JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Bayangan untuk mengubah nasib di Eropa pupus sudah. Perahu yang ditumpangi lebih dari 180 imigran dengan tujuan daratan Benua Biru itu tenggelam di Samudra Atlantik.
Sebanyak 58 orang tak berhasil menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sebanyak 83 orang lainnya selamat setelah berenang ke pantai di Nouadhibou, Mauritania. Sisanya masih hilang dan tengah dicari.
"Perahu yang mereka tumpangi tidak layak dan terlalu penuh ketika insiden itu terjadi," ujar Juru Bicara IOM Leonard Doyle, Kamis (5/12) seperti dikutip Associated Press.
Mayoritas penumpang kapal adalah warga Gambia. Imigran yang sebagian besar berusia 20–30 tahun itu berangkat dari Gambia menuju Kepulauan Canaria, Spanyol, 27 November lalu. Di tengah perjalanan, rombongan tersebut sengaja mendekat ke pantai Nouadhibou untuk mengisi bahan bakar dan stok makanan. Tidak disangka, sebelum sampai di bibir pantai, bahan bakar kapal tersebut habis. Entah bagaimana kapal nahas itu akhirnya tenggelam.
Otoritas Mauritania berusaha membantu korban yang selamat. Mereka didata satu per satu. Menteri Dalam Negeri Mauritania Mohamed Salem Ould Merzoug mengungkapkan bahwa 10 orang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
"Kami akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab, termasuk jaringan perdagangan manusia yang terlibat," tegasnya.
Merzoug mengakui bahwa ribuan orang tewas di lepas pantai Mauritania sepanjang 2005–2010. Mereka adalah imigran gelap yang ingin menuju Kepulauan Canaria. Namun, belakangan jumlah korban tewas terus menurun.
Para imigran yang selamat itu bisa dipastikan tidak menginjakkan kaki di Eropa. Mereka akan dikirim pulang ke negara asalnya. Saat ini pemerintah Mauritania tengah berkoordinasi dengan pemerintah Gambia untuk lanjutan pemulangan. Duta Besar Gambia untuk Mauritania akan datang ke lokasi untuk meninjau langsung.
"Prioritas kami, menjaga semua orang yang selamat dan menyediakan dukungan yang mereka butuhkan," tegas Kepala IOM di Mauritania Laura Lungarotti kepada Agence France-Presse.
Kejadian itu adalah salah satu insiden paling mematikan sejak pertengahan 2000-an ketika Spanyol mulai meningkatkan patroli. Jumlah kapal yang membawa imigran terus menurun meski tak pernah hilang sama sekali.
Afrika Barat adalah wilayah dengan ekonomi yang berkembang cepat di Benua Afrika. Populasi penduduknya juga meningkat dengan cepat. Sayang, lonjakan penduduk itu tanpa disertai kemakmuran dan ketersediaan pekerjaan. Itulah yang akhirnya memaksa penduduknya menjadi imigran gelap dan meninggalkan negerinya untuk bertaruh nasib di Eropa.
Tak semua negara Afrika Barat mengalami lonjakan perekonomian. Gambia adalah salah satu di antaranya. Selama 22 tahun, negara tersebut dipimpin Yahya Jammeh yang dikenal kerap menindas penduduknya. Karena itulah, banyak penduduk Gambia yang bermigrasi.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi