Puasa loyo, karena yang berpuasa itu memasang niat untuk loyo. Begitu dia memasuki bulan suci Ramadan, maka dalam hatinya dan pikirannya adalah kita siang akan kelaparan.
Lapar dihubungkan dengan kurang kalori yang masuk. Akibatnya tentu akan letih, lemah, dan lelah. Untuk itu harus istirahat dan loyo. Siang mati kelaparan dan malam mati kekenyangan. Dalam keadaan mati kelaparan dia loyo, kalau mati kekenyangan dia enggak bisa kerja.
Niat untuk loyo dan untuk letih dimulai sejak dia akan memasuki puasa. Sejak 1 Ramadan yang terniat dan terbayang adalah haus dan lapar, letih, dan lesu. Maka bila ada pekerjaan ditunda sampai akhir atau sesudah puasa. Puasa dijadikan alasan menunda pekerjaan. Orang pemaaf bulan puasa jadi boleh saja tidak bekerja, dan kerja di tunda.
Karena loyo dan malas pergerakan aliran darah pun tak kencang, metabolisme menurun sehingga mudah sakit. Allah mengingatkan; selesai salat, bertebaran di muka bumi, cari rezkinya. Bergerak dan bekerja. Oleh karena, bagi yang berpuasa, hindari selesai Salat Subuh tidur lagi.
Jika bangun pukul 07.00 WIB, matahari sudah tinggi, mata akan berkunang-kunang, perutnya mual, badan tak enak, dan lesu. Karena anjuran agama tentang kesehatan tak diturutinya. Padahal "puasalah agar kamu sehat". Tapi banyak orang berpuasa justru sakit. Puasa itu bulan meraup amal, produktif, tapi banyak orang berpuasa loyo.
Puasa itu bulan kerja tapi banyak di antara kita yang justru menunda-nunda pekerjaan sesudah puasa. Bulan puasa banyak pahala, pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya.
Namun banyak orang mengerjakan maksiat juga di Bulan Ramadan. Maka semua tergantung pada niat kita. Jika memasuki puasa ini kita berniat. Karena Allah tahu persis apa yang terniat, apa yang berdetak di hati. Dan Allah langsung merespons apa yang ada di hati. Kalau kita berniat malas, maka gelombang malaslah yang bergertar. "Agar badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum banyak, tidur banyak sehingga saya tak loyo".
Kecenderungan terhadap hak-hak badan yang over (berlebihan). Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan. Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari pemahaman "Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah".
Memang selintas perilaku tidur di siang hari adalah sah dengan pedoman hadis di atas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadis di atas? Tentu bukan sekadar tidur yang ditujukan untuk sekadar menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekadar bermalas-malasan sehingga tak heran bila sebagian umat ini bermental loyo saat berpuasa Ramadan.
Lebih tepat bila hadis di atas dipahami dengan; aktivitas tidur di tengah puasa yang berpahala. Ibadah adalah bila tidur proporsional tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik kita setelah beraktivitas, mencari rezeki yang halal, beribadah secara khusuk dan sebaginya.
Tidur proporsional tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail (menghidupkan saat malam hari dengan ibadah). Tidur itu diniatkan untuk menghindari aktivitas yang bila tidak tidur dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadan. Semisal ghibah (menggunjing), menonton acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata, dan sebagainya.
Bulan Ramadan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan cenderung boros dapat menggugah kita dari "fatamorgana Ramadan".
Pak Muis, Guru Fisika saya waktu SMP, dengan mudahnya menerangkan. Apabila dua dawai atau kawat dengan panjang yang sama, tebal yang sama, dengan kata lain bila kedua dawai itu punya panjang gelombang yang sama, frekwensi yang sama, serta amplitude yang sama. Maka, bila dawai yang satu digetarkan, dawai yang lain ikut tergetar. Ikut tergetarnya dawai yang lain disebut dengan resonansi. Resonansi adalah tergetarnya sesuatu akibat getaran yang lain , bila panjang gelombangnya sama, frekuensi, dan amplitudonya sama.
Pendengaran itu adalah akibat resonansi. Getaran bunyi ikut menggetarkan selaput gendang telinga. Diteruskan ke tulang-tulang pendengaran,dikirim ke otak. Bila otaknya sadar dan hidup maka bunyi itu terdengar sesuai dengan getaran yang diterimanya. Begitupun mata bisa menangkap gelombang cahaya.
Radio yang kita hidupkan itupun prinsipnya memakai hukum resonansi sehingga kita bisa memilih siaran radio yang kita inginkan sesuai dengan gelombang radio yang dipancarkan.
Ketika kita menekan tombol tuning radio maka kita akan dengar siaran radio. Kita paham bahwa sinyal di menara radio dan di pesawaat radio harus sama. Begitupula relevisi yang setiap hari kita tonton.. Jadi untuk bisa menonton, melihat, dan mendengar perlu ada pemancar dan ada penerima.
Manusia yang dijadikan sebagai makhluk yang terbaik justru sekaligus punya pemancar dan punya alat penerima. Sesuatu yang dipancarkanya sekaligus bisa diterimanya dan bisa diresonansikannya.
Mendengarkan Alquran pun demikian. Agar hati kita tergetar dan dada kita tergoncang tinggal kita menyamakangelombangnya. Makanya saya teringat satu firman suci-Nya "Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat". (QS. 7 : 204).
Kita hidupkan hati kita , lalu kita simak dan dengar baik-baik. Lalu diperhatikan dengan tenang, ketika itulah Rahmat-Nya diturunkan. Sekarang pelajaran guru saya Pak Muis itu baru saya refleksikan dan saya renungkan kembali, bahwa resonansi itu ikut tergetarnya dawai yang lain, bila dawai yang satu digetarkan.
Nah, ternyata seluruh alam ini adalah getaran semata. Getaran gelombang ini bertingkat-tingkat. Dari getaran yang paling lambat sampai getaran yang paling cepat. Benda yang memiliki gelombang yang paling lambat adalah semua yang bisa diraba, dilihat, dikecap, dicium dan didengar.
Benda yang gelombang getarannya paling cepat ialah benda gaib yang tidak nampak, dan hanya bisa dirasa seperti kebahagiaan, cinta dan kasih sayang. Semua benda yang tidak tampak seperti pikiran dan perasaan memiliki getaran yang lebih cepat dan lebih kuat. Dan barang siapa yang terampil menggunakannya akan memiliki hidup yang lebih baik. Innamal a’malu binniat.
Setiap pekerjaan dimulai dengan niat. Niat yang muncul di hati adalah sama dengan apa yang selalu dalam pikiran. Dan ketika kita memikirkan sesuatu secara terus menerus artinya kita sedang mengarahkan energi ke sana. Energi itu akan ikut bergetar sesuai gelombangnya dengan pikiran kita.
Di saat kita berpikiran dan memancarkan gelombang kebaikan, maka semua gelombang-gelombang kebaikan sekitar kita akan ikut bergetar, teresonansi menjadi kekuatan yang luar biasa. Demikian juga berpuasa, tergantung pada niatnya.***