JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Sepanjang 2023, angka kekerasan terhadap anak mengalami kenaikan tajam. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Nahar menyebut, kenaikan ini mencapai tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Angka ini diperoleh dari evaluasi catatan pengaduan kasus dari layanan SAPA 129. Di mana, di Tahun 2023, jumlah kasus mencapai 2.797. Naik nyaris 200 persen dari 2022 sebanyak sebanyak 957 kasus. Mirisnya, tingginya angka kekerasan terhadap anak di tahun 2023 tersebut baru sampai November 2023. Artinya, masih ada data Desember yang masih diolah.
”Di tahun 2023, ada peningkatan yang cukup signifikan pada jumah kasus kekerasan terhadap anak yang hampir 3 kali lipat,” ujarnya, Ahad (7/1).
Lebih detail dia mengungkapkan, pada Januari-Oktober 2023, pengaduan didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Kemudian, pada Oktober-November 2023, paling banyak pengaduan soal kekerasan fisik/psikis. Jumlah anak yang menjadi korban dalam dua kasus kekerasan ini pun sangat menyayat hari, mencapai ratusan bahkan ribuan.
Untuk kekerasan fisik/psikis mendominasi mencapai 1.078 korban dan kekerasan seksual sebanyak 938 korban. Pengaduan terbanyak berasal dari wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. ”Dominasi kekerasan fisik atau psikis disebabkan oleh bertambahnya jumlah korban akibat kasus perundungan,” ungkapnya.
Nahar menyampaikan, pengaduan kasus yang masuk ke SAPA 129 telah ditangani hingga 100 persen. Baik itu penjangkauan, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, hingga pendampingan korban.
Diakuinya, besarnya angka kasus kekerasan terhadap anak menjadi tantangan luar biasa yang perlu diatasi secara komprehensif. Apalagi saat ini kekerasan tidak hanya terjadi di ranah luar jaringan (luring) semata, tapi juga di ranah dalam jaringan (daring).
”Tantangan ini pun semakin diperkuat dengan tuntutan keperluan anak untuk melakukan berbagai aktivitasnya di ranah daring,” tuturnya.
Karenanya, ia pun kembali menekankan, bahwa perlindungan terhadap anak menjadi tanggungjawab bersama. Bukan hanya pemerintah tapi juga masyarakat. Semua pihak memiliki peran penting untuk melindungi anak dari berbagai jenis kekerasan baik secara luring maupun daring.
Di ranah daring dan digital misalnya. Perlu atensi bersama lantaran makin mudahnya akses yang didapatkan anak ke dunia digital. Jika tanpa pengawasan maka berisiko menimbulkan berbagai konsekuensi dan anak rentan menjadi korban kejahatan online.
Bentuk-bentuk kejahatan online yang mengintai anak seperti cyberbullying, sextortion, scam, hoax, child grooming, pornografi, hingga eksplotasi dan pelecehan seksual anak daring (OCSEA).
”Dengan kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi digital menyebabkan tidak sedikit anak di Indonesia yang terjerat dan menjadi sasaran ekploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nahar mengungkapkan, sebagai upaya perlindungan anak dari kekerasan secara general baik di ranah luring maupun daring, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor terkait.
Di antaranya, menetapkan Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) yang merumuskan arah kebijakan, strategi, fokus strategi, intervensi kunci, target, peran, dan tanggung jawab Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, hingga masyarakat untuk mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap anak.
Dalam mengimplementasikan Stranas PKTA di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, KemenPPPA bekerjasama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) dan UNICEF telah meluncurkan Panduan Pelatihan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak pada Desember lalu.
Strategi ini pun diperkuat dengan peningkatan capaian pelaksanaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), termasuk pemberian layanan perlindungan khusus di Kabupaten/Kota yang berfokus pada pencegahan, penanganan, dan memastikan partisipasi anak dalam seluruh prosesnya.
Kemudian, dalam upaya pencegahan, KemenPPPA bersinergi dan berkolaborasi dengan kementerian/lembaga. Di lini pendidikan, KemenPPPA bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi (Kemendikbudristek) yang memiliki program Sekolah Ramah Anak (SRA).
Lalu, lini kepengasuhan, Kemen-PPA dan Dinas yang mengampu urusan perempuan dan anak di daerah mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang tersebar sebanyak 257 unit di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terdapat program Bina Keluarga Remaja.
Dari lini penguatan masyarakat, lanjut dia, Kemen-PPPA juga memiliki kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang tersebar di sekitar 9.404 Desa/Kelurahan, 1.161 orang Satgas PPA, 518 Kelompok Perlindungan Anak (KPA) di 194 Kabupaten dan 25 Provinsi serta Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak.
Dan, di lini penguatan teman sebaya, Kemen PPPA memiliki Forum Anak yang tersebar di 34 Provinsi, 458 Kabupaten/Kota, 1.625 Kecamatan, dan 2.694 Desa/Kelurahan yang berperan sebagai wadah aspirasi anak sebagai pelopor dan pelapor (2P).
”Di samping program-program yang telah dimiliki oleh pemerintah, tidak sedikit lembaga masyarakat, organisasi masyarakat, maupun mitra yang turut serta berperan dalam penurunan dan penghapusan kekerasan terhadap anak melalui berbagai program kemitraan dan kegiatan yang masuk dan menyasar dari berbagai sisi,” paparnya.
Sedangkan, dalam langkah penanganannya, pemerintah disebutnya telah memiliki berbagai lembaga layanan pengaduan yang berfungsi sebagai wadah penanganan kasus kekerasan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di antaranya Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang bisa diakses melalui Hotline SAPA 129 dan/atau WhatsApp 08111-129-129.(mia/jpg)