HONGKONG (RIAUPOS.CO) – Kebijakan pemerintah Hongkong yang melarang warga memakai masker atau penutup wajah dan sejenisnya di area publik justru membuat demonstrasi makin masif. Hongkongers yang pro-demokrasi melakukan aksi turun ke jalan pada Minggu (6/10). Aksi mereka memprotes kebijakan pemerintah Hongkong yang disebut kembali ke era kolonial.
Pengunjuk rasa pun bisa dibilang semakin brutal. Mereka dilanda amarah yang luar biasa. Pada Minggu (6/10), seorang sopir taksi menjadi korban kemarahan demonstran.
Selain merusak mobil taksi, sopir juga dipukuli hingga babak belur. Demonstran marah lantaran sopir taksi tersebut mengendarai mobilnya di kerumunan pengunjuk rasa. Akibatnya, dua pengunjuk rasa tertabrak dan ada yang berada di bawah kolong mobil. Keduanya cedera dan dirawat di rumah sakit.
Aksi sopir taksi itu memicu amarah demonstran. Mereka menghancurkan mobil dan kemudian memukuli sang sopir. Petugas pemadam kebakaran dan tim medis harus turun tangan untuk menyelamatkan sang sopir. Sebelumnya, sejumlah demonstran juga berusaha untuk menolong sopir taksi tersebut. Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi terkait kondisi sopir taksi tersebut.
Demonstrasi pada Minggu (6/10) bisa dibilang anarkis. Aksi turun ke jalan yang awalnya hanya pawai anti-pemerintah biasa berakhir dengan kerusuhan. Demonstran menyerang kantor-kantor pemerintah, stasiun metro, dan pusat bisnis yang terkait erat dengan Tiongkok.
Polisi menggunakan water canon, gas air mata, dan pentungan untuk membubarkan demonstran. Polisi juga dilaporkan melepas topeng dari para demonstran yang mereka tangkap. Sejumlah pengunjuk rasa dilaporkan terluka.
Aksi turun ke jalan pada Minggu (6/10) merupakan lanjutan dari aksi sebelumnya yakni memrotes aturan larangan memakai masker atau penutup wajah di area publik. Sebelumnya gelombang kerusuhan terjadi pada Jumat (4/10) malam dan menyebabkan layanan transportasi kereta ditutup. Pada Minggu (6/10) sebagian sudah beroperasi.
Demonstran khawatir dengan aturan tersebut bahwa hak-hak mereka semakin dikebiri. Padahal, sejak awal mereka menuntut untuk bisa menentukan nasib sendiri yakni diberikan otonomi secara luas.
Aksi anarkis pendemo membuat sebuah pintu masuk ke stasiun metro Mong Kok hancur. Kaca-kaca jendela pecah dan lift dibakar. Demonstran juga menghancurkan kantor-kantor pemerintah setempat di daerah Cheung Sha Wan. Seorang pengunjuk rasa bertopeng bahkan membajak sebuah ekskavator yang digunakan dalam sebuah proyek menggali jalan di Wan Chai.
Aksi turun ke jalan pada Minggu (6/10) diikuti lebih banyak Hongkongers dari aksi pada Jumat dan Sabtu sebelumnya. Sebagian dari demonstran memang pesimis tuntutan mereka dipenuhi, namun mereka tetap akan terus melakukan aksi turun ke jalan.
“Saya tidak yakin apakah peluang kami masih ada untuk memperjuangkan kebebasan,” sebut Hazel Chan, 18, yang mengenakan masker wajah ketika berbicara kepada BBC. “Saya tidak berpikir itu akan berdampak besar pada sikap pemerintah, tetapi saya harap kami mendapatkan perhatian internasional dan menunjukkan kepada dunia bahwa kami tidak menerima dengan hukum yang jahat,” tegasnya.
Riley Fung, 19, yang juga pengunjuk rasa menyampaikan hal yang sama. “Saya tidak terlalu percaya apakah langkah kami bisa berhasil karena pemerintah telah mengabaikan tuntutan kami. Bahkan ketika jutaan orang turun ke jalan, pemerintah tetap tak merespons. Tapi, kami akan terus melakukan aksi karena ini untuk mengekspresikan sikap kami,” imbuhnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman