Kamis, 19 September 2024

Upayakan Minyak Goreng Stabil di Rp14.000 per Liter

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kenaikan harga komoditas minyak goreng diprediksi belum akan reda dalam waktu dekat. Harga crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit sebagai bahan baku juga diproyeksikan masih bertahan tinggi selama beberapa bulan ke depan. Pemerintah mendorong upaya penambahan suplai untuk pasar berupa minyak goreng kemasan sederhana yang dijual dengan harga Rp14.000 per liter.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan bahwa harga minyak goreng diperkirakan akan bertahan di atas harga normal sebesar Rp12.500 per liter.

Hal tersebut diprediksi karena Oke juga meramal bahwa harga CPO belum akan kembali ke level normal dalam waktu dekat. Oke mengatakan Rp14.000/liter diharapkan bisa menjadi harga keseimbangan baru di tengah harga CPO yang masih tinggi. Memang, belum semua masyarakat bisa merasakan minyak goreng kemasan sederhana yang dibandeol Rp14.000/liter. Dari target 11  juta liter yang digelontorkan, baru sekitar 4 juta liter.

"Sebanyak 7 juta liter sisanya sebagian sudah dalam line distribusi, sebagian masih on going produksi. Karena memang produsen ini akhirnya harus membagi, produksi minyak goreng premium dan minyak goreng kemasan sederhana," ujar Oke, saat dihubungi JPG, kemarin (6/1).

- Advertisement -

Selain soal produksi yang harus ekstra effort, menurut Oke soal distribusi juga turut menjadi kendala. Sebanyak 70 industri minyak goreng yang dilibatkan pemerintah dalam pengadaaan operasi pasar 11 juta liter minyak goreng, sebagian besar berada di Indonesia bagian barat. "Distribusi ke timur ini yang masih diupayakan supaya lancar dan optimal. Apalagi sekarang biaya-biaya logistik sedang mahal, produsen pasti ingin seefisien mungkin," tambahnya.

Sesuai dengan yang dikabarkan sebelumnya, usai program operasi pasar 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana, pemerintah akan melanjutkan dengan target tambahan pasokan sebanyak 1,2 miliar liter minyak goreng dengan skema subsidi selama 6 bulan atau sekitar 200 juta liter per bulan sampai 6 bulan ke depan. Hal tersebut didorong Kemendag agar harga minyak goreng setidaknya bisa stabil di angka Rp14.000 per liter. "200 juta liter itu juga berdasarkan kalkulasi rata-rata kebutuhan minyak goreng nasional per bulan," urainya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Pascsarjana Unilak Gelar Yudisium X, Lima Peserta Raih IPK Sempurna

Lebih lanjut Oke membeberkan, skema subsidi yang dimaksudkan adalah pemerintah akan mengganti selisih harga pasar oleh produsen sehingga bisa dijual dengan harga Rp14.000 per liter. "Jadi misalnya produsen A, bikin produk minyak goreng dan setelah dihitung biaya bahan baku, produksi, dan lain-lain keluar angka Rp16.700 per liter. Nah, itu akan tetap dijual Rp14.000 ke konsumen, pemerintah yang membayar Rp2.700 selisihnya," tegas Oke.

Selanjutnya mengenai pengawasan distribusi. Dikonfirmasi mengenai potensi penimbunan Oke menyebutkan bahwa pihaknya berupaya untuk meminimalisir potensi tersebut. Ada dua mekanisme yang dilakukan. Pertama, adalah memanfaatkan jaringan distribusi ritel modern untuk menyebarkan produk minyak goreng kemasan sederhana. "Kemudian yang kedua, yang akan kita lakukan ke depan, adalah melabeli semua produk minyak kemasan sederhana dengan label harga Rp14.000, supaya ada kontrol sosial juga," urainya.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, pemberian subsidi minyak goreng merupakan kebijakan yang bersifat temporer. "Apalagi dalam enam bulan. Jumlahnya pun tidak mencukupi total kebutuhan minyak goreng, terutama untuk UMKM dan rumah tangga menengah ke bawah," ujarnya.

Baca Juga:  Lagi, Warga Siak Dimakamkan dengan Protokol Covid-19

Menurut Bhima, justru dengan adanya subsidi, maka harus ada langkah khusus berupa pengawasan. Langkah pengawasan ketat harus dilakukan mulai hulu hingga ke hilir.  Dia mewanti-wanti jangan sampai minyak goreng yang seharusnya murah karena subsidi malah dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. "Karena subsidinya bersifat terbuka kan, siapapun boleh beli. Kalau itu yang terjadi, apakah harga minyak goreng bisa turun sampai HET? Jawabannya ya belum tentu (turun)," katanya.

Sebab, lanjutnya, seiring kebijakan subdisi nantinya akan menimbulkan migrasi dari konsumen minyak goreng mahal ke minyak goreng subsidi. Sementara yang minyak goreng non-subsidi harganya tetap sama karena mengikuti harga CPO.

Menurut Bhima, persoalan harga minyak goreng yang melambung ini disebabkan oleh pasokan. Sebab, harga pasokan terlalu volatile. Sehingga, perlu adanya pembenahan dari sisi pasokan. Solusi lainnya yakni harus ada stabilitas harga CPO untuk pabrik minyak goreng.

Dia khawatir, adanya subsidi tidak menyelesaikan seluruh masalah yang ada. Apalagi, subsidi yang diberikan selama enam bulan bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk melakukan penimbunan. Apalagi, minyak goreng merupakan komoditas yang jangka waktu ketahanannya cukup lama sehingga rawan ditimbun.

Bhima melanjutkan, tren harga minyak goreng ke depan juga diprediksi akan masih tinggi. Mengingat, jangka waktu enam bulan ke depan juga berbarengan dengan momen hari raya Idul Fitri yang notabene diiringi kenaikan harga-harga bahan pokok. "Justru pas momen Ramadan dan Lebaran ada kenaikan permintaan di dalam negeri. Nah mangkanya kalau subsidinya enam bulan tidak efektif, harusnya kalau mau memberi subdisi bisa sampai akhir tahun 2022," jelasnya.(dee/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kenaikan harga komoditas minyak goreng diprediksi belum akan reda dalam waktu dekat. Harga crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit sebagai bahan baku juga diproyeksikan masih bertahan tinggi selama beberapa bulan ke depan. Pemerintah mendorong upaya penambahan suplai untuk pasar berupa minyak goreng kemasan sederhana yang dijual dengan harga Rp14.000 per liter.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan bahwa harga minyak goreng diperkirakan akan bertahan di atas harga normal sebesar Rp12.500 per liter.

Hal tersebut diprediksi karena Oke juga meramal bahwa harga CPO belum akan kembali ke level normal dalam waktu dekat. Oke mengatakan Rp14.000/liter diharapkan bisa menjadi harga keseimbangan baru di tengah harga CPO yang masih tinggi. Memang, belum semua masyarakat bisa merasakan minyak goreng kemasan sederhana yang dibandeol Rp14.000/liter. Dari target 11  juta liter yang digelontorkan, baru sekitar 4 juta liter.

"Sebanyak 7 juta liter sisanya sebagian sudah dalam line distribusi, sebagian masih on going produksi. Karena memang produsen ini akhirnya harus membagi, produksi minyak goreng premium dan minyak goreng kemasan sederhana," ujar Oke, saat dihubungi JPG, kemarin (6/1).

Selain soal produksi yang harus ekstra effort, menurut Oke soal distribusi juga turut menjadi kendala. Sebanyak 70 industri minyak goreng yang dilibatkan pemerintah dalam pengadaaan operasi pasar 11 juta liter minyak goreng, sebagian besar berada di Indonesia bagian barat. "Distribusi ke timur ini yang masih diupayakan supaya lancar dan optimal. Apalagi sekarang biaya-biaya logistik sedang mahal, produsen pasti ingin seefisien mungkin," tambahnya.

Sesuai dengan yang dikabarkan sebelumnya, usai program operasi pasar 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana, pemerintah akan melanjutkan dengan target tambahan pasokan sebanyak 1,2 miliar liter minyak goreng dengan skema subsidi selama 6 bulan atau sekitar 200 juta liter per bulan sampai 6 bulan ke depan. Hal tersebut didorong Kemendag agar harga minyak goreng setidaknya bisa stabil di angka Rp14.000 per liter. "200 juta liter itu juga berdasarkan kalkulasi rata-rata kebutuhan minyak goreng nasional per bulan," urainya.

Baca Juga:  TP PKK Siak Wakili Provinsi Riau Lomba Defile ke Tingkat Nasional

Lebih lanjut Oke membeberkan, skema subsidi yang dimaksudkan adalah pemerintah akan mengganti selisih harga pasar oleh produsen sehingga bisa dijual dengan harga Rp14.000 per liter. "Jadi misalnya produsen A, bikin produk minyak goreng dan setelah dihitung biaya bahan baku, produksi, dan lain-lain keluar angka Rp16.700 per liter. Nah, itu akan tetap dijual Rp14.000 ke konsumen, pemerintah yang membayar Rp2.700 selisihnya," tegas Oke.

Selanjutnya mengenai pengawasan distribusi. Dikonfirmasi mengenai potensi penimbunan Oke menyebutkan bahwa pihaknya berupaya untuk meminimalisir potensi tersebut. Ada dua mekanisme yang dilakukan. Pertama, adalah memanfaatkan jaringan distribusi ritel modern untuk menyebarkan produk minyak goreng kemasan sederhana. "Kemudian yang kedua, yang akan kita lakukan ke depan, adalah melabeli semua produk minyak kemasan sederhana dengan label harga Rp14.000, supaya ada kontrol sosial juga," urainya.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, pemberian subsidi minyak goreng merupakan kebijakan yang bersifat temporer. "Apalagi dalam enam bulan. Jumlahnya pun tidak mencukupi total kebutuhan minyak goreng, terutama untuk UMKM dan rumah tangga menengah ke bawah," ujarnya.

Baca Juga:  Bukan Kerbau

Menurut Bhima, justru dengan adanya subsidi, maka harus ada langkah khusus berupa pengawasan. Langkah pengawasan ketat harus dilakukan mulai hulu hingga ke hilir.  Dia mewanti-wanti jangan sampai minyak goreng yang seharusnya murah karena subsidi malah dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. "Karena subsidinya bersifat terbuka kan, siapapun boleh beli. Kalau itu yang terjadi, apakah harga minyak goreng bisa turun sampai HET? Jawabannya ya belum tentu (turun)," katanya.

Sebab, lanjutnya, seiring kebijakan subdisi nantinya akan menimbulkan migrasi dari konsumen minyak goreng mahal ke minyak goreng subsidi. Sementara yang minyak goreng non-subsidi harganya tetap sama karena mengikuti harga CPO.

Menurut Bhima, persoalan harga minyak goreng yang melambung ini disebabkan oleh pasokan. Sebab, harga pasokan terlalu volatile. Sehingga, perlu adanya pembenahan dari sisi pasokan. Solusi lainnya yakni harus ada stabilitas harga CPO untuk pabrik minyak goreng.

Dia khawatir, adanya subsidi tidak menyelesaikan seluruh masalah yang ada. Apalagi, subsidi yang diberikan selama enam bulan bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk melakukan penimbunan. Apalagi, minyak goreng merupakan komoditas yang jangka waktu ketahanannya cukup lama sehingga rawan ditimbun.

Bhima melanjutkan, tren harga minyak goreng ke depan juga diprediksi akan masih tinggi. Mengingat, jangka waktu enam bulan ke depan juga berbarengan dengan momen hari raya Idul Fitri yang notabene diiringi kenaikan harga-harga bahan pokok. "Justru pas momen Ramadan dan Lebaran ada kenaikan permintaan di dalam negeri. Nah mangkanya kalau subsidinya enam bulan tidak efektif, harusnya kalau mau memberi subdisi bisa sampai akhir tahun 2022," jelasnya.(dee/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari