, dalam persidangan, banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh kuasa hukum pemerintah, termasuk dibentuknya dewan pengawas (dewas).
"Ketika mereka ditanya soal logika pembentukan dewas, itu mereka tak bisa menjelaskan. Mereka mendasarkan dari UNCAC Pasal 6 memandatkan negara-negara peserta membentuk badan baru untuk agenda pemberantasan korupsi," kata salah satu anggota kuasa hukum, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin (9/3).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini pun menyebut, dampak UU KPK hasil revisi menghambat kinerja lembaga antirasuah. Proses penyadapan, penggeledahan kini menjadi lambat karena harus proses dewan pengawas.
Terlebih, yang menjadi persoalan dilantiknya Nurul Ghufron sebagai Wakil Ketua KPK. Padahal Ghufron belum cukup usia untuk dilantik sebagai pimpinan KPK, dalam UU KPK hasil revisi mewajibkan batasan umur pimpinan KPK minimal 50 tahun dan maksimal 65 tahun.
"Kita soroti penggeledahan yang lambat di kantor PDIP (Kasus PAW). Yang ketiga soal Ghufron yang harusnya enggak bisa dilantik sehingga Presiden Jokowi keliru dalam menafsirkan pasal di UU KPK baru," sesal Kurnia.
Terlebih dalam UU KPK hasil revisi terkait penyadapan, dalam Pasal 12D Angka 2 mengatur bahwa hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar meminta hakim konstitusi untuk menghadirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pernyataan ini dilontarkan Zainal saat menjadi saksi ahli di ruang sidang MK.
Zainal menyampaikan, keterangan presiden diperlukan untuk mencaritahu prosedur lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Praktik pada Undang-Undang 19 ini menarik. Presiden memberikan arahan untuk dibahas oleh Menpan RB dan Menkumham. Lalu, tiba-tiba pembahasan terjadi menuju ke persetujuan," kata Zainal dalam ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (19/2).
Zainal menyampaikan, kehadiran Presiden Jokowi ke ruang sidang dapat memberikan keterangan terkait proses lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Apalagi, setelah selesai dibahas antara pemerintah dan DPR RI, Undang-Undang itu tidak ditandatangani oleh presiden.
Memang jika mengacu pada Pasal 73 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apabila presiden tidak membubuhkan tandatangan dalam jangka waktu 30 hari, terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan presiden, maka UU tersebut berlaku secara otomatis.
"Ini harus dilacak betul-betul, apa alasan presiden tidak tanda tangan undang-undang ini. Menurut saya itu pelanggar formil nyata, harusnya presiden hadir di situ dalam konsep persetujuan," tegas Zainal.
Untuk diketahui, UU KPK hasil revisi digugat ke MK. Mereka diantaranya mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif. Kemudian, Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha dan Ismid Hadad.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi